Muslim Uighur Butuh Khilafah!

Oleh : Hardi Jofandu, 

Konten Kreator Dakwah


Bulan Ramadhan adalah bulan mulia penuh berkah. Pada bulan ini, pintu surga dibuka selebar-lebarnya, pintu neraka ditutup serapat - rapatnya, dan setan-setan dibelenggu. Selain itu, ada yang spesial pada bulan ini : pahala dilipatkan gandakan pada bulan ini, termasuk ada malam lailatul Qadar, yang lebih baik baik dari seribu malam. Itulah sebabnya, seorang Muslim harusnya bergembira riah dengan datangnya bulan Ramadhan. 


Pada saat yang sama--kala kita sedang bergembira--, saudara kita, muslim Uighur yang berada di Xinjiang, China tidak diperbolehkan berpuasa dan menjalankan syariat agama Islam. Dalam sebuah laporan yang dirilis Amnesty Internasional, pemerintah China menganggap bahwa puasa Ramadhan -- bersama tampilan afiliasi keagamaan seperti menumbuhkan jenggot, menggunakan penutup kepala, shalat, dan menghindari alkohol-- sebagai tanda "eksterimisme". Kata Alip Erkin, seorang media aktivis Uighur untuk Uighur Bulletin, jika muslim mereka (muslim uighur) melakukan aktivitas keagamaan atau mengekspresikan identitas agama mereka, mereka akan dikirim ke kamp interniran atau 'camp pendidikan ulang'.


Kamp Pendidikan Ulang adalah nama yang diberikan untuk kamp pengasingan yang dioperasikan oleh pemerintah lokal Xinjiang sejak tahun 2014. Kamp ini dioperasikan secara rahasia dan diluar sistem hukum. Orang dapat ditangkap tanpa alasan dan dihukum tanpa proses pengadilan apapun. Sampai Mei 2019, ada sekitar 1-2 juta umat Muslim Uighur yang ditahan di kamp-kamp interniran ini. Di kamp ini, muslim uighur dicuci otaknya untuk melupakan Islam, dipaksa makan daging babi dan minum alkohol, mengalami berbagai bentuk penyiksaan, para wanitanya diperkosa, dan sebagainya. 


Di wilayah Xinjiang, polisi melakukan pengawasan begitu ketat terhadap kaum Muslim disana. Polisi memasang kamera pengintai dimana-mana. Ada juga kendaraan lapis baja dan tank-tank di jalanan. Tidak ada batasan apa yang bisa dilakukan aparat keamanan. 


Dimana Penguasa Negeri Muslim? 


Di tengah bengisnya rezim Komunis China terhadap kaum Muslim Uighur, penguasa negeri-negeri Muslim yang memiliki kekuasaan hanya diam--kalaupun bersuara hanya sebatas mengkritik --menyaksikan penindasan ini. Menurut Laporan Council on Foreign Relations, tidak ada negara yang mengambil tindakan selain hanya mengeluarkan pernyataan kritik. 


Seperti penguasa negeri-negeri Muslim pada umumnya, penguasa negeri ini juga hanya diam menyaksikan penderitaan Muslim Uighur. Padahal sebagai negeri yang mayoritas penduduknya muslim, penguasa negeri ini harusnya mengambil tindakan untuk menyelamatkan muslim Uighur. Faktanya, jangankan mengambil tindakan untuk menyelematkan muslim Uighur, penguasa negeri ini malah bersekongkol dengan Komunis China. 


Sejumlah pengamat pun menangkap sinyal bahwa Indonesia kurang lantang merespon persoalan Uighur karena adanya kerja sama ekonomi dengan China. Peneliti lembaga Think Thank Singapura menganggap jokowi akan berpikir dua kali sebelum menyinggung China soal ini di depan publik, salah satunya karena kerja sama ekonomi terutama modal Beijing yang cukup besar tertanam di Indonesia. Merujuk pada data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi dari China pada periode Januari-September 2018 mencapai USD 1,8 Milliar. 


Menurut pengamat Politik Internasional , Teuku Rezasyah, ketergantungan ekonomi dan investasi terhadap menjadi salah satu alasan Indonesia tidak bisa menekan China dalam masalah Uighur. "Ketergantungan ekonomi yang tinggi atas China di bidang perdagangan dan investasi, dalam konteks bilateral dan CAFTA, memaksa RI berpikir amat panjang dan mendalam sebelum membuat sebuah kebijakan atas praktik pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang". Ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/12).


