Oleh : Titi Niswati, S. Pd.
Belum lama ini kita mendengar kabar mencengangkan, kabar itu datangnya dari dunia pendidikan kita. Dilansir dari Harianjogja.com, JAKARTA- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan akan mengundang guru atau pengajar dari luar negeri untuk mengajar di Indonesia.
"Kita ajak guru dari luar negeri untuk mengajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia," kata Puan saat menghadiri diskusi Musrenbangnas di Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Lebih lanjut, Puan menjelaskan bahwa jika terkendala bahasa, akan disediakan banyak penerjemah serta perlengkapan alih bahasa.
Ia meminta pihak berkepentingan seperti sekolah untuk menyampaikan pengajar seperti apa yang dibutuhkan dan berapa jumlahnya, nanti akan dikoordinasikan untuk didatangkan.
Saat ini, menurut Puan, Indonesia sudah bekerja sama dengan beberapa negara untuk mengundang para pengajar, salah satunya dari Jerman.
Heran betul menyaksikan kebijakan yang diambil tersebut, karena Jumlah Guru Dalam Negeri Ini pun cukup, Wacana yang digulirkan Puan ini juga menuai kritik dari Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim. Ia mengatakan jumlah guru di Indonesia sudah mencukupi. Ramli menjelaskan jumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan lulusannya terus bertambah setiap tahunnya. Ia merujuk data Kemendikbud yang menyatakan pada 2013 terdapat 429 LPTK, terdiri dari 46 negeri dan 383 swasta. Total mahasiswa saat itu mencapai 1.440.770 orang.
Jumlah tersebut lebih banyak dibanding 2010 dengan 300 LPTK. "Dengan jumlah mahasiswa 1,44 juta maka diperkirakan lulusan sarjana kependidikan adalah sekitar 300.000 orang per tahun. Padahal kebutuhan akan guru baru hanya sekitar 40.000 orang per tahun," ujar Ramli kepada reporter Tirto, Jumat (10/5/2019).
Dari fakta ini harusnya pemerintah memikirkan bagaimana memecahkan persoalan yang terjadi, bukan dengan mendatangkan guru dari asing. Sebenarnya dengan memperhatikan kesejahteraan guru seluruhnya tanpa terkecuali itu akan meningkatkan kualitas guru itu sendiri. Bagaimana mungkin guru akan berkualitas jika kesejahteraannya tidak terpenuhi.
Karena guru merupakan tombak terdepan dalam memajukan pendidikan dan pembinaan. Tanpa guru, apalah jadinya dunia pendidikan kita sehingga peran guru tak dapat dipisahkan dari aktivitas pembalajaran.
Untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, maka perlu penempaan di dunia pendidikan.
Tentunya dibalik kewajiban dalam menjalankan amanah tersebut, harus diiringi dengan pemenuhan hak yang setara dengan tanggung jawab besar.
“Selama ini kacamata pendidikan dalam sistem demokrasi hanya memandang sebelah mata peran guru honorer. Dengan gaji yang mereka peroleh tidak sebanding dengan jasa mereka yang tanpa pamrih, untuk meningkatkan intelektualitas dan membentuk akhlak mulia pada peserta didik.
Sebagai perbandingan, dalam sistem islam dari Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa, di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak.
Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas).
Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS atau pun honorer. Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru.
“Tidak heran dengan sistem islam dijumpai banyak generasi cerdas dan shaleh. Selain itu, berbagai fasilitas pendukung pendidikan dapat dinikmati tanpa beban biaya yang besar.
Dengan menilik dari contoh diatas sungguh sangat jauh berbeda ketika membandingkan kesejahteraan yang diterima guru saat ini. Dengan memperbaiki kesejahteraan guru dalam negeri dan memperbaiki kualitasnya tentunya mengikuti sistem islam maka akan terciptanya kehidupan pendidikan yang sesuai dengan harapan tanpa mendatangkan guru dari asing.
Wallahu’alam biash-shawab.