Penjajahan Gaya Baru didalam Proyek One Belt One Road (OBOR)

Oleh : Shela Rahmadhani

(Pegiat Opini)

One Belt One Road (OBOR) sebuah proyek ambisius di bidang infrastruktur dan jalur transportasi darat dan laut untuk konektivitas Tiongkok dengan negara di kawasan Eropa, Asia, Afrika adalah dalam rangka menguasai perdagangan dan melakukan penjajahan ekonomi (neo-imperialisme). Apalagi Tiongkok tengah masuk ke dalam perang dagang dengan Amerika, maka ambisi menguatkan dominasinya di negara-negara Eropa, Asia, Afrika yang terkategori sebagai negara middle power menjadi sebuah kebutuhan.

Proyek OBOR dimulai oleh Presiden Tiongkok, Xi Jin Ping, pada tahun 2013, dengan menghidupkan konsep jalur sutra kuno yang dibuat Tiongkok sejak ribuan tahun yang lalu. Jalur sutra kuno merupakan jalur perdangangan yang menghubungkan Tiongkok dengan Negara-negara di Eropa, Asia, Afrika dengan komoditas utama sutra.

OBOR merupakan konsep jalur sutra modern yang dikenal dengan Jalur Sutra Abad 21. OBOR terdiri dari dua jalur perdagangan. Pertama, jalur perdagangan darat (New Silk Road Economic Belt) dimulai dari Xi’An di Tiongkok, daratan Asia Tengah, Rusia, hingga Jerman dan sebagiannya menghubungkan Tiongkok bagian Selatan ke Singapura melintasi daratan ASEAN dan jalur lainnya lagi dimulai dari Asia Tengah hingga Asia Barat (Jetin, 2017).

Dan kedua jalur perdagangan laut (21st Century Maritime Silk Road) yang menghubungkan kawasan pesisir tenggara Tiongkok – Fuzhou dan Quanzhou di provinsi Fujian, Guangzhou dan Zhanjiang di Guangdong, Beihai di Guangxi dan Haikou di Hainan-ke Eropa melalui laut Tiongkok Selatan dan Samudera Hindia dalam satu jalur, dan Pasifik Selatan di jalur yang lain. Dari Hanoi, Vietnam, jalur laut menuju Laut Tiongkok Selatan dan kemudian Selat Malaka untuk mencapai Kuala Lumpur. Kemudian bergabung dengan Jakarta, Indonesia sebelum menyeberangi Kolombo, Sri Lanka, dan Koltaka, India. Kemudian jalur laut mengarah ke Nairobi, Kenya dan terus ke utara ke Laut Merah dan Lut Mediterania untuk mencapai Athena, Yunani, sebelum akhirnya di Venesia (Mingjiang, 2015). Tujuan dari OBOR adalah mengintegrasikan seluruh potensi ekonomi di sepanjung jalur OBOR menjadi system ekonomi terpadu dan Tiongkok menjadi episentrum. Kerjasama yang ditarget meliputi 65% populasi dunia dan sepertiga GDP global (Xing, 2018), sedangkan negara yang bergabung sebagai mitra lebih dari 60 negara. OBOR juga menjadi politik luar negeri Tiongkok dalam kebijakan luar negeri pemerintahan Xi Jin Ping.

Di Indonesia. telah diadakan penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) terkait proyek OBOR (One Belt One Road) antara sejumlah pebisnis Indonesia dan Cina dengan skema B-to-B dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing pada 27 April 2019. Penandatanganan kerjasama yang disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan (suara-islam.com, 13/05/2019).

Melalui OBOR pemerintah Indonesia mendapatkan sumber investasi untuk pendanaan dan pembangunan infrastruktur dari Asian Infrastructure Invesment Bank (AIIB). Bahkan khusus Indonesia, Tiongkok memberikan penawaran yang sangat menggiurkan untuk sejumlah proyek infrastruktur sekitar 90% dari kebutuhan biayanya (Suropati, Sulaiman, dan Montratama, 2016). Proyek-proyek OBOR tersebut dibagi menjadi dua. Kelompok yang pertama mencakup empat koridor wilayah yakni di Sumut, Kaltara, Sulawesi Utara dan Bali. Kelompok kedua mencakup proyek di wilayah Sumatra Selatan, Riau, Jambi dan Papua. (Bisnis.com, 22/3/2019).

Dalam pertemuan KTT II yang lalu, ada 28 proyek besar senilai USD 91,1 milyar sekitar Rp1.295,8 triliun yang di tawarkan kepada Indonesia. Namun hanya 23 proyek yang disepakati untuk masuk dalam OBOR, dimana lima dari 23 proyek yang ada total nilainya mencapai sekitar $14,21 miliar. Lima proyek tersebut adalah proyek PLTA Kayan ($1,5 miliar), investasi pengolahan limbah ($3 miliar), PLTA Salo Pebatua ($560 juta), pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seluas 31.000 Ha ($9 miliar), dan proyek industri perikanan terintegrasi di Pulau Seram, Maluku ($150 juta).

Proyek OBOR Cina yang sudah berjalan di antaranya infrastruktur tol darat, jalur kereta cepat Jakarta – Bandung yang menelan utang 4,5 M USD, Pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung, pembangunan kawasan industri Tanah Kuning dan PLTA sungai Klaya.

Keberadaan Indonesia dalam pusaran OBOR juga membawa dampak pada ekonomi, politik , dan pertahanan. Pendanaan infrastruktur oleh Tiongkok jelas sarat dengan jebakan untuk menjerat Indonesia dalam mekanisme kerangka kerja utang berkelanjutan (debt sustainability framework). Kerangka kerja berkelanjutan dicetuskan oleh Xi Jin Ping untuk mendorong kepatuhan terhadap standar internasional dalam kontrak-kontrak infrastruktur (https://www.voanews.com/a/china-president-xi-jinping-signals-change-in-belt-and-road-initiative-amid-criticism/4892905.html).

Kemudian, OBOR juga menjadi pintu produk-produk Tiongkok untuk menguasai pasar Indonesia, demikian juga tenaga kerja asal Tiongkok akan dipermudah masuk ke Indonesia. Terbukti dengan beberapa kerjasama yang ditandatangani mensyaratkan proyek tersebut harus dirancang, dijalankan, dibangun, dengan teknologi, material, dan tenaga kerja Tiongkok (Ellis, 2017). Dalam hal pertahanan, dikhawatirkan dapat menjadi celah ekspansi militer lewat jalur maritim. Anggaran belanja Tiongkok dalam 4 tahun terakhir mengalami peningkatan cukup signifikan yakni 12,2% pada tahun 2014 atau sebesar $132M, angka tersebut menunjukkan peningkatan pada tahun 2015 menjadi $145,9 dan pada tahun 2018 menjadi $174,6 M. Maka, keberadaan OBOR pada hakikatnya adalah sebuah penjajahan dalam ekonomi, politik, bahkan pertahanan.

Islam memandang penjajahan terhadap kaum muslim adalah sesuatu yang diharamkan bahkan celahnya wajib untuk ditutup, sebagaimana firman Allah dalam surah An-nisa (4): 141 bahwa:

 Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 141).

Demikianlah keberadaan OBOR harus ditolak. Penolakan ini hanya dapat dilakukan oleh sebuah negara yang memiliki power yang mampu memutus seluruh perjanjian-perjanjian batil yang merugikan dan membahayakan kaum muslim, itulah negara yang menerapkan hukum islam secara kaffah. Wallahu a’lam.

    

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak