Oleh : Mustika Rini
(Aktivis Dakwah Kampus)
Pekan lalu, tepatnya 17 April 2019, rakyat Indonesia melaksanakan pemilu untuk memilih lima tahun kedepan para wakil rakyat yang akan memperjuangankan hak-hak mereka sebagai rakyat biasa. Hal inilah yang digadang-gadangkan oleh pemerintah. Wajar saja, sebab Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi yang dikagumi oleh negara-negara lain karena telah sukses melakukan pemilihan dalam 5 kategori yaitu presiden dan wakil presiden, DPD, DPR RI, DPR Daerah, dan DPR Provinsi/kota.
Faktanya, proses memilih pemimpin di dalam sistem demokrasi sangatlah mahal. Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menjelaskan bahwa rincian anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk Pemilu serentak ini, yaitu: tahun 2017 sebesar Rp 465,7 miliar sebagai biaya persiapan, tahun 2018 sebesar Rp. 9,33 triliun, dan pada tahun anggaran 2019 sebesar Rp 23,94 triliun (Kompasiana.com 8/4/2019). Tidak hanya mengeluarkan biaya yang sangat fantastis saja, namun setelah diselenggarkannya pemilu serentak pada 17 April lalu juga banyak menelan korban jiwa, karena para pengawas dan penyelenggara pemilu mengalami kelelahan dalam penghitungan surat suara di TPS masing-masing. Dilansir dari CNN Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia pada penyelenggaraan Pemilu 2019 bertambah menjadi 225 orang (CNN Indonesia 25/4/2019). Disamping itu juga sistem demokrasi telah menghasilkan para pemimpin-pemimpin yang berani untuk berlaku curang. Diantaranya ialah adanya serangan fajar yang dilakukan para calon-calon legislatif demi mencari simpati para pemilih dengan memberikan sejumlah uang. Inilah yang membuat sistem demokrasi tidak bisa dipercaya dari masyarakat karena sistem ini akan mencetak para pemimpin yang rakus akan kekuasaan dan atau bermain curang.
Sejatinya, demokrasi adalah sistem buatan manusia yang hanya dilandasi dengan akal manusia yang terbatas. Padahal manusia tidak mampu untuk mengatur dirinya sendiri, sebab jika manusia mengatur dirinya sendiri, pastilah ia menggunakan hawa nafsunya dan akan menimbulkan kekacauan. Lantas siapa yang seharusnya mengatur manusia? Yang seharusnya mengatur manusia adalah yang menciptakan manusia yaitu Allah SWT kita bisa lihat dalam Al-Qur’an,
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.”(QS Al Alaq: 1-2)
Maka wajar jika Allah yang Maha Pencipta lah yang berhak mengatur dan membuat hukum manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Demokrasi menjadi bathil karena dalam demokrasi sang pembuat hukum adalah manusia itu sendiri. Disamping itu juga, demokrasi membebaskan siapapun untuk menduduki kekuasaan, termasuk diantarana orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan akan ilmu dunia dan akhirat. Maka wajar jika banyak dari para pemimin negeri ini yang melakukan tindak kriminal seperti korupsi,teror, ataupun saling adu kuat dalam ruang rapat.
Berbeda dengan demokrasi, di dalam Islam, seorang pemimpin/khalifah ialah orang yang menjalankan sistem pemerintahannya berdasarkan hukum syara’ dengan apa-apa yang sudah diperintahkan dan dilarang oleh Allah hal ini terdapat di dalam Al-Qur’an,
“Menetapkan suatu hokum itu hanyalah hak Allah”(QS Al-An’am:57)
Karena itu Khalifah sebagai seorang pemimpin dipilih untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT.