Oleh: Novi Arrasya
(Ibu Rumah Tangga)
Pesta demokrasi tahun 2019 baru saja usai. Namun, banyak kalangan menilai bahwa pemilu kali ini merupakan pemilu terburuk sepanjang sejarah di negeri ini. Bawaslu RI menyatakan terdapat 7000 lebih kasus pelanggaran. Tim BPN melaporkan dugaan kecurangan sebanyak 1200 kasus lebih. Tidak hanya itu, pemilu 2019 yang menelan dana Rp. 26 Triliun ini banyak mengalami kendala mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara, kerusakan surat suara, surat tercoblos lebih dulu, surat suara terbakar, surat suara hilang, dan salah input data. (jawa pos). Tak cukup sampai disitu, untuk pertama kalinya dalam sejarah perpolitikan di Indonesia orang sakit jiwa diberi hak untuk memilih. Sungguh kondisi ini benar – benar menggambarkan lemah dan rusaknya demokrasi.
Hal yang lebih mencengangkan banyaknya petugas KPPS yang meninggal. Laporan KPU memperlihatkan bahwa faktor kelelahan menjadi penyebabnya. Arif Budiman selaku ketua KPU mengatakan bahwa jumlah yang meninggal dan sakit itu berasal dari 19 provinsi diantaranya: Daerah Istimewa Yokyakarta, Banten, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Jawa Tengah. Bahkan terkait banyaknya petugas yang gugur dan sakit, KPU berencana mengajukan pemberian santunan kematian sekitar 30 – 36 juta bagi petugas yang meninggal dan 30 juta bagi petugas yang mengalami cacat fisik.
Melihat fakta yang ada harusnya kita menyadari bahwa sejatinya demokrasi tak akan pernah bisa memberikan kesejahteraan bagi kita. Inilah bukti nyata rusaknya sistem demokrasi. Sistem yang memproduksi kecurangan dalam pelaksanaannya, menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan yang diinginkanya. Sedangkan rakyat hanyalah sebatas sapi perah yang diperalat dan sebatas tumbal semata.
Jika mereka menghalalkan berbagai cara untuk meraih kekuasaan tanpa mempertimbangkan halal dan haram, lalu bagaimana mungkin mereka memperdulikan nasib rakyatnya? Jika kejujuran saja diabaikan demi kekuasaan, lalu bagaimana mereka bisa bersikap jujur dalam mengayomi rakyatnya? Jika mereka mengatakan bahwa demokrasi adalah dari, oleh, dan untuk rakyat, namun mengapa fakta tak memperlihatkannya? Mereka selalu mengatakan bahwa pesta demokrasi merupakan pesta rakyat. Namun pesta demokrasi hanyalah sarana untuk mendapatkan kekuasaan bagi mereka.
Sudah saatnya kita sadar bahwa pemilu tak benar – benar menjadi sarana untuk melakukan perubahan. Jargon dari, oleh, dan untuk rakyat yang senantiasa mereka gaungkan nyatanya tidak benar – benar terbukti. Sebab demokrasi hanyalah sarana bagi korporasi, kapitalis, dan rezim untuk menguasai rakyat semata. Dalam demokrasi, rakyat hanya dilibatkan dalam pemilihan umum semata, selebihnya rakyat dibiarkan kembali pada aktivitas biasanya. Demokratisasi yang gaung dimasa kini lebih menonjol pada perebutan dan pembagian kekuasaan saja. Oleh sebab itu, mencari idealitas demokrasi menuju kesempurnaan sangatlah mustahil untuk diwujudkan. Sebab ini semua hanyalah hasil dari ide kompromi, bukan solusi. Rakyat mustahil menjadi raja yang diurusi kehidupannya (konfrontasi.com). Jika demikian adanya, masihkah kita harus mempertahankan sistem demokrasi yang penuh hipokrisi semata?