Oleh: Tuti hermawaty S.Sos
(Pengamat Sosial Masyarakat)
Kisruh gelaran pemilu 2019 yang dilaksanakan di Indonesia 17 April lalu ternyata belum menemukan titik terang kapan akan berakhir. Panasnya persaingan untuk mendapatkan posisi sebagai presiden yang terjadi dari sejak jauh hari sebelumnya nyatanya semakin dahsyat sesudah pemilu terselenggara. Kedua kubu mengklaim mengantongi suara terbanyak, hasilnya ditunggu semua pihak pada tanggal 22 mei mendatang. Semakin hari semakin banyak energi tercurah baik dari pihak penyelenggara, tim sukses maupun para pendukungnya.
Dari sisi penyelenggaraan pemilu berbagai permasalahan seperti masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara, kerusakan surat suara, hingga surat suara tercoblos lebih dulu menunjukkan KPU gagal menjamin pemilu berjalan langusng. (www. Tirto.id). Permasalahan yang cukup fatal adalah jatuhnya banyak korban dari KPPS akibat kelelahan. Sebagaimana disampaikan oleh ketua KPU, Arief Budiman bahwa sampai dengan tanggal 22 mei 2019 sudah terdata sebanyak 90 orang petugas KPPS meninggal dunia dan 374 orang sakit ketika sedang bertugas. (www.kumparan.com). Kejadian ini tentu membuat mengecewakan banyak pihak karena tidak selaras dengan anggaran pemilu yang sangat fantastis yaitu sebesar 25 triliun.
Belum lagi dana yang harus dikeluarkan oleh para peserta calon Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Zaenur Rahman mengatakan bahwa modal kampanye anggota legislatif berkisar antara 1-5 miliar rupiah. (www.okezone .com) Sedangkan untuk calon presiden dananya mencapai ratusan miliar bahkanbisa diatas 1 triliun.
Mahalnya ongkos politik ini adalah suatu hal yang diniscayakan dalam sistem demokrasi. Kedudukan sebagai pejabat publik dianggap menjanjikan pundi-pundi rupiah yang menggiurkan. Dengan kedudukannya proyek apapun bisa menjadi mulus. Akibatnya adalah tingginya tingkat korupsi karena gaji yang didapatkan tidak mampu mengembalikan modal kampanye yang sudah dikeluarkan.
Pemilihan seorang pemimpin sebenarnya bisa dilakukan secara efektif dengan biaya murah jika kita melihat bagaimana suksesi kekuasaan pada masa khulafaur rasyidin. Pada saat Rasulullah SAW wafat berkumpul para sahabat di tsaqifah bani saidah untuk membahas pemimpin pengganti Rasulullah SAW yang disebut dengan nama khalifah. Maka para sahabat yang terdiri dari kaum anshar dan muhajirin sepakat memilih Abu Bakar Ashshidiq Ra dan berbaiat kepadanya. Pada saat Abu Bakar Ra hendak mangkat, Abu Bakar mengelilingi rumah-rumah di kota madinah yang saat itu adalah ibukota Kekhilafahan Islam untuk bertanya siapa yang layak menggantikannya . Nama yang banyak disebut oleh penduduk adalah Umar Bin Khathtab dan Ali Bin Abi Thalib. Akhirnya yang terpilih adalah Umar yang menjadi Khalifah berikutnya dan rakyat berbaiat kepadanya. Umarpun ketika menjelang wafatnya, sesudah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah, seorang Majusy, beliau mengumpulkan 6 orang sahabat untuk bermusyawarah terkait penggantinya. Musyawarah itu dipimpin oleh abdurrahman bin Auf yang akhirnya memutuskan Utsman bin Affan sebagai khalifah yang kemudian dibaiat. Selanjutnya sesudah Utsman Bin Affan wafat yang ditunjuk menjadi khalifah adalah Ali Bin Abi Thalib dengan baiat dari penduduk. Demikianlah pemilihan pemimpin dalam Islam. Tanpa biaya mahal, tanpa keributan yang menguras emosi dan tenaga.
Mengapa suksesi tersebut bisa berjalan lancar, aman dan damai? Tentu saja jawabannya adalah karena umat Islam memahami bahwa jabatan itu adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Bahkan Umar Ra yang dikenal tegar dan tegas menangis ketika mendengar ada keledai yang mati karena tergelincir akibat jalan yang berlubang di kota Baghdad. Umar Ra khawatir Allah SWT meminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya dan perlindungannya terhadap rakyatnya, sekalipun pada saat itu hanya seekor keledai yang mati. Hal ini tentu jauh berbeda dengan kondisi sekarang dimana para pemimpin tenang saja ketika banyak diberitakan anak-anak sekolah yang bertarung nyawa menyeberang sungai dengan titian untuk bersekolah. Ataupun jalan yang berubah menjadi kubangan karena lubang dalam yang terisi air. Banjirpun dianggap biasa, seakan-akan menjadi bahasan yang tidak bosan-bosannya diulang di musim penghujan tanpa ada solusi yang tuntas.
Rasa takut kepada Allah itu muncul dari keimanan dan ketaqwaan pada diri kaum muslimin. Memahami bahwa apapun yang dia lakukan akan dihisab dan mendapatkan balasan setimpal. Kebaikan dengan kebaikan, dan keburukan dengan keburukan. Setiap amal perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah terikat pada aturan Allah dan Al-Qur’an Hadits sebagai tuntunannya, termasuk dalam hal kepemimpinan. Pemilihan Khulafaur Rasyidin yang berlangsung secara cepat, aman dan damai menunjukkan betapa agungnya ketika Islam memimpin dan ketika syariat Islam diterapkan secara total dalam kehidupan.