Oleh : Nurul Putri
Ummu Wa Rabbatul Bait dan Pegiat Dakwah
Pesta Demokrasi yang terjadi pada tanggal 17 april lalu menyisakan banyak problematika mulai dari biaya nyaleg yang mahal, kecurangan perolehan suara, hingga banyak jatuh korban akibat terlalu sibuk mengurus hasil perolehan pemilu. Ditambah lagi Demokrasi di Indonesia sedang diuji ketahanannya dengan semakin tereksposnya kasus-kasus korupsi oleh pejabat tinggi Negara, kisruh antar umat beragama, kesejahteraan yang tidak merata, serta pembangunan ekonomi nasional yang nampaknya semakin terabaikan dan lainnnya.
Korupsi masih menjadi momok yang dihadapi Indonesia saat ini. Tak hanya di lingkaran pemerintah pusat, korupsi justru tumbuh subur di daerah seiring dengan desentralisasi dan otonomi daerah. Sepanjang 2004 hingga 2018 tercatat terdapat 65 bupati atau wali kota dan 12 gubernur yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jumlah tersebut belum termasuk anggota DPRD tingkat I dan II. Tingginya biaya politik untuk bertarung dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi salah satu pemicu maraknya korupsi di daerah. Hasil kajian yang pernah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan untuk maju di Pilkada seorang kandidat kepala daerah membutuhkan biaya rata-rata sekitar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar. Sementara harta kekayaan yang dimiliki kandidat setidaknya berdasarkan Laporan Harta Kepala Daerah, gaji pokok yang diperoleh rata-rata sekitar Rp 10 juta. Untuk mengembalikan modal biaya kampanye yang diperoleh dari sponsor, para kepala daerah mengambil jalan pintas dengan melakukan korupsi.(kompas.com)
Pada jaman ke Khilafahan ada hal yang perlu diketahui Hukum Syara Tentang Pemilu secara aktivitas, maka proses memilih wakil rakyat dalam pemilu kali ini dalam sudut pandang Islam adalah akad wakalah (perwakilan). Dimana diperlukan pemenuhan atas rukun-rukunnya agar sempurna suatu akad wakalah tersebut. Rukun-rukun wakalah adalah adanya (1) muwakkil atau yang mewakilkan suatu perkara, (2) wakil, yaitu orang yang menerima perwakilan, (3) shighat at-tawkil atau redaksional perwakilan, dan (4) al-umuur al-muawakkal biha atau perkara yang diwakilkan. Di dalam konteks memilih wakil rakyat ini, maka yang perlu dicermati adalah rukun keempat, yaitu perkara yang diwakilkan. Karena, syarat perkara yang boleh diwakilkan hanyalah perkara yang syar’i (dibolehlkan dalam syari’at). Wakil rakyat yang dipilih oleh masyarakat mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU, (2) melantik presiden/wakil presiden, dan (3) fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah. Oleh karena itu, ketika memilih wakil rakyat, maka sesungguhnya seseorang telah mewakilkan kepada si wakil rakyat tersebut untuk membuat hukum (UUD dan UU), dan inilah yang tidak diperbolehkan dalam syari’at. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an al-Karim:
“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah” (QS Yusuf [12]: 40)
“Maka demi Tuhanmu. Mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS an-Nisa [4]: 65)
Syariah Islam sebagai satu-satunya UU yang mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. nerbeda dengan kondisi ini sangat jauh berbeda dengan pemerintahan sekarang yang meletakkan hukum positif buatan manusia sebagai pengatur kehidupan. Mereka yakin hukum positif tersebut lebih baik dan layak diterapkan daripada syariat Islam. Jelas model pemerintah seperti ini adalah pemikiran pemerintah kafir yang harus dihilangkan.
Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Alu Abdu Lathif mengatakan, “Berhukum dengan selain hukum Allah hukumnya kufur asghar ketika seorang penguasa atau hakim memutuskan suatu perkara tertentu dengan selain hukum Allah namun ia masih meyakini bahwa memutuskan perkara tertentu tersebut wajib dengan hukum Allah. Ia berpaling dari hukum Allah dalam masalah tersebut karena maksiat, hawa nafsu dan syahwatnya dengan mengakui bahwa hal itu termasuk dosa dan karena perbuatannya itu ia berhak untuk dihukum.
Dalam kondisi sekarang, ketika Khilafah belum ada, maka solusi untuk mengangkat seorang Khalifah tentu bukan melalui Pemilu. Karena pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan Khilafah. Juga bukan metode untuk mengangkat Khalifah. Namun, ini hanyalah uslub. Bisa digunakan, dan bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Islam telah menetapkan, bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Sedangkan metode baku untuk mengangkat Khalifah adalah bai’at. Meski dalam praktiknya, bisa saja dengam menggunakan uslub pemilu. Karena itu, mengerahkan seluruh potensi untuk melakukan uslub yang mubah, namun meninggalkan metode baku yaitu thalab an-nushrah dan bai’at jelas tidak tepat. Meski harus dicatat, bahwa thalab an-nushrah tidak akan didapatkan begitu saja, tanpa proses dakwah dan adanya jamaah (partai politik Islam idelogis) yang mengembannya.
Negara Khilafah adalah Khalifah itu sendiri. Karena itu, kekuasaan di dalam Negara Khilafah berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain. Maka, negara Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan. sebagaimana yang diperkenalkan oleh Montesque dalam sistem negara Demokrasi. Meski demikian, kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam tetap di tangan rakyat. Khalifah yang berkuasa dalam Negara Khilafah juga tidak akan bisa berkuasa, jika tidak mendapatkan dujunga dari rakyat.
InsyaaAllah Dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah dan mendakwahkan secara nyata, berjuang semaksimal mungkin untuk menegakkan khilafah di muka bumi dengan proses pencerdasan dan penyadaran di tengah-tengah umat akan pentingnya institusi Khilafah karena dengan Khilafah kehormatan kaum muslim terjaga.
Wallahu a'lam bi ashawwab.