Oleh : Alin FM
Penulis & Praktisi Multimedia
Rencana pemindahan ibu kota kembali digaungkan oleh pemerintah. Setelah sekian lama menjadi wacana. Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin agar ibu kota negara dipindahkan di luar Pulau Jawa. Presiden menilai kondisi di Pulau Jawa kurang tepat untuk dijadikan ibu kota negara.
Presiden Jokowi mengelar rapat dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro membahas ibu kota baru di Istana Kepresidenan tanggal 29 April lalu. Presiden memastikan Ibu Kota Jakarta akan pindah ke luar Pulau Jawa. Kepastian itu diputuskan usai rapat pembahasan ibu kota baru. Lebih lanjut ia mengatakan keputusan ini didasari oleh berbagai pertimbangan yang sudah dikaji oleh kementeriannya.
Pertama, ibu kota baru harus memiliki lokasi strategis secara geografis, yaitu berada di tengah wilayah Indonesia.
Kedua, luas lahan daerah yang akan menjadi calon ibu kota mencukupi, baik lahan tersebut milik pemerintah maupun milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketiga, wilayah harus bebas bencana alam atau setidaknya paling minim risiko, serta tersedia sumber daya air yang cukup dan bebas dari pencemaran lingkungan.
Keempat, untuk meminimalisir kebutuhan pembangunan infrastruktur baru, pemerintah ingin ibu kota baru berada di kota yang sudah cukup berkembang.
Kelima, dekat dengan pantai. Menurutnya, hal ini harus ada karena identitas Indonesia merupakan Negara Maritim, sehingga sebaiknya ibu kota lokasinya tidak jauh dari pantai tapi tidak harus di tepi pantai itu sendiri.
Keenam, ada akses dan layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jaringan komunikasi yang memadai.
Ketujuh, memiliki risiko konflik sosial yang minim dan masyarakatnya memiliki budaya terbuka terhadap pendatang. Dan terakhir, tidak dekat dengan perbatasan dengan negara tetangga.
Dengan berbagai pertimbangan yang dikemukanan, sudah hampir dipastikan jika Ibu kota baru yang akan dipilih oleh Presiden Jokowi ada di Pulau Kalimantan. Ditambah lagi, dengan menggunakan data jumlah penduduk nasional, saat ini Pulau Jawa populasinya mencapai 57 persen dari total populasi di Indonesia. Sedangkan jumlah penduduk di Pulau Sumatera tembus 21 persen. Sementara itu, jumlah penduduk di Pulau Kalimantan cuma sekitar 6 persen, Sulawesi 7 persen, dan Maluku serta Papua hanya tiga persen. "Di Kalimantan 6 persen, nah ini masih 6 persen, baru 6 persen. Pertanyaannya, apakah di Jawa mau ditambah? Sudah 57 persen. Ada yang 6 persen, 7 persen, dan 3 persen," ujar Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (29/4).Kompasiana,30/05/2019)
Seperti diketahui, selang 3 hari sebelumnya terjadi 23 Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China, setelah pembukaan KTT Belt and Forum Kedua di Beijing China, Jumat (26/4/2019). MoU sudah ditanda-tangani dan pastinya langkah selanjutnya proyek kerja sama Indonesia dan China One Belt One Road (OBOR) siap dilaksanakan.
OBOR merupakan proyek pemerintah China untuk membangun kejayaannya melalui upaya penyambungan urat nadi perdagangan dunia. Sebuah proyek membangun mega-infrastruktur dalam rangka memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade barriers), guna mengurangi biaya perdagangan dan investasi.
Luhut menegaskan bahwa nilai tersebut bukanlah hutang yang harus ditanggung pemerintah. Karena itu, Luhut mengatakan pihaknya akan berusaha maksimal untuk mempermudah perizinan kepada pengusaha Cina yang berminat menanamkan modal di Indonesia. Dari 23 proyek yang diteken, nilai investasi dari 14 MoU bernilai total US$14,2 miliar. Sementara itu, total proyek yang ditawarkan berjumlah 28 dengan nilai mencapai US$91 miliar, atau lebih dari Rp 1.288 triliun.(kompasiana, 30/05/2019)
Dari 28 proyek yang ditawarkan kepada investor China ini, lebih dari 50%-nya berada di Kalimantan. 13 proyek diantaranya ada di provinsi Kalimantan Utara. Kebetulan ini tampak terlalu klop dengan rencana Presiden yang tiba-tiba memastikan Ibu Kota Indonesia akan dipindah. Jika Presiden mengumumkan Ibu Kota baru Indonesia akan menempati wilayah di provinsi ini, maka jelas sudah pemindahan ibu kota ini demi proyek Obor China. Sementara apabila wilayah di Kalimantan Utara tidak dipilih sebagai ibu kota baru (ada alasan relatif dekat dengan perbatasan negara), maka bisa jadi untuk mempersiapkan infrastruktur wilayah di sekitarnya.
