Oleh: Sayyida Marfuah*)
Rangkaian kekacauan pemilu 2019 menjadi pemandangan yang membuat masyarakat resah, mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara dan surat suara, hingga surat suara tercoblos lebih dulu.
Setidaknya ada belasan kabupaten/kota yang terhambat melaksanakan pemilu. Di Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, ada kekurangan surat suara untuk surat suara Presiden dan anggota DPRD Kabupaten untuk empat daerah pemilihan. Keterlambatan logistik juga terjadi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah dan berakibat ada 11 kecamatan yang terancam tidak bisa mencoblos. Kasus lain terjadi di Kecamatan Tamansari dan Ciseeng, Kabupaten Bogor. Di dua lokasi itu ada 682 kotak suara yang rusak. Di kabupaten Cirebon, Jawa Barat, KPU menemukan ada 12 ribu surat suara yang rusak. (tirto.id/17/04/2019)
Sementara itu, menyikapi perkembangan yang ada, Kapolri Tito Karnavian meminta semua pihak untuk tidak mengerahkan massa hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil resmi pemilihan umum. Dia mengatakan bahwaTNI dan Polri akan menindak tegas semua kegiatan-kegiatan inkonstitusional yang dilakukan pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil Pemilu.(bbcnewsindonesia/18/04/2019)
Fakta lain, sebagaimana dilansir kumparan.com/22/04/2019 di hari pencoblosan dan setelahnya, banyak petugas yang meninggal dan sakit. KPU terus melakukan pendataan terkait jumlah petugas KPPS yang meninggal dan sakit tersebut. Data yang diupdate pada Senin (22/4) pukul 16.15 WIB, menunjukkan 90 petugas meninggal dan 374 orang sakit. Berdasarkan laporan KPU, faktor kelelahan menjadi penyebab terbesar petugas sakit, selain karena beberapa petugas mengalami tifus dan stroke.
Hari pencoblosan memang telah berlalu. Meskipun demikian upaya untuk mendapat pemimpin yang diharapkan belumlah berakhir. Rakyat harus bersabar menunggu dalam kecemasan siapa yang akan menjadi pemimpin negeri ini lima tahun ke depan.
Jargon Dari, Oleh dan Untuk Rakyat : Omong Kosong!
Terkait dengan pemilu, sebenarnyasejak awal aroma kecurangan sudah tercium, mulai dari KTP yang mencurigakan, amburadulnya daftar pemilih, dibiarkannya pelanggaran kampanye, ketaknetralan pihak aparat sampai politik uang yang begitu masif. Kini, saat masa penantian, aroma itu semakin kuat, misalnya kesalahan input data suara yang menguntungkan salah satu paslon. Kacau balau dan brutal, itulah gambaran yang ada di depan mata kita.
Kenyataan ini semakin meyakinkan kita betapa bobroknya demokrasi. Pemilu jujur dan adil yang dengannya rakyat berharap bisa menjadi sarana untuk melakukan perubahan_sekalipun hanya merubah rezim_hanyalah isapan jempol. Sebaliknya, pemilu kali ini justru menunjukkan ketamakan penguasa terhadap kekuasaan serta pengkhianatan terhadap jargon demokrasi itu sendiri. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tak lebih hanya tontonan kebohongan yang didengungkan saat masa kampanye untuk meraup simpati dan suara rakyat.
Siapakah Pemain Sesungguhnya?
Dalam demokrasi, ‘katanya’ kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Bagi negara demokrasi, slogan yang diagung-agungkan adalah Vox Populi Vox Dei, yang artinya “Suara rakyat adalah suara Tuhan”. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana rakyat bisa memerintah, sehingga kedaulatan ada di tangan mereka?
Saat ini hampir semua tahu bahwa pemain sesungguhnya dalam demokrasi adalah kalangan atas. Rakyat hanya diberi ruang untuk memilih, berteriak, bertepuk tangan, mencemooh, atau bahkan melempar batu, tapi mereka tidak pernah dijinkan untuk ikut terjun dalam permainan. Para pemimpin yang terpilih hanya berkewajiban untuk meyakinkan masyarakat bahwa hanya merekalah yang bisa melindungi kepentingan rakyat. Rakyat hanya dijadikan objek politik bagi pemerintah/penguasa untuk mempertahankan hegemoni politiknya yakni dengan melanggengkan penjajahan sistemiknya dalam segala aspek yakni politik, ekonomi maupun sosial dan budaya. Rakyat gigit jari menelan ludah akibat ulah penguasa curang yang haus kekuasaan. Dengan demikian ide kedaulatan rakyat hanyalah sebatas fatamorgana.
Di alam demokrasi, mereka yang memiliki modal atau uang bisa mengendalikan kekuasaan semaunya. Siapa yang punya modal maka dialah yang berkuasa, sebaliknya, jika tak mempunyai modal jangan berharap bisa menikmati kekuasaan. Hal inilah yang menyebabkan para politisi mau bekerjasama dengan para pemilik modal (kapitalis), dengan seperangkat kesepakatan yang menguntungkan para pemilik modal tersebut meskipun merugikan kepentingan rakyat. Oleh karena itu ketika sudah menjadi penguasa, maka wajar jika kebijakan atau aturan yang dibuat malah menguntungkan pemodal atau dirinya sendiri dan mengabaikan urusan rakyatnya.
Begitulah hipokritnya demokrasi di kancah pemilu kali ini_dan tentunya pemilu yang sudah-sudahpun demikian juga_. Jargon 'dari-oleh-dan untuk rakyat' tidak pernah benar-benar terbukti, padahal uang yang mereka pakai adalah uang rakyat, tenaga yang mereka kerahkan juga dari rakyat, namun nyatanya pemilu hanya dipakai sebagai sarana bagi korporasi (kapitalis) dan rezim untuk menguasai rakyat.
Kini, sudah tidak bisa ditunda lagi, demokrasi harus segera dicampakkan dan kembali kepada sistem Islam, sistem yang telah terbukti mampu mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.
Wallaahu A’lam bi Ash Shawaab
*)Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Anggota Akademi Menulis Kreatif (AMK)