Oleh: Eva Farida S. Pd (IRT, Aktifis Dakwah Islam)
Sudah sepatutnya kita bersyukur, karena Bulan Ramadhan telah kita rasakan, bulan yang penuh berkah, bulan Ramadhan yang dinanti karena penuh dengan Magfirah (ampunan). Tidak sedikit yang berlomba lomba meraih keutamaannya salah satunya dengan lebih banyak bersedekah, juga memperbanyak tilawah Alquran. Juga kita melihat lebih banyak lagi yang menegakkan ibadah Sunah. Karena memang di bulan Ramadhan ini dilipatgandakan pahala segala macam ibadah. Siapa yang tidak merasa bahagia dengan suasana yang demikian indah? Semua berangkat dari keyakinan akan janji Allah, akan dilipatgandakan dengan pahala yang melimpah. Seandainya saja suasana taat ini terwujud sepanjang waktu, pada masyarakat luas dan juga pastinya dalam setiap individu. Apalagi para pemegang kekuasaan yang suatu saat setiap keputusan adilnya pasti ditunggu. Maka Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bisa dirasakan kembali seperti dahulu. Dan ini hanya masalah waktu, karena janji Allah akan bangkitnya Islam pasti akan berlaku.
Setelah suasana yang demikian suram dan penuh kekacauan menyelimuti negeri, pastilah setiap kita menginginkan perubahan yang Allah ridhai. Namun perubahan hakiki bukanlah hanya dengan doa dalam hati. Namun perlu ada ikhtiar yang dilakukan oleh semua komponen umat ini, dari individu, masyarakat dan pemimpin sejati. Dengan ikhtiar yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang kita cintai, dalam merubah kondisi jahiliyah menjadi kondisi mulia. Dari kondisi terbelakang menjadi terdepan mewujudkan peradaban terbaik yang pernah ada di dunia ini. Sisa kemajuannya pun masih bisa terlihat hingga kini. Mari ikuti Ikhtiar Rasulullah SAW, yang akan dihisab di hari kiamat nanti. Jadi jelas bukan dengan ikhtiar mengikuti aturan main penjajah negeri. Karena selain dosa pasti akan menyelimuti, maka jelas tidak akan diraih kemenangan yang hakiki.
Lihatlah bagaimana prosesnya telah membuat banyak korban materi, perasaan, bahkan juga jiwa, untuk mematikan aspirasi umat yang ada. Maka mari kita kembali meneliti bersama. Sudahkan kita dalam track yang sama, dengan Rasulullah SAW yang mulia? Kemuliaan peradaban terbaik belumlah tampak ketika Rasulullah belum berposisi sebagai kepala negara dan menerapkan sistem Islam yang sempurna. Sehingga sosok dan sistem tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Menangani kelahiran bayi tentu kita akan memilih bidan yang baik dan punya metode yang jitu dan terbaik di tempatnya. Demikian juga ketika kita menitipkan anak, tentu kepada orang yang berakhlak baik dan punya kemampuan mengasuh anak kita. Pun tatkala kita menyerahkan anak perempuan kita kepada seorang laki-laki untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Jelaslah pasti kita akan memilih orang yang berakhlak baik dan punya ilmu agama yang pasti diterapkannya, untuk membawa anak kita ke surga. Begitu juga ketika kita berobat dan naik pesawat pastilah akan memilih sosok yang baik dan terpercaya dengan ilmu dan metodenya. Apatah lagi kepada pemimpin yang akan mengurusi segala urusan kita. Adilkah kita jika meminta pemimpin untuk senantiasa amanah dengan membiarkan sosok pemimpin ini mengurusi kita dengan sistem yang tidak akan mampu membuat pemimpin ini amanah (demokrasi) dan juga pada sistem yang tidak pernah membawa dirinya dan umat pada keselamatan akhirat ?
Maka ayo kita bersama menelaah cara Rasulullah mewujudkan Pemimpin dengan sistem yang amanah, dan juga telah terbukti dengan teknis yang mudah dan berbiaya murah. Namun mari kita samakan dulu frekuensi berfikir kita agar menjadi mudah. Bahwa kita yakin berasal dari Allah, hidup kita hanya untuk ibadah, dan yakin bahwa kita akan kembali kepada Allah. Maka hanya dengan sistem hidup Islam dalam naungan khilafah lah yang akan akan membuat hidup kita selamat dunia dan akhirat, dalam SurgaNya yang Indah.
