Oleh: Yusriani Rini Lapeo, S.Pd.
(Pemerhati Sosial Konawe)
Pasca pemilihan umum serentak di seluruh Indonesia, rupanya tidak terlepas dari kultur yang tidak bisa dihindari dalam demokrasi. Ketidakdewasaan dalam berkelompok, menjadi problem dan sorotan masyarakat yang turut serta dalam pemilu.
Lagi-lagi kecurangan kembali terjadi saat pemilu. Sejumlah bukti kecurangan dari salah satu pendukung Capres, diliput saat penghitungan suara di TPS menjadi ajang perdebatan di sosial media. Menariknya, kedua kelompok pendukung paslon 01 dan 02 pun, saling mengklaim menang.
Belum lagi sejumlah bukti yang beredar, menjadikan suasana pasca pesta demokrasi kian memanas. Ironisnya, kedua kubu paslon mengaku sama-sama dirugikan atas kondisi tersebut, hingga kerap terjadi saling tuding.
Tidak hanya itu, KPU pun diseret-seret dalam kecurangan tersebut. Sejumlah pihak menilai, sikap KPU tidak transparan bahkan berat sebelah.
Rupanya, problem demikian masih hangat diperbincangkan di tengah masyarakat, mulai dari anak sekolah, penjual sayur, tukang ojek, ibu rumah tangga, petani, bahkan para politisi negeri ini.
Seperti salah satu cuitan twitter pemilik akun resmi @msaid_didu, “kalian katakan punya bukti kecurangan 25.000 tapi menolak buat tim pencari fakta kecurangan pemilu. Kalian katakan sistem IT @KPU_ID sudah bagus dan terbaik tapi kalian tidak setuju audit forensik IT KPU. Kalian berakal sehat?”
Ya, itulah demokrasi. Diterapkannya sistem ini percaya atau tidak, tidak ada teman maupun lawan sejati. Hari ini kawan, besok bisa menjadi lawan.
Demokrasi meniscayakan terjadinya kecurangan. Manipulasi terjadi dimana-mana, mau itu di Pilpres, Pilkada, Pilgub, bakhan pemilihan kepala desa sekalipun. Terlebih, adanya money politic sudah menjadi rahasia umum, yang kerap dipraktekkan demi perebutan kursi kekuasaan.
Hampir setiap pesta demokrasi berakhir kacau, karena tidak sesuai dengan harapan. Asas manfaat yang mendorong pelaku kecurangan, mampu membuat sejumlah kelompok berperilaku brutal.
Sejarah mencatat, seorang mantan presiden Liberia (Afrika Barat), Charles King (1878-1961), menjadi salah satu pemecah rekor dunia Guinness atas kecurangannya dalam Pilpres. Ia berhasil memenangkan pilpres pada tahun 1927 dengan total suara 234.000, sementara pemilihan tetap yang terdaftar hanya 15.000 orang (Arrahmah.com).
Walaupun demikian, masyarakat belum tersadarkan dari bahaya dan buruknya sistem demokrasi ini. Hampir semua elemen masyarakat, menganggap demokrasi adalah satu-satunya jalan untuk menyalurkan aspirasi rakyat yang bijak dan santun. Padahal, ini justru membungkam hak berpendapat dalam membela diri.
Sebagai bukti, dilegalkannya UU hoaks. Semua aspirasi dan pendapat masyarakat yang bersifat merugikan, satu persatu dipidanakan. Bahkan, ketidakadilan rentang berpihak kepada rakyat, seperti mengkritik penguasa atas kezalimannya pun dianggap sebagai paham radikal. Padahal, wajib bagi masyarakat untuk mengingatkan penguasanya ketika ia (penguasa) berbuat zalim, seperti curang, dusta, khianat, dll.
Semenatara itu, dalam kacamata Islam pergantian kepemimpinan merupakan hal yang biasa dan lazim. Sebagaimana ketika Baginda Rasulullah saw. wafat, ia segera digantikan oleh Abu Bakar ra. Abu Bakar ra. wafat, digantikan oleh Umar ra. Umar ra. wafat, digantikan oleh Ustman, dan seterusnya.
Adapun yang boleh dilakukan oleh seorang wakil rakyat hanyalah fungsi koreksi (muhasabah) kepada penguasa. Karena sesungguhnya melakukan tindakan koreksi ini termasuk perkara yang dibolehkan karena termasuk perkara amar maksruf nahi mungkar.
Terlebih, Islam sangat melarang perilaku kecurangan dalam berbagai hal, termasuk dalam perkara pemilu seperti menipu, memalsukan, menyuap, dan bersekutu dengan orang-orang yang sekuler (orang yang memisahkan agama dari kehidupan dan berhukum selain dari hukum Allah). Seperti sabda Rasulullah saw. yang artinya, “Siapa saja pemimpin yang diangkat untuk mengatur urusan rakyat, lalu curang kepad rakyat, maka dia masuk neraka.” (HR. Muslim & Ahmad)
Sedangkan dalam sistem demokrasi, wakil rakyat yang dipilih oleh masyarakat mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu: Pertama, fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU. Kedua, melantik presiden/wakil presiden. Ketiga, fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah. Oleh karena itu, ketika memilih wakil rakyat, maka sesungguhnya seseorang telah mewakilkan kepada si wakil rakyat tersebut untuk membuat hukum (UUD dan UU), dan inilah yang tidak diperbolehkan dalam syari’at. Tak terkecuali dalam memilih presiden dan wakil presiden, yang sejatinya mendukung sistem sekulerisme itu sendiri.
Sebagaimana Allah swt berfirman dalam Alquran surah Yusuf ayat 40 yang artinya, “Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah.”
Allah pun menyebutkan dalam firmannya, mereka termasuk golongan orang yang tersesat. Seperti pada surah Al-Ahzab ayat 36 yang artinya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan. Akan ada lagi bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Perbedaannya adalah bahwa dasar pergantian kepemimpinan dalam Islam hanya diletakkan pada ketakwaan pada Allah swt, bukan kepentingan pribadi maupun segelintir golongan yang haus akan kekuasaan.
Dengan demikian, segala masalah yang timbul dari pemilihan pemimpin tidak mungkin terjadi, jika pelaksanaanya senantiasa mencontoh apa yang telah dilakukan oleh para sahabat Rasul dan kepemimpinan setelahnya. Hal itu pun hanya mungkin dapat terwujud, apabila hukum-hukum-Nya diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga Islam rahmatan lil ‘alamin dapat dirasakan oleh semua umat manusia. Wallahu' alam bi ash-shawab.