Pemilu dalam Islam

Oleh : Rita Yusnita (Komunitas Pena Islam)


Berbicara tentang Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, seakan tidak ada habisnya. Dari awal diselenggarakannya sudah menuai berita. Mulai dari kecurangan yang terjadi seperti membagi-bagikan uang  kepada masyarakat untuk memilih calon yang mereka unggulkan atau yang kita kenal sebagai money politic, hingga viralnya kotak surat suara yang terbuat dari kardus bergembok. Setelah Pemilu usai pun berita mengenainya tak juga berakhir. Kali ini tentang hasil perhitungan surat suara yang tidak sesuai jumlahnya antara media dengan fakta di lapangan dan juga kabar tentang jatuhnya korban dari masyarakat (Anggota KPPS) dan Aparat (Anggota POLRI). 

Berdasarkan keterangan dari KPU (Komisi Pemilihan Umum), sebanyak 91 anggota KPPS meninggal dunia seusai bertugas, jumlah ini berasal dari sejumlah daerah di 15 Provinsi di Indonesia. “Jadi 91 (petugas KPPS) yang meninggal dunia” kata Komisioner KPU, Viryan Azis di kantor KPU, Menteng, Senin (22 /4/2019) malam (Kompas.com, 24/04/2019).Selain anggota KPPS, korban meninggal dunia juga terjadi pada anggota POLRI, yaitu sebanyak 15 anggota gugur dalam melaksanakan tugas ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta selatan, Senin lalu (Detik.com, 22/04/2019). Rata-rata penyebab korban meninggal dunia karena kelelahan. Itulah sekelumit peristiwa yang terjadi mengiringi pemilu yang diadakan dalam sistem Demokrasi. Selain mahal dalam anggaran juga rentan kecurangan dalam segala aspek.

Dalam sistem Demokrasi, Pemilihan Umum (Pemilu) diadakan setiap lima tahun sekali untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin. Mereka  yang akan memerintah selama lima tahun bahkan bisa lebih (dua periode) jika rakyat menginginkan kembali. Salah satu tugas wakil rakyat adalah untuk membuat UUD dan UU. Inilah yang tidak diperbolehkan dalam syariah. Allah swt berfirman dalam Alquran yang artinya : “Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah “. (QS. Yusuf [12] : 40). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan. Akan ada lagi bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzab [33] ; 36). ”Barang siapa tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir “.(QS. al-Maidah [5] ; 45).

Membuat hukum atau menetapkan hukum selain Allah adalah sesuatu yang haram karena dalil-dalil di atas telah jelas bahwa tolak ukur baik-buruk, standar benar-salah, nilai terpuji-tercela dan hukum hanya Allah saja yang berhak menetapkannya.

Islam adalah Agama yang unik, satu-satunya agama yang mengatur manusia baik ibadah (ruhiyah) maupun dalam hal kehidupan/politik (siyasah). Karena itu sebagai konsekuensi dari keimanan seseorang, maka iman itu mengharuskan semua perbuatan manusia terikat pada hukum-hukum syara yang telah ditetapkan. Seorang mk’min akan senantiasa mendasarkan segala aktivitasnya pada hukum-hukum yang telah diturunkan kepadanya dan tidak mengadakan hal-hal baru. Begitu pula dalam hal memilih seorang pemimpin yang mana dalam Islam disebut dengan Khalifah.

Negara Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah tidak mengenal pembagian kekuasaan (Sparating of Power) sebagaimana yang diperkenalkan oleh Montesque dalam sistem negara Demokrasi. Meski demikian kekuasaan dalam sistem Islam tetap ditangan rakyat. Khalifah yang berkuasa dalam negara Khilafah juga tidak akan bisa berkuasa jika tidak mendapatkan mandat dari rakyat. Meski Khalifah memerintah karena mandat dari rakyat yang diperoleh melalui bai’at in’iqad yang diberikan kepadanya namun rakyat bukan majikan dari Khalifah. Sebab akad antara rakyat dengan Khalifah adalah akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Karena itu, selama Khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara maka dia tidak boleh diberhentikan. Bahkan, kalaupun melakukan penyimpangan dan harus diberhentikan maka yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat tetapi Mahkamah Mazalim.

Dalam kondisi sekarang, ketika Khilafah belum ada maka solusi untuk mengangkat seorang khalifah tentu bukan melalui pemilu. Karena pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan Khilafah. Juga bukan metode untuk mengangkat Khalifah. Namun, ini hanyalah uslub, bisa digunakan dan bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. 

Islam telah menetapkan bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Sedangkan metode baku untuk mengangkat Khalifah adalah Bai’at. Meski dalam praktiknya bisa saja menggunakan uslub pemilu. Karena itu mengerahkan seluruh potensi untuk melakukan uslub yang mubah namun meninggalkan metode baku yang wajib, yaitu thalab an-nushrah dan bai’at jelas tidak tepat. Meski harus dicatat, bahwa thalab an-nushrah tidak akan didapatkan begitu saja tanpa proses dakwah dan adanya jamaah (partai politik Islam ideologis) yang mengembannya.  


Sumber gambar : bimbinganislam.com

Sang Mentari

Assalamualaikum sahabat... Aku hanya seorang biasa yang sedang belajar tuk jadi pribadi yang tak biasa. Setiap desain adalah passionku, menulis dan bercerita merupakan kesukaanku, berbagi hal yang bermanfaat adalah kegemaranku. Islam sebagai way of life adalah dienku. Semoga dengan izinNya segera kan tegak kembali di bumi Allah ini. Aamiin @naybeiskara

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak