Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Tak terasa, kita sedang menuju sepertiga malam terakhir Ramadhan. Menurut riwayat yang paling kuat, di sepertiga malam terakhir Ramadhanlah terjadi Lailatul Qadar. Sebuah malam yang utama, yang keutamaannya lebih baik dari seribu bulan.
Lailatul Qadar itu adalah (malam yang) lebih baik dari seribu bulan (TQS al-Qadar [97]: 2-3).
Menurut Mujahid, hal itu bermakna bahwa menghidupkan Lailatul Qadar dan beramal di dalamnya adalah lebih baik dari menghidupkan seribu bulan. Dengan kata lain, pahala menghidupkan Lailatul Qadar lebih baik dari pahala beribadah selama kira-kira 83 tahun 3 bulan (Ibnu al-Jauzi, At-Tadzkirah f al-Wa’izh, 1/218).
Siapa saja yang menghidupkan Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan pengharapan kepada Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR al-Bukhari dan Muslim).
Begitu besar keutamaan menghidupkan Lailatul Qadar, Imam Syafii berkomentar, “Siapa saja yang meninggalkan shalat sunnah pada (malam) Lailatul Qadar maka ia ‘harus’ mengantinya dengan menunaikan shalat yang sama selama seribu bulan sebagai qiyas atas keutamaan malam tersebut.” (Muhammad Uwaidhah, Fashl al-Khithâb fi az-Zuhd wa ar-Raq’iq wa al-Adab, 1/1007).
Begitu besarnya keutamaan Lailatul Qadar, Allah SWT merahasiakan keberadaan malam tersebut. Meski demikian, Rasul saw. memberikan petunjuk bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh malam terakhir.
Carilah oleh kalian Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir Ramadhan (HR al-Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis ini, pendapat yang sahih menjelaskan bahwa Lailatul Qadar terjadi di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Yang paling diharapkan, Lailatul Qadar terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Yang paling benar-benar diharapkan, Lailatul Qadar terjadi pada malam ke-27 Ramadhan (Muhammad Uwaidhah, Fashl al-Khithâb fi az-Zuhd wa ar-Raqa’iq wa al-Adab, 3/385).
Pertanyaannya: Mengapa Allah SWT merahasiakan keberadaan Lailatul Qadar? Menurut Imam an-Nasafi, “Allah SWT merahasiakan keberadaan Lailatul Qadar agar kaum Muslim bersungguh-sungguh (beribadah) di seluruh malam Ramadhan.” (Lihat: Ibnu Abdussalam ash-Shafuri, Najhah al-Majâlis wa al-Muntakhab an-Nafâ’is, 1/162).
Senada dengan itu, menurut Imam al-Ghazali, maksud Allah SWT menyembunyikan keberadaan Lailatul Qadar boleh jadi agar manusia melipatgandakan kesungguhannya dalam mencari malam tersebut (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Din, 3/121).
Namun demikian, kita layak meneladani para salafush-shalih. Bagi mereka, kesungguhan dalam beribadah tak hanya khusus pada (malam) Lailatul Qadar, juga tak khusus pada Bulan Ramadhan saja. Akan tetapi, mereka senantiasa bersungguh-sungguh beribadah setiap malam sepanjang usia kehidupan mereka.
“Seluruh waktu kami adalah ‘Lailatul Qadar’. Artinya, ibadah kami setiap waktu senantiasa berlipat ganda.” (Abul ‘Abbas, Iqâzh al-Himam Syarh Matan al-Hikam, 1/62).
“Bagi seorang ‘arif (orang yang mengenal Allah SWT, red.), setiap malam kedudukannya sama dengan Lailatul Qadar.” (Abu Thalib al-Makki, Qût al-Qulûb, 1/119).
Artinya, ibadah mereka setiap malam senantiasa berlipat ganda sebagaimana ibadah mereka pada (malam) Lailatul Qadar.
Adakah yang Lebih Utama dari Lailatul Qadar?
Dengan merenungkan betapa besarnya keutamaan menghidupkan Lailatul Qadar, sudah sepantasnya setiap Muslim berhasrat dan bersungguh-sungguh meraih keutamaan tersebut. Sebab, dengan keutamaan yang lebih baik dari seribu bulan atau sekitar 83 tahun—melampaui rata-rata usia manusia akhir zaman—tentu sangat disayangkan jika sampai hal ini disia-siakan. Apalagi keutamaan Lailatul Qadar tidak datang setiap hari.
