Games Online, Merusak Generasi

Oleh : Nur Amal

(Pengajar SDIT Cahaya Fikri Bontang)


Kini hampir semua kegiatan atau aktivitas kita sudah bisa dilakukan dengan teknologi digital. Namun meski banyak memudahkan, serbuan teknologi digital dinilai dapat pula berdampak negatif pada kegiatan keseharian kita. Menurut pakar pemasaran sekaligus penulis buku Yuswohady, banyak kegiatan yang bakal "dibunuh" oleh gangguan digital (digital disruption).

Berbicara tentang Teknologi Digital, tidak ketinggalan tentang permainan game online yang saat ini sedang naik daun untuk dibincangkan, pasalnya permainan ini mulai masuk dalam daftar olahraga yang akan dipertandingkan. Bagi Joddy, tingkatan investasi perusahaan lokal pada industri game sangat rendah. Hal ini yang menjadi alasan utama pengembang game lokal tidak berkembang. Ditambah dengan kurangnya SDM yang tumbuh dan dukungan dari korporasi sebesar mereka. Alasan kuat juga datang dari Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi berpendapat e-sport harus mulai masuk ke kurikulum pendidikan untuk mengakomodasi bakat-bakat muda.


"Kurikulum harus masuk di sana, pelatihnya harus masuk di sana. Kalau sudah seperti itu, tentu harus bekerja sama, harus kolaborasi," kata Imam saat ditemui pewarta di Sekretariat Kabinet, Jakarta, Senin (28/1/2019). Selain itu, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menyebut sudah menganggarkan Rp 50 miliar untuk menggelar kompetisi-kompetisi di level sekolah. 

Hal ini jika dicermati menunjukkan bahwa pemerintahan era saat ini kembali membuka kran liberalisasi di bidang industri games. Mengapa demikian? Karena Riset dari Statista menunjukan pendapatan di sektor eSports telah berkembang hingga mencapai empat kali lipat dibandingkan sejak tahun 2012. Hingga tahun 2017 pendapatan di sektor eSports mampu mencapai US$ 493 juta. Riset tersebut memperkirakan kancah kompetisi video game di tingkat profesional akan mampu menarik revenue hingga US$ 1,6 milliar. Secara keseluruhan, kawasan Asia Pasifik menjadi kawasan terdepan dalam memanfaatkan ceruk pendapatan dari sektor video game dan eSports. Hingga tahun 2017, benua Asia terhitung menyumbang sekitar sepertiga dari total pendapatan di sektor eSports secara global di angka US$ 406 juta, mengalahkan kawasan-kawasan lainnya.

Melirik dunia internasional memasuki tahun 2000an, perkembangan elektronik Sport/olahraga elektronik menjadi semakin pesat. Salah satu negara yang terbilang sangat menerima budaya ini adalah Korea Selatan.

Sampai akhirnya kini menjadi eSport seperti yang saat ini kita lihat. Kompetisi Dota 2 dengan hadiah berjuta-juta dollar Amerika, kompetisi League of Legends yang dikelola dengan amat profesional sehingga terlihat seperti olahraga betulan, sampai bermacam game seakan tak mau kalah ingin turut terjun menjadi bagian dari budaya eSport tersebut.

Dampak Buruk Games Online

Industri dan komunitas video game di Korea Selatan, terutama e-sport, merupakan salah satu yang terbesar di Asia, bahkan dunia. Walaupun memiliki industri yang lebih matang dan prestasi yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, ternyata pemerintah Korea Selatan merasa perlu “memerangi” penyebaran video game di negaranya. Salah satu upaya tersebut adalah menyediakan polisi di setiap warnet untuk berjaga malam melakukan patroli bagi warnet yang melanggar jam buka malam diluar waktu yang sudah ditetapkan. Faktanya di Korea Selatan, misalnya, seorang pemuda meregang nyawa di kafe internet setelah bermain selama 50 jam tanpa henti.

Nampaknya dampak negatif yang terjadi di kancah dunia akibat industri games, belum cukup kuat menjadi bahan pertimbangan oleh Indonesia untuk meninggalkannya. Sebaliknya Indonesia justru termotivasi untuk menjadikan industri games sebagai salah satu sumber penghasilan. Lagi-lagi bau busuk sistem kapitalisme-sekularisme untuk meraih materi sebanyak-banyaknya mulai tercium. Data terbaru, pada 2017, menurut lembaga riset pemasaran asal Amsterdam, Newzoo, ada 43,7 juta gamer (56% di antaranya laki-laki) di negeri ini, yang membelanjakan total US$ 880 juta. Jumlah pemain game Indonesia terbanyak di Asia Tenggara, yang bermain game di telepon pintar, personal computer dan laptop, serta konsul.