Pemilihan seorang pemimpin dalam konteks ketika kekuasaan Islam yang sudah tegak yaitu yang disebut dengan sistem Pemerintahan Khilafah, maka mekanismenya adalah mengikuti apa yang dilakukan sahabat Umar bin Khattab RA ketika menentukan calon khalifah berikutnya sesudah Khalifah Umar, di mana kondisi seorang khalifah telah wafat atau diberhentikan oleh Mahkamah Mazalim, Mahkamah Mazalim akan menyeleksi nama nama calon khalifah. Adapun syaratnya adalah Laki-Laki, muslim, baligh , berakal, adil, merdeka dan mampu. Setelah itu akan diseleksi kembali oleh Majelis Umat sejumlah calon khalifah tersebut ditetapkan menjadi 6 calon, kemudian diseleksi lagi menjadi 2 orang orang oleh Majelis Umat. Kemudian dari 2 orang tersebut akan dipilih kembali salah satunya untuk menjadi khalifah.
Majelis Umat dalam sistem khilafah, berposisi untuk memberikan masukan, bagi Majelis Umat yang muslim dan memberikan komplain bagi yang non muslim. Dan mereka bisa sebagai leader dan representasi dari umatnya. Mereka tidak punya hak untuk membuat undang undang atau aturan, karena kedaulatan hukum ada ditangan Allah melalui hukum syara' yang akan dilegalkan oleh seorang khalifah. Majelis umat dalam sistem ini tidak punya hak untuk memberhentikan khalifah karena aqad antara khalifah dan rakyat bukanlah aqad ijarah melainkan aqad untuk memerintah atau mengurusi rakyat dengan hukum Allah. Jika khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’, maka seorang khalifah tidak boleh diberhentikan. Dan yang berhak memberhentikan adalah Mahkamah Mazalim bukan rakyat biasa.
Siapakah orang orang yang berada di dalam Majelis Umat, yaitu mereka yang terpilih dari anggota Majelis wilayah, dan anggota Majelis wilayah sendiri adalah orang yang mewakili suatu wilayah atau suatu komunitas dan dipilih langsung oleh umat. Majelis wilayah adalah sosok yang benar benar menjadi wakil dari wilayah tersebut dan telah dikenal luas track recordnya serta kemampuannya untuk menyampaikan masukan, keluhan, kritik dari masyarakat wilayah tersebut dan banyak berinteraksi dengan masyarakat atau komunitasnya. Jadi seorang yang terpilih menjadi Majelis Wilayah adalah merupakan representasi hakiki dari umat, bukan minta dipilih atau sosok representasi karbitan.
Secara teknis, yang dilakukan adalah pemilihan Majelis Wilayah terlebih dahulu. Bisa dengan uslub atau cara melalui Pemilihan Umum. Pemilihan Umum disini hanya sebagai cara, bukan Metode Baku, karena Metode Baku Pengangkatan Khalifah adalah dengan Bai’at In’iqad setelah khalifah dipilih oleh Majelis Umat. Setelah itu baru seluruh rakyat wajib membai’atnya dengan Bai’at Tha’ah. Metode dan cara adalah dua hal yang berbeda. Metode adalah sesuatu yang baku dan wajib mengambil apa yang dicontohkan oleh Rasulullah dan berlaku sampai hari kiamat, sedangkan pemilu adalah sebagai salah satu teknis yang bisa dipilih.
Semua mekanisme diatas berlaku jika sistem khilafahnya sudah tegak, namun berbeda ketika belum ada. Maka metode baku yang wajib dilakukan adalah yaitu dengan Thalab An-Nushrah dan Bai’at. Disinilah pentingnya untuk melakukan sinergi antara komponen umat bersama jamaah partai politik, mengerahkan segala potensi melakukan dakwah kepada berbagai pihak yang mampu melindungi dakwah Islam dan memberikan kepercayaan kepada Pemimpin Umat Sejati yang akan menerapkan Islam dalam sebuah Institusi Negara yang Allah ridhoi yaitu Khilafah ala Minhaj Nubuwwah.
Wallahu a’lam bisowab.
Cilangkap, Cipayung, Jakarta Timur.