Oleh: Hervi Lora
Kekerasan demi kekerasan terjadi di dunia pendidikan. Setiap tahun lembar catatan buruk tersebut kian menumpuk. Menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Di Pekanbaru, Siswa kelas XII SMA 2 Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau menjadi tersangka pemukulan kepala sekolahnya Maret 2019 kemarin. Di tempat lain, tidak terima ditegur sang guru karena telah merokok di dalam kelas, siswa kelas IX salah satu SMP di Gresik Jawa Timur, diduga telah melakukan pengancaman dengan menantang berkelahi sang guru.
Guru yang memiliki julukan pahlawan tanpa tanda jasapun juga tidak bersih dari oknum pendidik yang keji moralnya. Maret 2019 lalu, seorang guru Karangayu 02 Kota Semarang telah terbukti melakukan pencabulan terhadap keenam muridnya saat sedang bertugas. Dan sekian banyak lagi kasus-kasus seperti tindak asusila, atau kejahatan lain bukti bejatnya moral oknum pendidik di negeri ini
Dalam mendidik ada tiga hal yang harus kita perhatikan, pertama subyek pendidikan yang dalam hal ini adalah guru. Meski ada istilah experience is the best teacher (pengalaman adalah guru yang baik), atau ada ilmu yang bisa dipelajari secara otodidak, namun sejatinya karena manusia adalah makhluk yang terbatas dan lemah tetap membutuhkan manusia lain dalam memahami sesuatu termasuk dalam memahami ilmu. Derajat orang-orang yang berilmu telah dijelaskan secara gamblang di dalam Al-Quran.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah 11).
Dan Al Hadist telah secara jelas menjabarkan tentang balasan bagi orang-orang berilmu yang menyampaikan ilmunya.
"Demi Allah, jika Allah SWT memberi petunjuk kepada satu orang melalui perantaramu maka hal itu jauh lebih baik dari pada kekayaan yang sangat berharga.” (HR. Bukhori Muslim)
Menjadi pendidik tidak cukup hanya berilmu, namun yang lebih utama adalah ketaqwaannya kepada Ilahi sang penggenggam segala ilmu. Dengan taqwa, seorang guru akan menerima keberkahan berupa ilmu yang bermanfaat dunia dan akherat sekaligus menjaga dirinya dari perbuatan maksiat karena ketakutannya kepada Allah SWT.
Kedua, obyek pendidikan yang dalam hal ini adalah murid. Seorang penyair berkata: “Sesungguhnya guru dan dokter keduanya tidak akan menasihati kecuali bila dimuliakan. Maka rasakan penyakitmu jika tidak menuruti dokter, dan terimalah kebodohanmu bila kamu membangkang pada guru”. Jadi sangat jelas bahwa menghormati guru itu harus ditanamkan sejak dini kepada murid, agar murid mengetahui adab terhadap guru, sehingga dalam menuntut ilmu para murid diberi kemudahan untuk memahami berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada.
Lalu bagaimana sesungguhnya adab seorang murid kepada gurunya? Telah banyak dicontohkan oleh generasi salafush shalih di dalam kitab-kitab fiqih maupun sejarah.
Imam As Suyuthi menyampaikan mengenai Imam An Nawawi,” Beliau mempelajari fiqih dari guru beliau Ishaq Al Maghribi. Dan beliau sangat menjaga adab kepadanya, dimana beliau mengisi bak air dan membawanya kepada guru untuk bersuci.” (Tuhfah At Thalibin, hal. 56).
Dan di saat Imam An Nawawi hendak membaca di hadapan guru, di perjalanan beliau bersedekah untuk sang guru sekedarnya dan berdoa,”Ya Allah, tutuplah aib guruku dariku, hingga aku tidak melihat kekurangan beliau dan tidak ada orang lain yang menyampaikan kepadaku mengenai aib beliau “. (Lawaqih Al Anwar Al Qudsiyah, hal. 29).
Demikianlah, sehingga generasi muda sekarang sesungguhnya harus banyak belajar kepada Islam tentang adab. Dan tiadalah yang mampu membuatnya mulia sebagai seorang yang berilmu kecuali adabnya dalam memuliakan sang Guru terlebih dahulu.
Ketiga, Sistem Pendidikan yang diatur oleh negara. Negara mengatur kurikulum dan kebijakan-kebijakan lainnya yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Kurikulum Pendidikan akan menentukan arah pendidikan di negeri ini. Kurikulum berbasis akidah akan menghasilkan generasi yang takut pada Sang pencipta-Nya. Sehingga taat pada agamanya dan berakhlakul karimah, juga menjadi generasi yang tangguh dan memiliki visi misi dalam kehidupannya.
Kesejahteraan guru juga harus diperhatikan, agar mereka bisa berkonsentrasi dan fokus untuk mendidik generasi tanpa terbebani masalah ekonomi. Kita lihat betapa miris gaji guru honorer di negeri ini padahal peran mereka juga tak kalah besar dengan guru PNS. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi guru di zaman kejayaan Islam. Sebagai perbandingan, Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa, di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas), sekitar 31 juta (dengan asumsi 1 gram emas = 500 ribu rupiah).
Islam begitu memuliakan Ilmu dan penyampainya, sehingga segala hal yang berkaitan dengannya sangatlah diperhatikan. Segala permasalahan pendidikan di negeri ini hanyalah bisa diselesaikan ketika kita mau kembali kepada sistem pendidikan islam yang berbasis kepada akidah islam. Sekularisme yang meniadakan peran agama dalam pengaturan justru menjadi biang permasalahan dalam sistem pendidikan kita saat ini. Karena tiada aturan terbaik selain aturan dari Zat Pencipta manusia. Sehingga mengembalikan syariat di tengah-tengah kita untuk diterapkan sebagai solusi bagi permasalahan sistem pendidikan kita adalah hal yang harus diutamakan.