Oleh: Syaima AN
'Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak mengubahnya'. (QS. Ar Ra'du: 11).
Geliat kebangkitan umat Islam di negeri ini memang sudah terasa. Tak, terbendung bagai gemuruh dan debur ombak di pantai yang saling bersahutan, begitu mungkin gambarannya.
Persatuan Islam mulai terasa. Di saat Islam dihinakan, ulama dikriminalisasi, dan kitab suci Al Quran dilecehkan.
Dan umat Islam berfikir, ini harus diakhiri! Harus ada perubahan! Maka gelombang kebangkitan ini terus menggema ke seluruh penjuru bumi Nusantara.
Namun, masih beraneka ragam dan belum sepakat seperti apa cara untuk mengubah kondisi ini. Ada yang berpendapat melalui pemilu, pesta demokrasi setiap 5 tahun sekali. Karena katanya, jika kaum muslim menguasai parlemen maka akan mudah mengubah kondisi ini. Lalu, sebagian umat Islam berbondong-bondong mengikuti pesta ini dengan satu harapan, perubahan.
Ada yang berpendapat, pemilu bukan satu-satunya cara mengubah kondisi ini. Mengikuti aturan main demokrasi, Islam tidak akan pernah menang. Karena sejatinya demokrasi dan Islam saling berseberangan.
Suara terbanyak yang dijadikan dalih bagi sebagian orang sebagai bagian dari ajaran Islam, nyatanya dalam Islam tidak semua harus menggunakan suara terbanyak. Dan suara terbanyak dalam demokrasi hanya untuk 'mengakali' umat Islam.
Halal dan haram misalnya, Islam menetapkan dengan Nash syara bukan suara terbanyak. Tapi jika masalah teknis, misal teknis peperangan kadang diserahkan pada ahlinya atau dengan suara terbanyak.
Bayangkan jika halal dan haram menggunakan suara terbanyak, zina akan dihalalkan menurut manusia jika banyak yang mendukung. Na'udzu Billah.
Kembali ke topik pemilu sebagai salah satu cara untuk mengubah kondisi negeri ini menurut sebagian umat Islam.
Pada pemilu tahun ini, yang sudah berjalan pada tanggal 17 April kemarin serentak di seluruh daerah. Ada tragedi yang memilukan.
Di antaranya, diduga ada kecurangan entah itu d Quick Count ataupun Real Count, apakah kebetulan? tapi isu ini yang terus berulang.
Selain itu, jatuhnya korban di antaranya dari KPPS yang awalnya berjumlah 90 orang (nasional kompas.com, liputan 6 .com) lalu lebih dari 300 orang (Jawa Pos, 27 April 2019) dan yang terbaru 440 orang (detiknews.com) adalah hal yang sangat memilukan.
Mengapa ini terjadi? Banyak faktor, salah satunya adalah faktor kelelahan. Tidak istirahat selama hampir 2x24 jam.
Pemilu yang diharapkan mampu mengubah kondisi bangsa namun menelan banyak korban.
Sebagai muslim, jika sudah terjadi kita meyakini itu taqdir (qadha). Namun syababiyah (sebab-akibat) yang bersifat preventif sebenarnya masih ada yang bisa kita upayakan.
Menjadi pertanyaan, ini pemilu atau bencana?
Masih bisakah pemilu menjadi satu-satunya solusi mengubah negeri ini?
Allahu A'lam bi ash Showab