Sewajarnyalah kaum Muslim bersungguh-sungguh beribadah selama Ramadhan, khususnya di sepertiga malam terakhir Ramadhan, di antaranya dengan banyak beritikaf di masjid, semata-mata sangat berharap meraih keutamaan Lailatul Qadar.
Namun demikian, Lailatul Qadar bukanlah satu-satunya keutamaan yang Allah SWT berikan kepada kaum Muslim. Banyak keutamaan lain yang Allah SWT berikan kepada para hamba-Nya. Salah satunya bahkan melebihi keutamaan menghidupkan Lailatul Qadar.
Berjaga-jaga satu jam saja di medan jihad fi sabilillah adalah lebih baik daripada menghidupkan Lailatul Qadar di dekat Hajar Aswad (HR Ibn Hibban dan al-Baihaqi).
Bayangkan, menghidupkan Lailatul Qadar—yang lebih baik dari seribu bulan—adalah amalan utama. Apalagi dilakukan di tempat yang utama. Di dekat Hajar Aswad. Namun demikian amalan utama tersebut bisa ‘dikalahkan’ oleh amalan jihad di jalan Allah SWT meski sekadar berjaga-jaga.
Tidakkah kalian mau aku beritahu suatu malam yang lebih utama dari Lailatul Qadar? (Yaitu) seseorang yang berjaga-jaga di suatu medan yang menakutkan (medan jihad, red.) yang boleh jadi dia tidak bisa kembali kepada keluarganya (karena terbunuh sebagai syahid, red.) (HR al-Hakim).
Sayang, tidak sebagaimana besarnya hasrat umat untuk meraih keutamaan Lailatul Qadar, tidak banyak Muslim yang merindukan keutamaan jihad fi sabilillah. Padahal jihad bahkan merupakan amalan utama yang lebih dulu disebut oleh Rasulullah saw. sebelum haji mabrur.
Nabi saw. pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya?” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah?” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Itulah mengapa, dalam banyak riwayat, para sahabat sering begitu antusias saat ada panggilan jihad dari Rasulullah saw. Apalagi pada Bulan Ramadhan. Mereka selalu bersemangat menjemput mati syahid. Mereka bahkan rela meninggalkan apapun, termasuk momen yang paling penting dalam hidup mereka, seperti ‘malam pengantin’, sebagaimana yang dilakukan oleh Sahabat Hanzhalah ra. Ia segera meninggalkan istrinya yang baru beberapa jam sebelumnya ia nikahi, lalu berlari demi menjemput syahid.
Memang, berbeda dengan Palestina yang masih dijajah Israel, misalnya, atau sejumlah negeri Muslim lain yang diperangi kaum kafir, Indonesia saat ini bukanlah medan jihad. Indonesia adalah wilayah damai. Karena itu siapapun yang melakukan aksi kekerasan—yang disebut sebagai terorisme—di negeri ini tidak bisa dianggap sebagai jihad.
Jika demikian, bagaimana caranya supaya kita bisa meraih pahala yang setara dengan jihad? Rasulullah saw. telah mengajari kita satu hal: dakwah dan amar makruf nahi mungkar, khususnya kepada penguasa zalim. Itulah amal yang pahalanya setara dengan jihad. Bahkan oleh Rasul saw. disebut sebagai jihad yang paling utama:
"Ingatlah, sungguh jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata kebenaran di hadapan penguasa zalim" (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Pemuka para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan seseorang yang berdiri tegak di hadapan penguasa zalim; dia memerintah dan melarang penguasa zalim tersebut, lalu penguasa zalim itu membunuh dirinya (HR al-Hakim dan ath-Thabarani).
Alhasil, selain fokus dan bersungguh-sungguh meraih keutamaan Lailatul Qadar di sepertiga malam terakhir Ramadhan, marilah kita terus menggelorakan semangat dakwah dan amar makruf nahi mungkar, khususnya kepada para penguasa zalim, agar mereka mau menghentikan kezaliman mereka. Jika mereka tidak terima dan malah membinasakan kita, justru di situlah kita—insya Allah—meraih pahala mati syahid, yang keutamaannya melebihi keutamaan menghidupkan Lailatul Qadar.