Oleh Alin Fm
Penulis dan Praktisi Multimedia
Dilansir dari halaman viva.co.id pada kamis, 16 mei 2019 - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, menyebutkan sejumlah ancaman yang mengganggu kesatuan dan persatuan bangsa. Salah satunya kelompok khilafah yang disebut masih membonceng dalam perhelatan Pemilu 2019."Yang baru kemarin kita bubarkan, kita akan dijadikan negeri khilafah, ada. Tidak akui nasionalisme, tidak akui Pancasila, NKRI, kita bubarkan. Tapi sekarang masih bonceng lagi, dalam keruwetan pemilu kita. Ada," kata Wiranto di Grand Paragon, Jakarta.
Rasanya tidak tepat jika keruwetan yang terjadi saat ini dikarenakan khilafah. Jika mengutip wikipedia, Khilafah didefinisikan sebagai sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Orang yang memimpinnya disebut Khalifah, dapat juga disebut Imam atau Amirul Mukminin. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan keruwetan pemilu 2019. Pada faktanya keruwetan pemilu terjadi bukan karena khilafah tapi lebih disebabkan adanya dugaan Rekayasa penghitungan suara pemilu 2019 mengemuka. Kemudian tragedi pemilu sampai menelan korban jiwa mencapai 500 jiwa lebih pada petugas KPPS. kampanye dan pasca kampanye capres dan cawapres yang menciptakan perpecahan di tengah masyarakat, distribusi sarana dan prasarana pemilu hingga hari H pemilu terjadi banyak kekacauan. Kondisi keruwetan pemilu memudahkan untuk mengarahkan situasi dan kondisi politikyang diinginkan penjajah Barat dan pemilik modal.
Ketua Sekretariat Nasional (Seknas) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, M Taufik, mengungkapkan sejumlah keruwetan yang kemungkinan terjadi di Pemilu 2019. Salah satunya, ungkap Taufik, terkait dengan waktu penghitungan surat suara paska pencoblosan. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta itu mencontohkan, waktu penghitungan surat suara di TPS dimulai pada pukul 13.00. Bila satu kotak berisi 275 suara, maka ada 1.100 surat suara yang harus dibuka untuk empat kotak. "Satu kali buka satu suara butuh waktu 1,5 menit. Kalau 1,5 menit berarti 1.600 menit, dibagi 60 berarti 27,5 jam. Kalau 1 menit butuh 18 jam. Kalau dimulai dari jam 1 berarti sampai jam 6 pagi. Berarti sampai besoknya ini selesainya," ungkap Taufik saat berbincang dengan media di Kantor Seknas Prabowo-Sandi, Menteng, Jakarta, Jumat (mobile.rilis.id, 29/3/2019).
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyampaikan bahwa keruwetan dalam tahap pemilihan umum (Pemilu) bukan hal yang baru terjadi di Indonesia. Sebelumnya, ia mengatakan bahwa sejak 2004, pelaksanaan Pemilu juga sarat dengan keruwetan yang menyebabkan terjadinya korban meninggal petugas KPPS.(katadata.co.ud, 29/04/2019)
Mengklaim khilafah menjadi penyebab keruwetan pemilu 2019 adalah hal yang tidak berdasar dan mengarah kepada fitnah. Jika berkaca tentang keruwetan pemilu 2019 menimbulkan malapetaka, kita bisa lebih teliti mengapa keruwetan ini terjadi? sumber keruwetan yang terjadi karena dari kebobrokan demokrasi itu sendiri. Ternyata sistem ini justru mengalami kegagalan waktu demi waktu. Aspirasi rakyat yang tadinya menjadi “ Suara Tuhan” kini hanya menjadi isapan jembol belaka. Kecurangan, money politik, menjatuhkan lawan politik sepertinya menjadi hal biasa. Jatuhnya korban jiwa adalah hal yang biasa, malah sebaliknya dianggap pahlawan demokrasi.
Kendati demikian, para pengusung demokrasi tetap berkelit, menurut mereka kebobrokan sistem demokrasi selama ini disebabkan perilaku oknum, dan bukan sistemya. Mungkin karena mereka lupa bahwa demokrasi memliki basis kapitalisme dan liberalisme sehingga makna rakyat menjadi samar.
Dalam buku ‘Politics’ karya Aristoteles,ia menyebut Demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya negara Demokrasi memiliki sistem pemerintahan oleh orang banyak, dimana satu sama lain memiliki perbedaan (atau pertentangan) kepentingan, perbedaan latarbelakang sosial ekonomi, dan perbedaan tingkat pendidikan. Pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan. Perbedaan-perbedaan tersebut menjadi kendala bagi terwujudnya pemerintahan yang baik. Konsensus sulit dicapai dan konflik mudah terjadi. Apa kata Aristoteles ternyata mirip dengan kondisi Indonesia saat ini, dimana keruwetan pemilu 2019 menjadi tayangan yang kita saksikan akhir-akhir ini.
Demokrasi VS Khilafah Islam
Ada perbedaan mendasar antara demokrasi dan Sistem Khilafah. Dua pokok landasan demokrasi yang bertentangan dengan Islam secara diametral adalah bahwa (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat adalah sumber kekuasaan. Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat membawa konsekuensi bahwa hak legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya, seperti DPR). Sementara sumber kekuasaan di tangan rakyat berarti rakyatlah yang memilih penguasa untuk menerapkan hukum yang dibuat oleh mereka dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat pula yang berhak memberhentikan penguasa dan menggantinya dengan penguasa lain.
Dari Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya “Ad Dimukratiyah Nizhamul Kufr” menjelaskan bahwa menurut Islam, kedaulatan (as siyadah) berada di tangan syariat, bukan di tangan umat. Artinya hanya Allah Swt sajalah yang bertindak sebagai Musyari’ (pembuat hukum). Penetapan halal dan haram, hak prerogatif Allah Swt bukan dimusyawarahkan oleh DPR. (lihat QS. An Nisa’ [4]: 60 dan 65, QS. Al An’an [6]: 57).
Kekuasaan (as-Shultan) memang milik umat. Tetapi syariat tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa. Umat tidak boleh melakukan pemberontakan selama penguasa masih menjalankan syariat Islam. Jika diketahui penguasa melakukan pelanggaran terhadap syariat yang berhak untuk menurunkan penguasa adalah Mahkamah Mazhalim, bukan rakyat.
Dari sisi teknis, sistem politik Islam juga lebih mudah dan murah. Keruwetan pemilihan pemimpin tidak akan terjadi. Pemilihan kepala daerah baik gubernur (Wali) maupun bupati/walikota (Amil) cukup dengan pengangkatan oleh kepala negara (Khalifah). Khalifah akan mengangkat seorang sosok yang dinilainya mempunyai kapasitas, kapabilitas, cakap, adil dan amanah untuk memimpin sebuah wilayah. Tidak diperlukan biaya bermilyar-milyar untuk kampanye dan sengketa di MK. Tentu saja bebas dari korupsi dan jual-beli jabatan. Sekarang tinggal pilih mana, demokrasi yang bobrok dan mahal atau sistem Khilafah Islam yang adil, mensejahterakan, mudah dan murah yang menghantarkan kepada Surga?? Pilhan ditangan kita, jangan menunggu negeri ini hancur akibat kebobrokkan dari Demokrasi-Kapitalisme. Karena Demokrasi adalah Sistem kufur.