Padahal pada 18 Juni 2018, WHO menerbitkan dokumen ICD-11, yang merupakan revisi dari dokumen sebelumnya, ICD-10 terbitan pada 1990. Dokumen ini digunakan oleh para tenaga kesehatan untuk mengkategorisasi berbagai penyakit dan kondisi kesehatan, dari melahirkan seorang bayi (JB20 Single spontaneous delivery), sakit flu (1E32 Influenza, virus not identified), hingga kecanduan game online (6C51 Gaming disorder).

Kasus yang terjadi pada remaja di Indonesia. Mereka tewas karena kecanduan. Kasus lain apa yang dialami seorang anak berinisial L lebih parah. Siswa kelas 3 SMA Bekasi, Jawa Barat itu menghabiskan waktu 12 jam sehari untuk bermain games online. Dampaknya terjadi perubahan perilaku yang melampiaskan emosinya. Kadang berteriak keras. Tak jarang, ia nampak gelisah berlebih.

Kecanduan game juga memicu tindakan kriminal. Pernah dilaporkan ada kasus tujuh remaja yang mencuri uang, rokok, dan tabung gas di toko untuk membayar sewa alat game online dan dua remaja merampok penjual nasi goreng untuk mendapatkan uang yang dipakai main game online.

Tindakan kriminal ini tidak hanya dilakukan oleh remaja, tapi juga oleh orang dewasa di Indonesia. Perilaku seperti ini mirip dengan perilaku pecandu narkoba yang seringkali mencuri uang keluarganya untuk membiayai kebiasaannya menggunakan narkoba.

Dengan prakiraan prevalensi 6,1% pemain game mengalami kecanduan, maka dapat diperkirakan bahwa saat ini terdapat 2,7 juta pemain game yang mungkin kecanduan. 

Meluruskan Arah Pendidikan Nasional

Fakta lain yang perlu diketahui, bahwa pertumbuhan industri game di Indonesia itu mencapai angka 40%. Tapi, perusahaan dalam negeri yang khusus fokus pada online game hanya memakan 19% dari total porsi kue. Parahnya lagi, judul-judul game lokal hanya 0,4% dari total judul game yang beredar.

Terlalu fokus mengejar nilai rupiah yang konon katanya meningkatkan perekonomian dalam negeri, liberalisasi games online nyatanya menyumbang seabrek dampat negatif. dimana para gamers yang kecanduan lebih membutuhkan biaya besar dalam menyembuhkannya dan perusakan generasi dimasa yang akan datang.

Negara harus mengubah haluannya, dari sekedar memburu materi kepada Syariat Islam yang menjanjikan keselamatan dan kejayaan. Potensi yang dimiliki oleh negara harusnya digunakan untuk menangkis efek buruk kemajuan teknologi digital. Menjadikan games online sebagai industri kekinian tak ada bedanya dengan industri miras, narkoba, prostitusi online yang berbuah kerusakan.

Belum lagi ketika game dijadikan sebagai industri dan difasilitasi oleh negara. Hal ini akan membuat beban orang tua dalam mendidik anak menjadi semakin bertambah berat. Negara yang seharusnya menciptakan suasana kondusif bagi pendidikan justru sebaliknya, malah menciptakan suasana pendidikan yang akan ternodai dengan semakin pesatnya industri game.

Industri game yang semakin pesat hanya akan membuat generasi menjadi malas dan tumbuh menjadi generasi lemah karena terlena dengan kesenangan dunia yang bersifat semu.

Bagi orang yang senantiasa menyandarkah hidupnya pada syariat Islam, akan memandang bahwa game (permainan) hanyalah merupakan suatu selingan penghilang penat, sehingga tidak boleh sampai melalaikan bahkan melanggar syariat Islam. Jangan sampai waktu dan tenaga hanya dihabiskan untuk bermain game sehingga melupakan kewajiban sebagai hamba. Apalagi ketika permainan yang dilakukan merusak tubuh dan mengandung konten yang tidak baik. Maka tidak pantas ketika menjadikan permainan sebagai ladang bisnis (industri), karena sejatinya permainan hanyalah selingan untuk melepaskan penat.

Sudah saatnya mengaplikaskan nilai - nilai Islam dalam kehidupan bernegara. Generasi Islam harus menjadi subyek perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Tentu upaya ini tidak akan terwujud tanpa dukungan sistem yang kompeten. Sistem itu adalah Sistem Khilafah Islamiyah yang akan menjamin keberkahan hidup bangsa Indonesia.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak