Oleh: Rosyidah*
Pemilu 2019 yang berlangsung belum lama ini dinilai banyak kalangan sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah di negeri ini. Selain berbiaya mahal, pesta demokrasi ini juga menimbulkan banyak korban dan sarat dengan berbagai bentuk kecurangan, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suara terbanyak.
Pemilihan pemimpin dalam demokrasi memang sangat mahal. Hal ini diakui oleh wakil ketua MPR, Mahyudi. Dia mencontohkan,untuk maju menjadi calon gubernur saja sedikitnya diperlukan Rp 50 miliar (detiknews,20/10/2018).
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan bahwa anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pemilu serentak melalui APBN sekitar Rp 25 triliun. Kalau diperhitungkan semua biaya yang dikeluarkan oleh para kontestan baik capres dan terutama para caleg yang jumlahnya ratusan ribu orang, maka bisa diperkirakan biaya yang harus dikeluarkan melebihi angka Rp 100 triliun. Sebuah angka yang tidak sedikit (Kompasiana,8/4/2019).
Pemilu serentak pilpres dan pileg yang menguras tenaga petugas itu pun mengakibatkan banyak korban, baik yang sakit maupun yang meninggal. Menurut komisioner KPU, Viryan, ia mengatakan bahwa petugas pemilu yang meninggal mencapai 225 orang dan yang mengalami sakit 1447 orang (cnnindonesia,25/4/2019).
Bahkan mereka yang gagal dalam kontestasi politikpun bisa terserang berbagai gangguan. Mulai gangguan ekonomi, gangguan kesehatan hingga gangguan jiwa, baik ringan, sedang maupun berat.
Di samping itu, kecurangan pemilu rentan terjadi pada proses pemungutan dan penghitungan suara. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh wakil ketua DPR RI, Fadli Zon bahwa kecurangan dalam pemilu ini sangatlah terstruktur, sistematis, masif dan brutal. Mulai dari pra pelaksanaan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan (detiknews,24/4/2019).
Kemajuan teknologi informasi dan keterbukaan akses informasi mampu merekam berbagai kecurangan di tiap TPU di seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Kecurangan tersebut antara lain: pelanggaran terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT), kecurangan logistik, petugas yang tidak netral, maraknya praktek money politic, dan yang paling rentan terjadi kecurangan adalah metode pemungutan suara melaui Kotak Suara Keliling (KSK) atau dropbox bagi pemilih yang berdomosili di luar negeri.
Itulah beberapa poin yang terjadi dalam pemilihan pemimpin menurut sistem demokrasi yang rumit, kacau dan sarat dengan kecurangan.
Proses pemilihan pemimpin dalam demokrasi tentu sangat berbeda dengan Islam.
Dalam demokrasi, pemimpin yang terpilih melalui pemilu, berhak memimpin selama 5 tahun, maksimal 2 periode. Adapun aturan yang diterapkannya adalah aturan buatan manusia, digodok oleh dewan legislatif, yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
Demokrasi juga menerapkan pembagian kekuasaan (trias politica) yang dicetuskan oleh Montesque. Proses pemilihan pemimpin dalam demokrasi tentu sangat berbeda dengan Islam. Dalam demokrasi, pemimpin yang terpilih melalui pemilu, berhak memimpin selama 5 tahun, maksimal 2 periode.
Adapun aturan yang diterapkannya adalah aturan buatan manusia yang digodok oleh dewan legislatif yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Demokrasi juga menerapkan pembagian kekuasaan (trias politica) yang dicetuskan oleh Montesque, di mana setiap pemerintahan, kekuasaan terbagi menjadi 3, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sedangkan dalam negara khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan semacam itu. Meski demikian, kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam tetap berada di tangan rakyat. Adapun dalam Islam, pemilihan pemimpin(khalifah) meskipun melibatkan rakyat namun bukan untuk menjalankan kehendak rakyat, tetapi dipilih untuk menerapkan hukum syara'.
Oleh karena itu selama khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara', maka dia tidak boleh diberhentikan. Bahkan kalaupun melakukan penyimpangan dan harus diberhentikan, maka yang berhak memberhentikan adalah mahkamah madzalim, bukan rakyat.
