Oleh: Risma Choerunnisa, S. Pd.
(Pengajar di MTs Manba’ul Huda Bandung)
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani, mewacanakan akan mengundang guru dari luar negeri untuk mengajar di Indonesia. Menurutnya, saat ini Indonesia sudah bekerja sama dengan beberapa negara untuk mengundang para pengajar, salah satunya dari jerman. “Kami mengundang guru dari luar untuk mengajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia (tirto.id, 12/05).
Tentu saja wacana tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, salah satunya dari Ikatan Guru Indonesia (IGI). Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim, menyatakan bahwa guru di Indonesia saat ini sudah cukup. Ramli pesimis pengajar asing bisa mengikuti kurikulum yang diterapkan di Indonesia. “Guru-guru kita sebenarnya punya potensi baik, tetapi beban kurikulum dan beban administrasi yang begitu berat membuat mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak perlu” tambahnya. Bahkan Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru (FSGI), Satriawan Salim mengatakan bahwa Indonesia saat ini sudah oversupply guru dari sekitar 3,2 juta guru di berbagai tingkatan yang mengajar saat ini (tirto.id, 12/05).
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa permasalahan pendidikan di Indonesia ini bukan berasal dari SDM guru yang tidak memadai, sehingga harus mengundang guru asing ungtuk mengajar di sini. Akar permasalahan adalah sistem yang digunakan. Jika sistem demokrasi yang dippakai untuk mengatasi persoalan ini, maka tak heran solusi yang ditawarkan adalah solusi tambal sulam yang tidak menyelesaikan permasalahan sampai tuntas. Sehingga sistem demokrasi gagal mencetak guru yang berkualitas untuk mewujudkan generasi yang tangguh (berkarakter kuat, mampu sebagai problem solver dan memiliki skill dalam kehidupan
Berbeda jika sistem islam yang digunakan. Posisi guru dalam Islam sungguh dimuliakan. Gaji yang sangat besar, sarana yang memadai untuk beralngsungnya proses pembelajaran, juga sistem yang mendukung para guru dalam mencerdaskan anak didiknya. Di zaman Khalifah Umar bin Khattab guru saat itu diberi gaji sebesar 15 dinar. 1 dinar setara dengan 4.25 gram emas, maka 1 dinar kurang lebih senilai dengan Rp. 2.258.000. Itu berarti gaji guru saat itu mencapai Rp. 33.870.000 (visimuslim.com, 15/02/2016). Sangat jauh jika dibandingkan dengan gaji guru saat ini yang berada di kisaran Rp. 2.000.000, bahkan guru honorer hanya Rp. 300.000 per bulan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam benar-benar menjadikan pendidikan sebagai pilar peradaban mulia. Serta menempatkan guru sebagai salah satu arsiteknya. Karena pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru, melainkan tanggung jawab seluruh komponen. Lebih dari itu, Islam merupakan sistem yang sempurna karena di dalamnya mengatur segala hal mulai dari hal yang terkecil seperti masuk kamar mandi, sampai mengatur urusan besar seperti urusan bernegara sekalipun. Itu adalah gambaran kepemimpinan Islam dalam mencetak guru yang berkualitas tanpa ketergantungan pada asing yang merusak kemandirian bangsa.
Jadi, masihkan kita ingin bertahan dengan sistern sekuler kapitalis seperti saat ini?
Tidakkah kita rindu dengan sistem Islam yang memuliakan seluruh manusia?