oleh : Zai (aktivis mahasiswi)
Film menjadi salah satu komoditas yang banyak digandrungi kaum milenial saat ini. Wajar jika perfilman saat ini berkembang pesat, tidak hanya di dunia, Indonesia juga menunjukkan perkembangannya. Film, bahkan bisa menjadi media propaganda yang efektif untuk merubah mindset dan sosial hidup masyarakat. Sehingga kejelian menjadi keharusan untuk memilih dan memilah film yang beredar bebas di masyarakat saat ini.
Beberapa waktu lalu, film "Kucumbu Tubuh Indahku" yang tayang pada tanggal 18 April 2019 menuai kontroversi. Hal ini disebabkan karena film tersebut mengandung nilai sosial yang bertentangan dengan masyarakat Indonesia yaitu gay.
Petisi menentang dan memboikot film tersebut untuk tayang di beberapa kota bermunculan di media sosial. Pro dan kontra pun bermunculan. Pihak pro menganggap film tersebut tidak akan mengubah apapun untuk masyarakat atau menjadikan seseorang menjadi gay atau tidak, sehingga pemboikotan film dirasa tidak perlu.
Penulis dan sutradara film tersebut juga menyatakan, menurutnya, petisi yang dibuat untuk menentang filmnya tersebut, seperti penghakiman sepihak masyarakat tanpa adanya ruang dialog. (TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR 26/4/19).
Jika kita mengikuti pihak yang pro film tersebut. Maka kerusakan masyarakat di depan mata. Karena mereka yang setuju dengan film tersebut berlandaskan kebebasan tanpa memperhatikan norma yang berlaku di masyarakat. Tentu kita harus menolak tegas film tersebut, sebab akan terjadi suatu penyimpangan sosial jika dibiarkan terus-menerus. Karena hal ini akan dianggap biasa dan menjadi suatu "kebolehan" di masyarakat. Walaupun ini hanya film namun film ini akan memunculkan opini untuk menyetujui penyimpangan sosial yaitu gay.
Pemboikotan adalah bentuk kepedulian masyarakat terhadap penyimpangan sosial. Walaupun hal ini dianggap sebagai bentuk diskriminasi di sistem sekuler atau sistem yang memisahkan agama dari kehidupan saat ini. Hal ini wajar saja, karena sistem sekuler menyuburkan kebebasan yang berimbas merusak generasi termasuk melalui seni (Perfilman). Resiko penghancuran generasi diabaikan, hanya karena sekedar ingin meraih keuntungan materi.
Islam Sebagai Satu-Satunya Solusi
Umat harus diselamatkan. Karena itu kita membutuhkan sistem yang tidak menjadikan kebebasan sebagai landasan kehidupan yang jelas-jelas menimbulkan kemudharatan di berbagai sendiri kehidupan.
Sistem Islam memandang keberadaan seni bukan sekedar hiburan, namun alat/sarana dakwah dan pendidikan untuk mencerdaskan umat/generasi Islam.
Sistem Islam tidak mendiskriminasi siapapun. Islam mengatur manusia agar sesuai dengan fitrahnya.
Kebebasan yang terjadi saat ini, mengganggap pengaturan agama seolah mengekang dan tidak menjunjung hak asasi manusia. Opini ini ada karena dunia saat ini dipimpin oleh kapitalisme yang berasaskan sekuler. Oleh karena itu wajar jika agama selalu dibenturkan dengan kehidupan. Agama hanya untuk individu-individu semata dan tidak digunakan untuk mengatur masyarakat. Konspirasi barat melalui tren LGBT saat ini sebagai upaya merusak generasi muslim. Hal ini tentu tidak akan dibiarkan. Sehingga kita harus melawan opini sesat tentang LGBT, promosi serta bentuk propaganda-propaganda yang semakin menjauhkan umat dari Islam.
Solusi Islam harus terus-menerus diopinikan di tengah-tengah masyarakat, sehingga opini pembenturan agama dan pengaturan manusia tidak massive.
Masyarakat harus senantiasa dicerdaskan agar tidak larut dengan kepemimpinan dunia yang merusak saat ini. Tentu usaha ini bukan hal yang mudah, umat harus bersatu dan bekerja keras untuk mengembalikan Islam sebagai sistem yang terbaik untuk mengatur kehidupan. Kesadaran itu harus dimunculkan mulai dari individu, kemudian kelompok, lalu masyarakat.
Sehingga nantinya masyarakat sendiri yang kelak menginginkan supaya syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam sendi-sendi kehidupan.