Oleh karena itu, majelis wilayah maupun majelis umat, sekalipun merupakan representasi rakyat, mereka tetap tidak berhak memberhentikan khalifah. Selain itu mereka juga tidak mempunyai hak legislasi, karena kekuasaan legislasi dalam Islam sepenuhnya hanya di tangan khalifah. Dengan demikian, wakil rakyat ini hanya mempunyai hak dalam check and balance.
Perlu diketahui, bahwa pengangkatan khalifah hukumnya adalah fardhu kifayah, sehingga tidak harus dipilih langsung oleh rakyat. Apabila kemudian ditetapkan bahwa majelis umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi.
Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka khalifah bisa dibaiat dengan bai'at in'iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib membaiatnya dengan baiat tha'ah. Adapun cara pengangkatan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin ada 2 cara, yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa itu tanpa ada yang membantah.
Pertama, dengan cara dipilih. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada waktu Rasulullah wafat. Para sahabat dari kaum Anshar dan Muhajirin di Saqifah Bani Sa'idah berkumpul dan membahas siapa yang layak menggantikan Rasulullah Saw.. Mereka juga sepakat untuk menunda pemakaman beliau selama 3 hari, mengingat pentingnya pengangkatan khalifah ini. Akhirnya jatuhlah pilihan mereka kepada Abu Bakar ra. Berdasarkan hadits : "Kepemimpinan itu di tangan orang-orang Quraisy". Mereka menyadari pengaruh Quraisy itu luar biasa, maka Abu Bakar ra. mewakili orang-orang Quraisy.
Meskipun wilayah daulah pada masa Rasulullah SAW meliputi seluruh jazirah Arab, yaitu meliputi 7 negara, namun proses suksesi dari nabi kepada Abu Bakar begitu mudah. Pengangkatan khalifah dengan cara dipilih juga terjadi pada Ali bin Abi Thalib. Pada saat khalifah Utsman bin Affan wafat.
Para ahli Taurat berkumpul dan menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti, namun Ali menolaknya sekaligus meminta mereka untuk melakukannya secara terbuka. Kemudian kaum muslimin berkumpul di masjid Nabawi, akhirnya dipilihlah Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke 4.
Kedua, cara al 'ahdu atau istihlaf. Seorang pemimpin memilih penggantinya dari umat Islam yang menurutnya layak untuk menggantikan kedudukannya. Ketika seorang khalifah merasa bahwa ajalnya telah dekat, dia bermusyawarah untuk memilih calon penggantinya. Sebagaimana yang pernah dilakukan ketika Abu Bakar hendak wafat.
Beliau keliling mendatangi rumah penduduk Madinah (ibu kota khilafah saat itu) dan menanyakan kepada mereka satu persatu siapa kira-kira orang yang layak menggantikannya. Pilihan kaum muslimin jatuh pada 2 nama, yaitu Umar bin Khatab yang saat itu menjadi wazir (pembantu khalifah) dan Ali bin Abi Thalib.
Akhirnya menjelang Abu Bakar wafat beliau mewasiatkan bahwa yang akan menggantikan beliau adalah Umar bin Khatab. Begitu Abu Bakar wafat, Umar kemudian dibaiat menggantikannya. Demikian pula Ketika kondisi Umar bin Khatab (khalifah ke- 2) mengalami sakit menjelang wafat.
Setelah ditikam Abu Lu'luah dari orang majusi, maka Umar mengumpulkan 6 orang sahabat. Lalu Umar berwasiat agar memilih salah satu diantara mereka menjadi penggantinya. Dari 6 orang itu akhirnya setelah musyawarah dipilihlah Utsman bin Affan sebagai penggantinya menjadi khalifah ke-3.
Begitu mudahnya proses pemilihan pemimpin dalam Islam. Tidak rumit, tidak menelan banyak korban, efektif, efisien, namun mampu menghasilkan pemimpin yang amanah. Karena semua itu dilakukan berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Namun dalam kondisi sekarang, ketika khilafah belum ada, maka solusi untuk mengangkat khalifah tentu bukan melalui pemilu. Karena pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan khilafah, juga bukan metode pengangkatan khalifah. Tetapi ini hanya uslub, yang dapat digunakan dan bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Karena Islam telah menetapkan bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Sedangkan metode baku untuk mengangkat khalifah adalah baiat. Namun thalab an-nushrah hanya akan didapatkan melalui proses dakwah dan adanya jamaah (partai politik Islam ideologis) yang mengembannya. Wallahu 'alam bish showab
----
*Muslimah Penulis dari Kuningan Jabar