PEMILIHAN PEMIMPIN: DEMOKRASI VS ISLAM


Oktavia Nurul Hikmah


Jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia kembali bertambah. Hingga Jumat (10/5), 469 petugas KPPS dilaporkan meninggal dunia. Sementara jumlah yang sakit mencapai 4.602 orang, sehingga total petugas yang sakit dan meninggal sebanyak 5.071 orang (detik.com).

Innalillahi. Ratusan korban meninggal dan ribuan lainnya sakit dalam sebuah proses pemilihan pemimpin. Dugaan sementara karena kelelahan dalam melakukan pengawalan proses persiapan, pemungutan, dan penghitungan suara yang panjang dan berjenjang. Meskipun dugaan ini diragukan oleh Medical Emergency Rescue Commitee atau Mer-C yang menilai kematian para petugas Pemilu 2019 akibat kelelahan sebagai fenomena ganjil. Pasalnya, menurut MER-C, dalam medis kelelahan tidak dapat dijadikan sebab musabab seorang mengalami kematian. Tuntutan publik pun semakin meluas agar KPU segera melakukan penyelidikan menyeluruh sehingga diketahui penyebab hilangnya ratusan nyawa dan sakitnya ribuan jiwa. 

 Pemilu tahun ini memang berbeda dengan pemilihan sebelumnya. Kali ini, rakyat memilih presiden-wakil presiden, anggota DPRD 1, anggota DPRD 2, anggota DPR RI dan anggota DPD RI dalam satu hari pemilihan serentak. Bisa dibayangkan beratnya beban kerja yang dirasakan oleh para petugas pemilu. Belum lagi berbagai kecurangan dan kekisruhan yang terjadi di lapangan menyebabkan tekanan secara psikis dialami oleh para relawan demokrasi ini. Bahkan, ada dua petugas yang meninggal karena bunuh diri. 

Suatu negara tanpa pemimpin dan struktur pemerintah tentu akan menjadi lumpuh. Karena itu, pemilihan pemimpin menjadi suatu keharusan agar segera terwujud sosok-sosok yang bertanggungjawab secara penuh kepada rakyat. Namun menjadi satu ironi jika pemilihan penguasa rakyat justru mengorbankan rakyat. Bukan satu dua, tapi ratusan jumlahnya. Inilah sebuah realita penerapan sistem politik demokrasi sekuler. Asas kemanfaatan menjadi hal utama. Prosesnya pun mengabaikan pengaturan agama. Sebaliknya, akal manusia yang terbatas dijadikan panglima. Akibatnya, terdapat banyak kekurangan bahkan kecacatan yang tidak mampu diprediksikan oleh akal manusia yang serba terbatas.  

Islam pun memiliki sejarah pemilihan pemimpin. Terhitung sejak wafatnya Rasulullah, para sahabat melakukan upaya optimal untuk memilih sosok Khalifah pengganti posisi Rasulullah dalam memimpin daulah Islam di Madinah. Prinsip utamanya adalah kesegeraan mewujudkan penguasa yang mengurus rakyat dengan syariat Islam.

Pertama, pemilihan Khalifah Abu Bakar ash Shidiq. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat segera berkumpul untuk menentukan Khalifah sebagai pengganti Rasulullah dalam memimpin negara. Terdapat empat calon yang diajukan oleh kaum muslimin yaitu Saad bin Ubadah, Abu Ubaidah, Umar bin Khaththab dan Abu Bakar. Setelah diskusi tersebut, dibaitlah Abu Bakar dengan baiat in’iqad. Keesokan harinya, seluruh kaum muslimin membaiat Abu Bakar dengan baiat taat. 

Kedua, pemilihan Khalifah Umar bin Khattab. Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkan pada kematian, beliau meminta pendapat kaum muslimin mengenai pengganti beliau sebagai khalifah. Proses pengumpulan pendapat berlangsung tiga bulan hingga akhirnya beliau mencalonkan Umar bin Khattab. Seteah wafatnya Abu Bakar, kaum muslimin datang ke masjid untuk membaiat Umar bin Khattab. Artinya, dengan baiat inilah Umar bin Khattab sah menjadi khalifah kaum muslimin, bukan dengan proses pengumpulan pendapat ataupun pencalonan Abu Bakar. 

Ketiga, pemilihan Khalifah Utsman bin Affan. Setelah Umar bin Khaththab tertikam, kaum muslimin memintanya menunjuk pengganti. Hingga tersebutlah enam nama. Umar bin Khaththab menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan memimpin enam orang yang telah belaiu calonkan hingga terpilih seorang khalifah dalam jangka waktu tiga hari. Beliau berkata, “… Jika lima orang telah bersepakat dan meridhai seseorang, sementara yang menolak satu orang, maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang…” (Tarikh At Thabari). Pertemuan itu menghasilkan dua nama yaitu Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Berikutnya, digalilah pendapat masyarakat dengan jalan menanyai setiap orang, laki-laki dan perempuan mengenai pilihan yang mereka inginkan antara Ali dan Utsman. Proses tersebut terjadi dalam tiga hari. Hingga sempurnalah pembaiatan Utsman saat Shubuh. Dengan baiat inilah Utsman sah sebagai khalifah, bukan dengan pencalonan Umar. 

Keempat, pemilihan Ali bin Abi Thalib. Ketika Utsman terbunuh, mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib. Ali pun sah menjadi khalifah dengan baiat tersebut.

Demikianlah proses pemilihan Khalifah oleh para sahabat. Terdapat beberapa poin penting dari kesepakatan para sahabat yang menjadi salah satu sumber hukum dalam masalah pemilihan pemimpin. Pertama, batas waktu tiga hari sejak wafatnya seorang khalifah untuk membaiat khalifah penggantinya. Kedua, batasan jumlah calon sebanyak enam orang. Sementara terkait proses pencalonan dan mekanisme pemilihannya boleh menggunakan bermacam-macam cara.

Proses pemilihan pemimpin dalam Islam dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Urgensitas keberadaan penguasa yang memimpin umat dengan syariat menghasilkan kesungguh-sungguhan kaum muslimin dalam melakukan pemilihan. Sebaliknya, ketiadaan pemimpin menyebabkan banyak sekali hukum syariat yang tidak dapat tertunaikan. Karena itulah baik umat maupun calon penguasa bersungguh-sungguh dalam ikhtiar untuk menetapkan pemimpin terbaik di antara mereka. Proses ini merupakan proses yang jurdil karena calon penguasa merupakan sosok yang memang diinginkan rakyat, bukan para pengejar kekuasaan. Selain itu, ketundukan pada syariat menyebabkan proses integrasi berlangsung secara alami. Kaum muslimin tidak akan berani menyelisihi pendapat mayoritas umat karena hal tersebut dapat menyebabkan perpecahan. Keseluruhannya melahirkan suatu proses pemilihan pemimpin yang aman dan penuh keikhlasan. 

Wallahualam. 

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak