Oleh Nuraisah Hasibuan S.S*
Akhirnya mimpi buruk itupun terjadi! Proyek One Belt One Road (OBOR) ditandatangani menteri Maritim Luhut Binsar Panjaitan dalam pertemuan di Beijing tanggal 24-28 April lalu. Indonesia dan Cina sama-sama sepakat mengembangkan 28 sektor usaha dengan total pinjaman dana dari Cina sebesar 1.280 Triliun rupiah. (30/3/2019)
Perlu kita ketahui bahwa OBOR ini adalah istilah baru untuk Jalur Sutera, yakni ambisi Cina sejak masa lalu untuk menguasai perekonomian dunia, mulai dari daratan Cina hingga ke Eropa. Cina menawarkan pembangunan infrastruktur baik darat (seperti jalan dan jalur kereta) maupun laut (pelabuhan). Dengan dana 114.000 Triliun rupiah, Cina menargetkan akan melibatkan sekitar 65 negara, termasuk Indonesia.
Dan dikarenakan dana berasal dari Cina, maka secara otomatis semua proyek berada di bawah panji kebijakan Cina, termasuk pengadaan pekerja juga didatangkan dari negeri Cina ke seluruh dunia. Di dalam negeri, proyek yang diinisiasi presiden Cina Xi Zinping ini kontan menuai kontroversi.
Bagaimana tidak, dari segi hukum, perjanjian dalam proyek tersebut membuat beberapa wilayah yang dilalui jalur OBOR (yakni Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali) berada dalam wilayah penguasaan asing. Artinya, negara kehilangan kendali penuh atas wilayah-wilayah tersebut.
Padahal Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat atas setiap jengkal tanahnya. Setidaknya begitulah yang termaktub dalam Undang-Undang. Kecurigaan yang sangat besar juga muncul jika nantinya proyek ini berpotensi pada jebakan utang. Utang Indonesia saat ini sudah mencapai 4.400 Triliun, belum termasuk bunga.
Negara sudah ngos-ngosan berusaha mencari celah untuk bisa mengurangi utang, bahkan sampai harus membebankannya pada rakyat dengan menaikkan tarif ini dan itu. Namun dengan proyek OBOR ini, hutang malah semakin bertambah lagi. Pemerintah perlu berkaca pada Sri Lanka, yang harus merelakan pelabuhan Hambatota kepada Cina karena tidak mampu membayar utang sebesar USD 8M.
Atau negara-negara lain yang dijejali hutang hingga tak sanggup membayar dan terpaksa merelakan hegemoni Cina merajai wilayahnya. Berkacalah pada Pakistan dengan utang USD 62M, Montenegro 1,3M euro, Maldives USD 225 juta, dan Djibouti-Afrika yang harus menyerahkan pelabuhannya ke Cina.
Ya, Cina memang sedang mengalami perkembangan ekonomi yang melesat, baik itu didapatkan dari produk-produk "Made in Cina" yang tersebar ke seluruh dunia, dan tentu saja dari bunga utang. Target Cina, barang-barang buatan negerinya harus mendominasi pasar dunia. Cina menyadari dengan kekuatan ekonominya, maka ia juga akan memperoleh kekuatan politik.
Terbukti di tahun 1971, ketika Cina menggelontorkan dana yang sangat besar untuk Afrika, Afrika akhirnya mendukung penuh negeri Tirai Bambu tersebut untuk men-Cina-kan Afrika. Dan jika kekuatan politik telah berada dalam genggaman, target selanjutnya adalah membangun kekuatan militer.
Dari segala sisi, proyek OBOR ini sangat berbahaya. Pemerintah tidak boleh hanya fokus pada meningkatnya pembangunan infrastruktur dalam negeri yang nantinya akan dibangun di bawah kendali Cina, atau pada perekonomian yang ternyata malah mematikan ekonomi lokal karena digantikan produk-produk Cina.
Lebih dari itu, kedaulatan negara dipertaruhkan demi proyek ini. Belum lagi kemungkinan bangkitnya kembali ideologi Komunisme yang sungguh telah menorehkan tinta hitam dalam sejarah Indonesia. Maka sebelum pelaksanaan proyek ini semakin jauh, kita harus sepakat untuk menolaknya. Jangan sampai sesal yang didapat ketika semua sudah terlambat.
*(Pemerhati Sosial)