Oleh: Pipit Agustin (AMK Jatim)
OBOR sudah dinyalakan. Proyek One Belt One Road (OBOR) telah ditanda-tangani oleh menteri Luhut pada April lalu. Proyek yang kini telah diperhalus oleh pemerintah China menjadi Belt and Road Initiative (BRI) merupakan realisasi kerjasama yang diinisiasi oleh China guna membuka kran koneksi dagang antarnegara di Eropa dan Asia melalui Janus sutra maritim. Proyek jalur sutera modern ini merupakan obsesi presiden Tiongkok Xi Jinping. Ia ingin membangkitkan kembali kejayaan jalur sutera China di masa silam. Hal ini Ia sampaikan pada saat Bertolak ke Indonesia tahun 2013 lalu. Ambisi Xi tersebut melahap anggaran sebesar RP. 2 ribu triliun setiap tahun.
Kini, sejumlah 68 negara telah masuk ke dalam inisiatif OBOR. Proyek ini sudah berjalan 5 tahun. Sudah ada 8 negara berisiko terjerembab dalam jerat utang proyek tersebut, yaitu Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Djibouti, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Pakistan paling parah, karena terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai USD 6 miliar atau RP. 903 triliun. Satu lagi negara naas yang terjerat jebakan utang adalah Sri Lanka. Utang terhadap Tiongkok sebesar USD 8 miliar (116 triliun). Kini ia harus menyerahkan infrastruktur nya yaitu 70 persen saham kepemilikan pelabuhan Hambantota serta memberikan hak pengelolaannya kepada Tiongkok Selama 99 tahun.
Belajar dari Sri Lanka, nampaknya Indonesia harus bijak dalam mengambil keputusan. Proyek OBOR harus dibaca sebagai upaya diplomasi ekonomi China guna menguasai jalur perdagangan dunia. Hal ini tidak mengherankan mengingat China telah merasa kaya Dan makmur. Ha ini mendorong China untuk tampil menguasai jalur perdagangan dunia. Tujuannya agar terjamin eksistensinya dalam jangka panjang. Dan untuk menyelamatkan kepentingannya, negara tamak tersebut harus membangun kekuatan militernya.
Adegan seperti ini telah diperankan lebih dulu oleh negara-negara Europa, Rusia, Jepang, Dan Amerika sebagai negara kaya. Namun kini, mereka tengah berhadapan dengan pesaing tangguh, Tiongkok. Oleh karenanya, untuk menghalau inisiatif proyek OBOR, mereka terus memprovokasi negara-negara sekutunya untuk menolak OBOR.
Sejatinya, OBOR merupakan penjajahan non militer. Sistem ini menjerat negara sasaran dengan lilitan utang yang mustahil bisa terurai. Atau bisa terurai hanya jika dibayar dengan "kedaulatan". China bisa leluasa memilih aset atau tanah di berbagai negara beserta pengelolaannya. Sebagaimana Sri Lanka yang telah menyerahkan hak kelola Bandaranya selama hampir satu abad mendatang. Lalu Indonesia, dengan jumlah utang yang kini melampaui anka Rp. 5ribu triliun lebih, masih bernafsu menjilat OBOR 'panas' China?