Oleh: Junari
Pemilu telah usai. Pemenang dalam kontestasi pun telah ditetapkan. Pada selasa, 21 Mei dini hari. KPU pusat melalui ketua umumnya Arif Budiman menetapkan Jokowi-Ma'ruf sebagai pemenang pilpres. Namun banyak masyarakat menolak karena menilai hasil tersebut ditetapkan dengan curang. Apalagi, pihak penyelenggara sepertinya enggan mengusut tuntas kasus kematian 600 lebih petugas KPPS. Menjadikan masyarakat sanksi dengan keadilan pemilu yang diadakan. Aksi 21-22 Mei pun terjadi. Sejumlah masyarakat dari berbagai wilayah dan kalangan datang ke ibu kota untuk menyampaikan aspirasi, menolak keputusan KPU dalam penetapan pemenang pilpres yang dinilai curang.
Keadaan ibu pertiwi kini kacau. Masyarakat seolah terpecah menjadi dua kubu besar. Pertanyaan kemudian, siapa yang bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi? Menkopolhukam Wiranto sebagaimana dikutip dari m.viva.co.id menyebutkan bahwa ada pihak yang memboncengi keruwetan yang terjadi. Ia menegaskan, "yang baru kemarin kita bubarkan, kita akan dijadikan negeri khilafah, ada. Tidak akui nasionalisme, tidak akui pancasila, NKRI, kita bubarkan. Tapi sekarang masih bonceng lagi, dalam keruwetan pemilu kita. Ada." Kata Wiranto di Grand Paragon, Jakarta, Kamis 16 Mei 2019.
Rivalitas kedua capres-cawapres sejak awal pertarungan memperebutkan kekuasaan sangat terlihat. Keduanya kerap kali saling menyerang dengan berbagai label dan tuduhan yang dialamatkan pada pihak lawan. Terlepas apakah label dan tuduhan yang dilontarkan benar atau tidak. Namun itulah realitas pertarungan memperebutkan kekuasaan dalam sistem demokrasi.
Salah satu yang menjadi bahan tuduhan adalah khilafah. Sejak makin menyebarnya pemahaman akan konsep negara khilafah di tengah-tengah masyarakat, makin massif pula upaya penyerangan untuk mengkriminalisasinya. Bahkan khilafah disamakan dengan ISIS (Islamic State Iran and Suriah). ISIS yang kita tahu citranya begitu buruk di mata dunia. Sehingga opini ini berhasil membawa ketakutan pada diri masyarakat akan konsep negara khilafah. Sebagaimana juga pernyataan Menkopolhukam di atas, framing negatif terhadap khilafah kembali terjadi. Seolah khilafah anti NKRI, menolak pancasila dan sebagainya.
Dalam sistem demokrasi, pemilu yang diadakan membutuhkan suara dan dukungan rakyat agar bisa duduk di kursi kekuasaan. Hal ini lah yang menjadikan setiap paslon capres-cawapres berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan dukungan rakyat. Khilafah yang terlanjur diframing negatif di tengah-tengah masyarakat, menjadi senjata ampuh untuk memukul lawan. Dengan melabeli salah satu kubu sebagai pihak yang pro terhadap khilafah maka tentu suara rakyat tak akan diberikan pada kubu tersebut.
Upaya ini kembali dilakukan seiring kekacauan pasca pemilu. Kuatnya ambisi untuk mempertahankan gawang kemenangan menjadikan mereka kembali menuding khilafah sebagai biang kekacauan.
Namun, masyarakat kini makin cerdas. Sebab, meskipun berbagai upaya dilakukan untuk mengkriminalisasi khilafah. Masyarakat tetap tidak terpengaruh. Terbukti dengan tetap dilakukanya aksi penolakan hasil pilpres pada 21-22 Mei lalu. Belajar dari aksi 212, people power memang patut diperhitungkan. Itulah mengapa, framing negatif terkait khilafah dijadikan senjata untuk membuat blunder kenyataan yang ada terkait berbagai fakta tersembunyi dibalik pemilu.
Padahal khilafah merupakan ajaran islam yang merupakan kepemimpinan umum bagi kaum muslim yang akan menerapkan hukum islam secara keseluruhan, serta menyebarkan islam ke seluruh penjuru dunia. Sistem inilah yang akan melindungi rakyatnya baik muslim maupun non muslim. Tidak hanya itu, khilafah juga mewujudkan persatuan yang hakiki dan merupakan jalan perubahan hakiki. Sejarah membuktikan akan hal itu selama belasan abad.
Maka sejatinya, khilafah bukanlah penyebab terjadinya berbagai kekacauan yang kini melanda negeri. Justru khilafah hadir sebagai solusi tuntas bagi segala problematika negri. Sebab khilafah merupakan sistem pemerintahan warisan Rasulullah yang bersumber dari wahyu. Maka tak layak ia dituding memboncengi kekacauan. Allahu Alam bishowab