Selain ketergantungan ekonomi, Indonesia juga telah menyepakati perjanjian kemitraan komprehensif strategis bersama China pada 2008 lalu. Menurut Teuku, perjanjian itu mensyaratkan hubungan bilateral di berbagai bidang harus terpelihara dan tidak boleh terganggu akibat peristiwa baru di masa depan yang mengganjal kedua negara, termasuk kasus dugaan pelanggaran HAM ini. 



Muslim Uighur Butuh Khilafah! 


Melihat fakta ini, kita tidak bisa lagi berharap kepada penguasa negeri-negeri Muslim untuk membantu Muslim Uighur. Mereka semua justru menghianati saudara mereka. Lalu apa yang Muslim Uighur butuhkan untuk menyelamatkan mereka? 


Dalam Islam, pelindung kaum Muslim adalah Khalifah. Dalam suatu hadits, Rasulullah menyebutkan Khalifah/Imam sebagai junnah bagi kaum Muslim. Rasulullah SAW bersabda :


إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]


“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim



Makna, al-Imâm Junnat[un] [Imam/Khalifah itu laksana perisai] dijelaskan oleh Imam an-Nawawi:


أَيْ: كَالسَّتْرِ؛ لأَنَّهُ يَمْنَعُ اْلعَدُوَّ مِنْ أَذَى المُسْلِمِيْنَ، وَيَمْنَعُ النَّاسَ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ، وَيَحْمِي بَيْضَةَ الإِسْلاَمَ، وَيَتَّقِيْهِ النَّاسُ وَيَخَافُوْنَ سَطْوَتَهُ.


“Maksudnya, ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang [menyakiti] kaum Muslim. Mencegah masyarakat, satu dengan yang lain dari serangan. Melindungi keutuhan Islam, dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekutannya.”


Begitu juga frasa berikutnya, “Yuqâtalu min warâ’ihi, wa yuttaqâ bihi” [Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng]:


أَيْ: يُقَاتَلُ مَعَهُ الْكُفَّارُ وَالْبُغَاةُ وَالْخَوَارِجُ وَسَائِرُ أَهْلِ الْفَسَادِ وَالظُّلْمِ مُطْلَقًا، وَالتَّاءُ فِي (يُتَّقَى) مُبْدِلَةٌ مِنَ الْوَاوِ لأنَّ أَصْلَهَا مِنَ الْوِقَايَةِ.


“Maksudnya, bersamanya [Imam/Khalifah] kaum Kafir, Bughat, Khawarij, para pelaku kerusakan dan kezaliman, secara mutlak, akan diperangi. Huruf “Ta’” di dalam lafadz, “Yuttaqa” [dijadikan perisai] merupakan pengganti dari huruf, “Wau”, karena asalnya dari lafadz, “Wiqâyah” [perisai].”


Mengapa hanya Imâm/Khalîfah yang disebut sebagai Junnah [perisai]? Karena dialah satu-satunya yang bertanggungjawab sebagai perisai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:


«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».


“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]


Menjadi junnah (perisai) bagi umat Islam khususnya dan rakyat umumnya meniscayakan Imam/Khalifah harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya, yakni Khilafah.


Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi (Khalifah) dan negara (Khilafah)nya sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri kepala Negara Islam pada masa lalu, baik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para Khalifah setelah beliau.


Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, sebagai kepala negara, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan perang terhadap mereka. Mereka pun diusir dari Madinah. Demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kepala Negara Islam saat itu, demi melindungi kaum Muslim.


Hal yang sama dilakukan oleh para Khalifah setelah beliau. Khalifah Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, misalnya, pernah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksa dia berlutut kepada Khalifah.


Khalifah Al-Mu’tashim, juga di era Khilafah ‘Abbasiyyah, pernah memenuhi permintaan tolong wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi. Ia segera mengirim ratusan ribu pasukan kaum Muslim untuk melumat Amuriah, mengakibatkan ribuan tentara Romawi terbunuh, dan ribuan lainnya ditawan.


Demikian pula yang dilakukan oleh Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyah dalam melindungi kaum Muslim. Semuanya melakukan hal yang sama karena mereka adalah junnah (perisai).


Semua itu tentu dasarnya adalah akidah Islam. Karena akidah Islam inilah, kaum Muslim siap menang atau mati syahid. Rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu musuh-musuh mereka takut luar biasa ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim.


Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka (kaum Muslim)”. Bahkan sampai terpatri di benak kaum kafir, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.


Inilah yang dibutuhkan oleh muslim Uighur . Muslim Uighur butuh Khilafah. Dengan adanya Khilafah, masalah Uighur akan gampang terselesaikan. Wallahu a'lam bish shawab. []

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak