Oleh: Yuni Untari
Seperti musang berbulu domba. Seperti itulah demokrasi bisa digambarkan. Jargon dari-oleh-untuk rakyat tidak pernah benar-benar terbukti. Dari prosesnya tidak transparan dan banyak celah untuk dimanipulasi dan dibelokkan sesuai kepentingan yang berada dilingkaran tersebut. Seakan-akan rakyatlah yang menentukan kelanjutan berbangsa dan bernegara karena suaranya dalam tiap pemilu menentukan nasib penguasa. Tapi rakyat lupa bahwa manusia selalu syahwat kekuasaan. Untuk melanggengkan atau untuk meraih kekuasaan itupun segala cara bisa dilakukan meskipun dengan cara licik dan hina.
Diantara fakta dari kemunafikan Demokrasi terlihat dari pemilu saat ini. Tapi dari pihak pemerintah kurang menanggapi terkesan mempersulit saat ada laporansalah hitung. Seperti yang dilakukan Sri Bintang Pamungkas yang dilaporkan dalam Tirto.id(4 April 2019) bahwa Sri Bintang bersama Front Advokad Rakyat Indonesia mendatangi Bareskrim Polri tapi menurut beliau, pihak Polri tidak mau menerima laporan tersebut karena harus ada rekomendasi dari KPU dan Bawaslu. Sebelum pelasanaan pemilu saja sudah ada temuan ketidakberesan data.
Ditambah lagi banyak ditemukan salah input atau salah hitung. Dan kurangnya perhatian atas laporan-laporan masyarakat ini membuat rakyat bertanya-tanya, apakah pemilu ini benar-benar jurdil. Ditambah usulan untuk dibentuk Tim Pencari Fakta Kecurangan Pemilu yang seakan-akan ditolak oleh KPU. Kalau mereka bekerja sesuai dengan prosedur dan aktif tanggap merespon keluhan masyarakat, kenapa harus menolak? Dari sini rakyat yang sudah tidak bodoh akan merasa suara yang telah mereka berikan hanya kesia-siakan karena merasa dipermainkan. Belum laporan distribusi logistik pemilu yang terlambat sehingga tidak bisa dilakukan pencoblosan serentak. Dan lainnya. Seharusnya setingkat negara dengan banyak SDM, sarana dan prasarana dari tingkat pusat dan daerah semestinya hal-hal yang kurang beres bisa segera diselesaikan.
Sehingga dari banyaknya laporan ketidakberesan proses pemilu 2019 ini sangat perlu dipertanyakan keabsahannya. Banyak rakyat yang merasa terdzolimi dalam pemilu kali ini adalah wajah dari kemunafikan Demokrasi. Suara dari rakyat tapi disalahgunakan oleh pihak yang berkepentingan. Ketika nanti hasilnya sudah diumumkan dan para wakil duduk diparlemen, memang itu rakyat. Mereka mengklaim bahwa rakyat sudah memilihnya. Lalu apakah para wakil itu sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat? Rakyat yang mana? Sangat absurt. Karena justru hasil kerjanya berupa undang-undang ataupun peraturan banyak yang menghimpit rakyat. Kenaikan TDL, kenaikan harga BBM, harga sembako yang cenderung naik susah turun, biaya sekolah yang mahal, susahnya lapangan pekerjaan, dan sebagainya.
Dan justru undang-undang atau peraturan yang mereka hasilkan cenderung berpihak pada penguasa dan pengusaha besar asing maupun aseng. Seperti contoh, bisnis tambang sebagian besar dimiliki oleh orang-orang disekeliling penguasa. Suara.com(Selasa, 2 Februari 2019), Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyebut Pilpres 2019 kental dengan kepentingan para pebisnis tambang. Menurut Merah, sebagian besar nama-nama yang terlibat dalam bisnis tambang menempati posisi penting baik sebagai capres dan cawapres maupun tim kampanye dikedua kubu. Dalam laporan ini Merah banyak menyebutkan nama-nama, posisi dan kepemilikan masing-masing nama.
Dari sedikit gambaran diatas sudah jelas bagi akal sehat manusia bahwa Demokrasi tidak membawa kemaslahatan dan kebaikan untuk rakyat. Demokrasi penuh kemunafikan dibalik jargonnya yang memukau bahwa semua yang menentukan rakyat. Semua ini tidak lepas dari bahwa yang dijadikan dasar adalah akal manusia semata. Jauh dari bimbingan Sang Maha Pencipta. Seharusnya manusia dalam berkehidupan menggunakan aturan pencipta manusia, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’alla. Sehingga akan terjaminlah semua kepentingan dan kebutuhan hidup rakyat. Karena Allah Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pengatur. Tidak akan mengurangi hak-hak hambanya selama hambanya beriman. Wa Allohu Alam bi Showab.