Ilustrasi: steemit.com
Oleh: Arin RM, S.Si
(Freelance Author, Pegiat TSC)
Pasca baku hantam tak sebanding dengan Israel, ramadan perdana Gaza begitu memprihatinkan. Tak ada jaminan hingga kapan akan berlangsung. Yang terlihat hanya kesuraman, rumah-rumah runtuh, dan jasad yang berceceran. Di sebuah rumah sakit terbesar di Gaza, Shifa, dikabarkan setidaknya 21 warga Palestina meninggal sebelum sempat bertemu ramadan (republika.co.id, 06/05/2018). Bertahun-tahun mereka hidup dalam ancaman bom, dan bertahun-tahun itu pula mereka tegar terus melawan. Melawan dalam rangka menjaga izzah Islam di bumi para Nabi, Palestina. Hamparan bumi jihad yang dahulu mulia dan sejahtera di bawah kekuasaan kekhilafahan Islam.
Namun sejak 1924, kondisinya berbalik arah. Tanpa kekhilafahan, Palestina bagaikan ayam kehilangan induknya. Pendudukan paksa dan penjajahan mewarnai setiap sudut kota. Darah dan nyawa terkorban setiap saat dan tak terhitung jumlah pastinya. Skenario rapi penguasaan dan perampasan jengkal demi jengkal tanahnya bukanlah drama terorisme semata. Zionis dengan dukungan sekutunya memaksakan berdirinya Israel di atas tanah rampasan. Berawal dari deklarasi Balfour 1917 yang menginisiasi terbentuknya Israel dengan mendukung pendirian rumah bagi orang-orang Yahudi di Palestina (cnnindonesia.com, 02/11/2017).
Sejak saat itu, perjuangan Gaza dan Palestina sangat luar biasa, sebab perlawanan yang dilakukan di sana sama sekali tidak sebanding. Musuh Palestina didukung penuh dengan persenjataan canggih dan banyak. Sementara pihak Palestina hanya melawan dengan kemampuan swadaya masyarakat dengan kobaran semangat jihad yang luar biasa. Kekuatan dan dukungan tak seimbang inilah yang menyumbang sebab krisis Palestina tidak kunjung selesai. Kekuatan sekiranya akan berimbang jika ada tambahan militer beserta persenjataan yang selevel.
Kekuatan ini jelas tak akan mampu disiapkan sendiri oleh rakyat Palestina yang saat ini diisolir dari dunia luar. Kekuatan ini harus mewujud pada kesatuan Islam sedunia di bawah satu kepemimpinan Islam. Pemimpin tunggal seluruh negeri muslim ini yang memiliki otoritas menggelorakan semangat jihad pembebasan Palestina secara terorganisir. Syaikh Issam Amira, Imam Baitul Maqdis (wawancara dengan mediaummat.news, 09/12/2017) pernah menyatakan bahwa umat Islam dianjurkan untuk tidak hanya menghimbau militer untuk membebaskan Palestina, tetapi agar terlebih dahulu menghimbau militer mengganti kepemimpinan saat ini dengan kepemimpinan Islam.
Pernyataan Imam Baitul Maqdis benar adanya. Sebab tanpa kepemimpinan Islam, warga Gaza yang tertindas tak punya pelindung yang sepenuh hati menyelamatkannya. Kutukan dan kecaman dari negera sekitarnya kepada aggressor terlihat tak digubris. Buktinya 70 tahun lebih aggressor lempeng-lempeng saja menjalankan kekejamannya. Berharap pada PBB juga bukan solusi, sebab PBB lah yang mengumumkan persetujuan berdirinya negara Israel di atas 55% tanah Palestina pada 29 November 1947. Pun sampai saat ini PBB tidak pernah memberikan sanksi atas kejahatan yang menewaskan jutaan warga sipil termasuk anak-anak. Bahkan sekedar pernyataan pelanggaran HAM berat pun tidak. Sehingga satu-satunya solusi adalah menggalang kekuatan muslim sendiri dalam kesatuan negara khilafah.
Pemimpin Islam akan mengerahkan potensi militer negeri muslim untuk turut membela kehormatan tanah para Nabi. 1,5 milyar lebih penduduk muslim akan diminta menyiapkan dana bantuan sekaligus mengirimkan pasukan terbaiknya untuk mengusir penjajah dari tanah yang dimuliakan. Dengan pertolongan nyata seperti itu kekuatan akan seimbang, akan terwujud kesatuan muslim sebagaimana yang dinyatakan dalam HR. Bukhari dan Muslim berikut: “Perumpamaan kaum mukminin dalam saling cinta dan saying laksana satu tubuh, jikalau ada satu anggota tubuh yang mengeluh, maka seluruh tubuh ikut merasakan demam dan bergadang”. [Arin RM]