Oleh: Ooy Sumini, Cileunyi Kabupaten Bandung
Akhir-akhir ini istilah khilafah menjadi topik perbincangan masyarakat. Bahkan dalam debat capres pun isu khilafah dibawa-bawa, dengan bahasa yang mengesankan negatif seolah ingin ditanamkan pada masyarakat bahwa khilafah itu bertentangan dengan Pancasila, dan tidak cocok ada di Indonesia. Sehingga muncul imbauan Dewan Pertimbangan MUI sebagai hasil Rapat Pleno no. 37, 28 Maret 2019. Intinya mengimbau supaya tidak menggunakan isu keagamaan karena itu merupakan politisasi agama yang bersifat peyoratif (menjelekkan).
Di tengah perbincangan hangat tentang khilafah saat ini, tidak ada yang bisa menyangkal bahwa khilafah adalah ajaran Islam sebagaimana kita mengenal ajaran Islam yang lain seperti shalat, puasa, menutup aurat, dan seterusnya. Dari seluruh ajaran Islam itu ada yang terkategori fardu ‘ain (kewajiban individual) seperti shalat, puasa, zakat, haji, menuntut ilmu dan sebagainya. Ada juga yang terkategori fardu kifayah (kewajiban kolektif) seperti mengurus jenazah. Dan khilafah termasuk fardu kifayah yang telah dilupakan kebanyakan muslim. Yaitu menegakkan kembali khilafah dengan mengangkat seorang Khalifah yang bertugas menerapkan syariah Islam secara kaaffah di tengah-tengah umat sekaligus mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Kembalinya khilafah sebagai wujud kekuasaan real umat Islam adalah merupakan janji dari Allah SWT. Dalam al-Quran terdapat sekian banyak janji mulia dan istimewa yang ditawarkan kepada orang-orang yang beriman, baik janji-janji di dunia maupun janji-janji di akhirat. Janji-janji akhirat yang diberikan bagi mereka yang beriman tidak terhitung jumlahnya dalam kitab suci karena sangat banyak. Adapun janji-janji di dunia yang disebut secara terang-terangan (eksplisit), setidaknya ada sepuluh macam, termasuk di dalamnya janji tegaknya khilafah pada QS an-Nur (24) ayat 55: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam); dan akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang fasik.”
Para ulama ahli tafsir seperti al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) berpendapat bahwa janji Allah dalam ayat tersebut berlaku umum untuk seluruh umat Muhammad saw. Dalam tafsirnya beliau mengatakan: “Janji Allah ini tidak terbatas hanya untuk Khulafaur Rasyidin ra saja, sampai harus dikhususkan dari keumuman ayat. Bahkan segenap muhajirin dan kaum muslim yang lain juga masuk dalam janji ayat ini (tentu saja jika syarat-syaratnya terpenuhi)…. Sampai pada ucapan beliau… Maka pendapat yang shahih adalah bahwa ayat ini berlaku umum untuk umat Muhammad, tidak bersifat khusus (untuk generasi tertentu dari umat ini).” (Tafsir al-Qurthubi: 12/299).
Al-Imam As-Sa’di rahimahullah (wafat 1376 H) mengatakan: “(Janji Allah dalam ayat ini) akan senantiasa berlaku sampai hari kiamat, selama mereka (kaum muslim) menegakkan iman dan amal salih. Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allah, adalah sebuah kepastian. Kemenangan orang-orang kafir dan munafik pada sebagian masa, serta berkuasanya mereka di atas kaum muslim, tidak lain disebabkan oleh pelanggaran kaum muslim dalam iman dan amal salih.” (Tafsir as-Sa’di hal. 573).
Kembalinya khilafah juga merupakan kabar gembira (bisyarah) dari Rasul saw. Setelah era para penguasa diktator (mulkan jabbriyan) akan lahir khilafah ‘ala minhajin nubuwwah untuk kedua kalinya. Sebagaimana dituturkan oleh Hudzaifah bin al-Yaman, telah bersabda Rasul saw. “….kemudian akan ada kembali khilafah ‘ala minhajin nubuwwah…” (HR Ahmad).
Kehadiran khilafah bukan untuk merebut kekuasaan. Karena, Allah mengawali misi kenabian bukan dari kekuasaan tetapi diawali dari figur
kenabian yang justru pada saat itu tidak memiliki kekuasaan apapun. Kemudian tidak ditemukan adanya dalil yang memerintahkan dengan jelas supaya merebut kekuasaan. Dan terakhir, karena kekuasaan merupakan karunia yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki (QS Ali Imran ayat 26, yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam QS an-Nur ayat 55).
Sungguh, jika Allah berjanji, pasti Dia akan memenuhi janji-Nya. Namun demikian, janji Allah SWT tidak cukup sekedar diyakini, tetapi benar-benar harus kita wujudkan. Karena itu tidak boleh siapa pun berdiam diri dari menegakkan kembali syariah dan khilafah dengan dalih bahwa itu sudah merupakan janji Allah SWT sehingga tidak perlu diperjuangkan.
Khilafah sekaligus merupakan berita gembira dari Rasul saw. Dulu para sahabat Rasul saw. tidak duduk berpangku tangan dalam menyikapi berita gembira ini. Sebaliknya, tatkala mereka mendengar berita gembira dari Rasul saw. mereka segera berjuang untuk mewujudkan kabar gembira tersebut. Mereka mengerahkan tenaga, pikiran, harta, bahkan nyawa demi ‘izzul Islam wal muslimin. Jadi apa lagi yang kita tunggu? Siapa lagi yang kita nantikan? Biarlah kaum kafir memusuhi perjuangan ini semau mereka. Biarlah kalangan muslim yang telah ter-Barat-kan pun menghalang-halangi perjuangan kita. Namun, janganlah apa yang mereka lakukan itu menjauhkan kita dari perjuangan menegakkan Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah.
Atas izin Allah SWT, cepat ataukah lambat, sekarang ataukah nanti, khilafah pasti akan tegak kembali. Siapa saja yang menolong dan membantu penegakkannya kembali, ia termasuk ke dalam barisan orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah SWT.
Jelaslah, khilafah merupakan kewajiban yang harus kita tunaikan, janji Allah SWT yang harus kita yakini dan kita perjuangkan sekaligus berita gembira dari Rasul saw. yang harus segera kita wujudkan.
Wallahu a’lam bish shawab