(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Jonan melakukan kunjungan selama dua hari ke Papua. Dalam kunjungan tersebut, ia meresmikan beberapa fasilitas untuk program pemberdayaan masyarakat lokal Suku Amungme dan Kamoro, dan beberapa fasilitas lainnya. Fasilitas tersebut dibangun dengan dana kemitraan Freeport oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK).
Fasilitas yang diresmikan yaitu fasilitas perawatan kesehatan kelas I, II dan VIP; Rumah Sakit Mitra Masyarakat; Pusat Pelatihan Masyarakat Amungme dan Kamoro; fasilitas sekolah dan asrama Kokonao; bandara Ainggonggin Aroanop; sekolah dan asrama Taruna Papua SP4; PLTA 176 KWH di Kampung Waa-Banti, Distrik Tembagapura; sekolah dan asrama Salus Populi SP3; sekolah serta Asrama Kampung Tsinga, Distrik Tembagapura.
Dalam kunjungannya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menegaskan mayoritas saham Freeport Indonesia telah dikuasai oleh Pemerintah Indonesia. Maka itu, tidak tepat jika masih ada anggapan bahwa perusahaan tambang tembaga, emas dan perak yang beroperasi di Mimika, Papua tersebut sebagai milik asing.
Jonan mengatakan 51,2% saham Freeport Indonesia telah dipegang negara Indonesia yang diwakili Inalum, serta Pemerintah Kabupaten Mimika dan Pemerintah Provinsi Papua. "Tidak boleh ada lagi perasaan bahwa Freeport ini milik asing,” kata dia saat melakukan kunjungan ke Timika, Papua, Kamis (2/4/2019).
Namun ada hal yang masih perlu kita pikirkan. Karena meski pemerintah dan Freeport-McMoran Inc. telah menandatangani Perjanjian Pendahuluan (Head of Agreement/HoA) terkait proses peralihan 51 persen saham PT. Freeport Indonesia. Tapi bukan berarti pemerintah dapat bernafas lega. Sebab masih panjang daftar kesepakatan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.
Menanggapi kesepakatan tersebut, Ekonom Senior Indef Dradjad Wibowo menegaskan sebetulnya pemerintah belum merebut kembali Freeport Indonesia, mengingat transaksi kedua pihak belum terealisasi.
Dradjad menambahkan klaim bombastis bahwa Freeport sudah direbut kembali terlalu prematur. Mengingat transaksi yang masih jauh dari tuntas, karena Freeport-McMoran dan Rio Tinto menyebut masih ada isu-isu besar yang belum disepakati. Dapat dikatakan masih belum ada kepastian bahwa transaksinya akan tuntas. Mengutip Bloomberg, Dradjad juga menyampaikan bahwa isu besar yang dimaksud yaitu hak jangka panjang Freeport-McMoran pada Freeport Indonesia hingga 2041 mendatang.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara juga angkat bicara. Ia menilai agaknya terlalu dini mengklaim kesuksesan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) atas divestasi Freeport Indonesia. Bahkan, menurut dia, kesepakatan awal tak membuat posisi RI diuntungkan.
Masih menurut Marwan, dapat dibilang tak ada progres dalam kesepakatan tersebut. Malah kita perlu berhati-hati masuk perangkap. Sebab bicara kesepakatan harusnya menguntungkan kedua belah pihak. Tapi tidak bagi Indonesia, sebaliknya Freeport mendapat jaminan lewat kesepakatan awal ini.
Jaminan yang dimaksud, yakni terkait izin ekspor konsentrat sampai 31 Juli 2018 melalui perpanjangan IUPK Sementara, jaminan perpanjangan kontrak sampai 2041 mendatang, jaminan bayaran US$3,85 miliar atas transaksi divestasi Freeport Indonesia, dan jaminan stabilitas fiskal.
Sementara di pihak Indonesia, tidak ada jaminan smelter (fasilitas pengolahan hasil tambang), tidak ada jaminan pemerintah sebagai pengendali operator tambang Grasberg, dan tidak ada jaminan ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas penambangan.
Drama panjang Freeport tak terlepas dari sistem kapitalisme neoliberalisme yang menaunginya. Sistem kapitalisme meniscayakan berbagai cara untuk individu/perusahaan menguasai/mengelola SDA suatu negeri. Salah satunya dengan investasi yang berbuah kerjasama ataupun kontrak kerja. Maka dibutuh solusi sistemik untuk mengurai akar masalah Freeport.
Islam sebagai akidah dimana di atasnya memancar seperangkat aturan paripurna (syariat) yang berasal dari Al-Khaliq Al-Mudabbir, jelas memiliki solusi khas untuk menyelesaikan masalah Freeport.
Dalam pandangan Islam, freeport termasuk dalam kategori harta milik umat. Maka negara akan dengan tegas melarang baik individu maupun perusahaan asing untuk menguasainya. Apalah lagi dengan perjanjian kontrak kerja yang merugikan negara dan rakyat.
Dengan demikian, tambang emas Freeport sejatinya adalah kepemilikan umum yang harus dikelola negara. Dimana negara wajib bertanggung jawab sebaik-baiknya mengelola. Sebab hasil keuntungannya diperuntukkan semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Di sinilah urgensi menerapkan Islam secara kaffah. Pengelolaan SDA terutama tambang mineral dan migas, difungsikan sebagai sarana pemimpin (khalifah) untuk mengurusi semua kebutuhan hidup semua manusia dalam wilayah kekuasaannya. Sebagai kesadaran akan kewajiban seorang pemimpin.
Maka terang hanya Islam yang bisa mendekap Freeport kembali ke pangkuan umat. Bukan dengan kapitalisme yang penuh kecurangan dan kepalsuan tanpa batas.
Wallahu’alam bishshawwab.