Oleh Rifdatun Aliyah
23 kesepakatan kerjasama antara pemerintah China dan Indonesia telah diteken di berbagai sektor usaha. Hal ini sekaligus menandai dimulainya proyek One Belt One Road (OBOR) di Indonesia. Penandatanganan kesepakatan kerja sama itu disaksikan langsung oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam acara Forum Bisnis Indonesia-China, Jumat (https://koran.bisnis.com/26/04/2019). Proyek OBOR yang digencarkan China akhirnya menuai kontroversi. Disisi pemerintah mengatakan bahwa hal ini akan menguntungkan negara. Namun banyak kalangan pengamat dan masyarakat justru mengatakan bahwa proyek ini merupakan bagian dari kolonialisasi China khususnya dalam bidang ekonomi dan politik. Lantas, bagaimanakah arahan atas proyek OBOR ini? Apakah benar akan menguntungkan Indonesia atau bahkan akan merugikan?
Proyek OBOR dimulai tahun 2013 saat Presiden Tiongkok, Xi Jinping, mengumumkan gagasan One Belt One Road (OBOR) yang merupakan inisiasi strategi geopolitik Tiongkok dengan pemanfaatan jalur transportasi dunia sebagai jalur perdagangan yang tersebar di kawasan Eurasia. Visi dari OBOR itu sendiri ialah meningkatkan kesejahteraan dan perwujudan modernisasi Tiongkok di tahun 2020 dengan meningkatkan intensitas perdagangan dengan penyediaan fasilitas infrastruktur, baik darat maupun laut, yang memadai di seluruh kawasan yang ditargetkan.
Kemudian, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) OBOR Pada 14-15 Mei 2017 di Beijing, Tiongkok, terdapat sebuah pertemuan antara 29 Kepala negara dan 50 delegasi dari negara anggota OBOR dan 50 delegasi. Pertemuan tersebut membahas kerjasama ekonomi dan pengembangan proyek infrastruktur.
Disisi lain, dalam suatu kesempatan Presiden Rupublik Indonesia Ir. Joko Widodo, mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara Poros Maritim dengan potensi konektifitas antara pulau, pengembangan Industri perkapalan dan kekayaan sumber daya alam ikan. Kemudian Indonesia melihat bahwa koneksitas yang dimiliki oleh OBOR dapat mempengaruhi kegiatan dan perkembangan ekonomi maritim (https://koran.bisnis.com/26/04/2019).
Sekilas, proyek OBOR terlihat menguntungkan. Karena dari 23 proyek yang diteken dan nilai investasi dari 14 MoU bernilai total US$14,2 miliar, Menteri Koordinasi Maritim Luhut menegaskan bahwa nilai tersebut bukanlah hutang yang harus ditanggung pemerintah. Hal itu bisa terjadi karena hampir semua proyek yang termasuk dalam Koridor Belt and Road sifatnya business to business (B to B), bukan governor to governor (G to G) (https://koran.bisnis.com/27/04/2019).
Namun, ada indikasi kuat bahwa proyek OBOR merupakan upaya kolonialisasi China kepada semua negeri yang terikat kerjasama kepadanya. Professor Dr. Joshua Eisenman (University of Texas-Austin) memperingatkan bahwa OBOR harus dilihat sebagai upaya China untuk membuat era globalisasi sinosentris baru menggunakan alat-alat kenegaraan tradisional China sebagaimana bentuk inisiatif model ekonomi dan pengaturan pembiayaan utang. (Joshua Eisenman, “Contextualizing China’s Belt and Road Initiative”, testimony before the U.S.–China Economic and Security Review Commission, U.S. Congress, January 19, 2018, https://www.uscc.gov/sites/default/files/Eisenman_USCC%20Testimony_20180119.pdf)
Selain itu adalah fakta umum bahwa dalam kerjasama dengan para kapitalis dalam hal ini China tidak ada hal yang gratis. Bahkan, ancaman terbesar Indonesia yaitu tergadainya negeri ini dalam jebakan hutang dan hegemoni asing penjajah (shoutululama.co/24/04/2019). Salah satunya adalah Srilanka. Pemerintah Srilanka terpaksa menyerahkan pelabuhan laut dalam Hambantota karena tidak bisa membayar utangnya. Banyak pengamat yang mengkhawatirkan di bawah kendali China, pelabuhan itu akan dipergunakan sebagai pangkalan kapal selam untuk mengontrol kawasan di Samudera Hindia, dan Laut China Selatan.
Selain potensi penguasaan Sumber Daya Alam, potensi ramainya arus masuk Tenaga Kerja Asing dari China dalam membangun proyek OBOR ini juga besar. Disisi lain, keterpengaruhan perpolitikan dalam negeri oleh pihak asing dalam hal ini China juga merupakan ancaman nyata bagi negeri ini. Adanya kecurangan dalam pemilu 2019 agar kubu pertahana dapat tetap menjabat tahta disinyalir menjadi salah satu bentuk upaya China untuk mempengaruhi perpolitikan Indonesia. Sehingga, proyek OBOR jelas akan merugikan Indonesia. Sebab, proyek ini merupakan proyek masif China untuk memperkuat penjajahan ekonomi khususnya di jalur sutra.
Sehingga, seakan terlihat pula bahwa terdapat pertarungan antara imperialis Barat (Amerika Serikat) dan Timur (China) dalam menguasai negeri-negeri yang merupakan mayoritas negeri muslim di wilayah Asia Pasifik. Bahkan Amerika Serikat (AS) merasa kesal lantaran China berhasil menguasai pelabuhan di Djibouti, Afrika yang menjadi pangkalan utama pasukan AS di Afrika. Sehingga, masyarakat Indonesia dan negeri-negeri muslim memang layak menolak proyek OBOR ini.
Jika kepengurusan rakyat atau umat telah nyata akan kerusakannya dibawah kendali para kapitalis, maka sudah saatnya pula masyarakat khususnya muslim menolak semua kerja sama yang merugikan tersebut. Umat Islam dapat mengembalikan segala kepengurusan umat kepada Islam yang memiliki seperangkat aturan yang berasal dari Yang Maha Pencipta (Al Khaliq). Dialah Allah swt yang juga merupakan Yang Maha Mengatur (Al Mudabbir) bagi seluruh alam semesta. Melalui penerapan syariat Islam secara total akan mampu membuat umat sejahtera. Sebab, Islam melarang mengadakan hubungan kerja sama yang akan merugikan rakyat terlebih lagi dengan kaum harbi fi'lan yaitu non muslim yang jelas-jelas memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Bersama syariat Islam, umat akan meraih keberkahan hidup melalui ridho Allah swt. Keberadaan Khilafah Islamiyah selama 13 abad merupakan bukti atas keberkahan yang Allah berikan. Maka benarlah firman Allah swt ta'ala dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 50 yang artinya, "Apakah hukum jahiliyah (selain Islam) yang kalian kehendaki? dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah (syariat Islam) bagi orang-orang yang meyakini?". Wallahu A'lam Bishowab.