Oleh : Ummu Athifa*
Pesta demokrasi telah berakhir, saatnya rakyat menunggu siapa yang akan memimpin negeri Indonesia ini. Siapapun yang akan menjadi pemimpinnya, pastinya rakyat harus sudah siap dengan segala kebijakannya. Tentu kebijakan pemerintah akan berubah untuk 5 tahun yang akan datang, karena pemimpin beserta jajarannya pun akan berganti.
Apakah kebijakan tersebut akan pro rakyat atau rakyat akan semakin panik? Hasilnya perlu menunggu dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat tentunya, agar mengetahui siapa kelak pemimpinnya.
Di samping menunggu hasil pemilu dari KPU hasil data sebenarnya (real count), banyak media elektronik yang menanyangkan hasil perhitungan cepat (quick count). Perhitungan cepat ini dilakukan sebagai bentuk apresiasi beberapa lembaga pada setiap pemilu.
Meskipun hasilnya terkadang sama dengan KPU atau bahkan berbeda, tetap saja banyak masyarakat yang memercayai perhitungan cepat ini. Memang pemilu telah berakhir, tetapi ternyata dibalik itu semua banyak kekisruhan dalam pelaksanaan. Misal, adanya keterlambatan logistik yang terjadi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Akibatnya, ada 11 kecamatan yang terancam tidak bisa mencoblos. Polisi akhirnya dilibatkan untuk mempercepat distribusi logistik tersebut. Selanjutnya, terdapat kotak suara rusak terjadi di kecamatan Tamansari dan Ciseeng, Kabupten Bogor, Senin, 15 April 2019.
Di dua lokasi itu ada 682 kotak suara yang rusak. Beruntung, KPU Kabupaten Bogor memiliki kotak suara cadangan (tirto.id/170419). Paling mengejutkan ternyata selama pemilu berlangsung tahun ini, terdapat dana asing yang masuk ke Bank Indonesia. Menurut Mirza Adityaswara selaku Deputi Senior Gubernur BI, dana asing yang masuk mencapai 91 T.
Itu terbagi atas pasar saham sebanyak 16 T, dan Surat Berharga Negara (SBN) sebanyak 75 T (cnbcindonesia.com/180419). Hal ini memang diinginkan oleh pihak asing, terutama jika pemimpin yang diinginkan menang kembali. Aliran dana asing ke pasar saham dan obligasi tahun ini bahkan diperkirakan bisa lebih dari US$ 6 miliar atau sekitar Rp 84,35 triliun, lebih besar dari 2018.
Hal ini disebabkan Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang tetap dipercaya oleh asing meskipun sedang melaksanakan pemilu. Arus inflow pasar saham dan obligasi mencapai US$ 6 miliar, jauh lebih besar dari total inflow 2018, menurut Chief Economist Bahana TCW Budi Hikmat dalam ulasan Post-Election Brief yang dipublikasikan, Kamis (18/04/2019) (cnbcindonesia.com/180419).
Kondisi di atas membuktikan bahwa meriahnya pesta demokrasi tak lain dibantu oleh pihak asing. Negara ini memang belum bisa mandiri, masih mengandalkan asing dalam hal apapun. Bagaimana mungkin pemimpin yang terpilih dapat mensejahterahkan rakyatnya, jika masih mengandalkan asing?
Jawabannya, sungguh tidak mungkin. Rakyat hanya dijadikan alat untuk memilih pemimpin, tetapi tak menjamin akan mensejahterakan rakyatnya setelah terpilih. Pemilu hanyalah alat untuk meraih kekuasaan bagi para penguasa di negeri ini, bukan untuk pro rakyat.
Berbeda dalam sistem pemerintahan Islam, pemilu hanyalah uslub. Bisa digunakan, bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Islam menetapkan, bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Sedangkan metode baku mengangkat Khalifah adalah bai’at.
Ada beberapa urutan dalam pemilihan pemimpin di Islam, yaitu :
1. Pemilihan Majelis Wilayah. Majelis Wilayah ini dibentuk dengan dua tujuan, yaitu pertama, memberikan informasi yang dibutuhkan wali (kepala daerah tingkat I) tentang fakta dan berbagai kebutuhan wilayahnya. Kedua, menyampaikan sikap, baik yang mencerminkan kerelaan atau komplain terhadap kekuasaan wali.
2. Pemilihan Majelis Umat bukan sebagai legislatif, mereka tetap merupakan wakil rakyat, dalam konteks syura (memberi masukan) bagi yang Muslim dan syakwa (komplain) bagi yang non-Muslim.
Anggota Majelis Umat ini terdiri dari pria, wanita, Muslim, dan non-Muslim. Sebagai wakil rakyat, mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat. Mereka mencerminkan dua: Pertama, sebagai leader di dalam komunitasnya. Kedua, sebagai representasi.
3. Pemilihan Khalifah. Nama-nama calon Khalifah yang telah diseleksi oleh Mahkamah Mazalim dan dinyatakan layak karena memenuhi syarat: Laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu, diserahkan kepada Majelis Umat. Majelis Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk ditetapkan sebagai calon Khalifah.
Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang ditetapkan pada zaman ‘Umar, atau dua, sebagaimana pada zaman Abu Bakar. Keputusan Majelis Umat dalam pembatasan calon Khalifah ini bersifat mengikat, sehingga tidak boleh lagi ada penambahan calon lain, selain calon yang ditetapkan oleh Majelis Umat ini.
Baik Mahkamah Mazhalim maupun Majelis Umat, dalam hal ini akan bekerja siang dan malam dalam rentang waktu dua hari tiga malam. Itulah mekanisme pengangkat pemimpin dalam Islam, yang disebut dengan Khalifah. Tidak akan berlama-lama dalam menentukan Khalifah, hanya 2 hari 3 malam.
Berbeda dengan pemilihan di era demokrasi, membutuhkan berbulan-bulan untuk pemilu, bahkan sampai setahun. Maka dari itu akan banyak biaya yang dikeluarkan untuk satu kali pemilu saja.
Wallahu'alam bi shawab
----
*Pemerhati Sosial Masyarakat dari Kuningan Jawa Barat