Selain itu, proyek Pelabuhan Kuala Tanjung, yang masuk jalur maritim dalam rencana OBOR, juga telah resmi menjadi bagian dari proyek Jalur Sutra China. Dalam pertemuan Global Maritime Fulcrum Belt And Road Initiatives (GMF --BRI), China sudah menyiapkan rancangan Framework Agreement untuk bekerja sama di Kuala Tanjung, Sumatera Utara (Sumut) sebagai proyek tahap pertama. Selanjutnya, ada beberapa tahap proyek kerja sama lain yang telah disepakati seperti Kawasan Industri Sei Mangkei dan kerja sama strategis pada Bandara Internasional Kualanamu untuk tahap kedua.
Dilansir Antaranews.com, Pemerintah Indonesia sendiri memproyeksikan 30 proyek Obor tersebut. Nilai investasi diperkirakan mencapai 91,1 miliar dolar AS. Ini berarti masih terdapat tujuh proyek yang belum disepakati. Salah satunya adalah kerja sama peremajaan kembali (replanting) tanaman kelapa sawit. Luhut berjanji untuk mempermudah proses perizinan bagi para pengusaha Cina yang ingin turut berpartisipasi dalam proyek-proyek BRI di Indonesia.
Pemerintah seharusnya melihat risiko gagal bayar proyek-proyek yang diinisiasi OBOR ini. Lihatlah Sri Lanka, setelah tidak mampu membayar utang, akhirnya Pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. Jika Ibu Kota baru negeri ini dibangun dengan menggunakan dana dari OBOR, ketika tidak mampu melunasi utang maka Ibu Kota Indonesia akan menjadi milik China? Apa yang akan terjadi China menguasai aset ibu kota sebuah negara? Apa yang dilakukannya China dengan aset-aset tersebut? Apakah hanya memuluskan jalur perdagangannya???
Sesungguhnya penandatangan Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China merupakan Penanaman investor China merupakan bagian tak terpisahkan dari konspirasi untuk menguras kekayaan strategis Indonesia. Masuknya investor China bukan lahir dari krisis ekonomi di negeri ini dan bukan pula solusi permasalahan yang melanda perekonomian Indonesia. Dan tidak bersandar kepada pandangan Islam untuk menyelesaikan sebuah permasalan. Begitu Juga dengan pemindahan Ibukota negara bukan cara menyelesaikan beban Jakarta yang semakin berat dan ruwet. Apalagi jika ingin mengubah perekonomian kita.
Sebaliknya ini adalah "cara cantik" China yang dimulai dengan Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China dan memuluskan proyek obor di Indonesia. Selanjutnya menggiring pemerintah untuk memindahkan Ibu kota dengan estimasi jumlah anggaran mencapai 466 triliun rupiah. Rencana Ini merupakan salah satu cara China untuk membuka lahan bisnis internasional bagi perusahaan-perusahaan multinasionalnya di Indonesia dan untuk mendominasi kekayaan Indonesia. Maka terbukalah jalur perdagangan internasional China, sehingga harus segera direalisasikan. China menjanjikan kemajuan megainfrastuktur dan mulai berupaya menghidupkan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China yang memudahkannya membuka lahan bisnis internasional bagi para investor China di Indonesia serta menghilangkan batas-batas/penghalang hambatan tarif dagang yang ditetapkan negara untuk produk China. Dalam waktu yang bersamaan China tidak lupa membuat perjanjian untuk mendapatkan data agar bisa menguasai pasar-pasar di Indonesia serta memonopolinya, dan menggunakan tenaga kerja baik tenaga ahli maupun kasar. Besar kemungkinan pengangguran di Indonesia semakin meningkat
Inilah hakekat dibalik Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China dan rencana pemindahan Ibukota Negara. Apa yang sudah dirumuskan dan ditandatangani adalah pemberian jaminan dan kemudahan bagi investor dan investasi asing China yang merupakan bentuk ketundukan dan jawaban pemerintah terhadap China.
Para penguasa dan kroninya telah menggambarkan bahwa rencana pemindahan Ibukota dan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China, merupakan kepentingan politis dalam jalur sutra China. Visi pemerintah dalam pengembangan pasar sekaligus solusi tepat bagi pembukaan lapangan kerja untuk buruh yang menganggur hanya diatas kertas. Sayang hasilnya ternyata bertolak belakang, karena tujuan di balik pemindahan Ibukota sama sekali tidak ada kaitannya dengan beban jakarta yang tidak ideal lagi atau penyelesaian problema (ekonomi) Indonesia dan tidak mencapai kepentingan rakyat. Sebaliknya justru hanya menancapkan dominasi China atas pasar dan kekayaan strategis Indonesia.
Inilah realitas konspirasi itu. Secara ringkas cengkeraman China terhadap kekayaan milik umat dan penguasaan aset jika gagal bayar di negeri ini hanya menghasilkan dominasi politis China, terutama jika China menancapkan dominasi militernya (di wilayah selat malaka). Dengan demikian tidak boleh (kaum muslimin) membuka celah orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Sebab hal ini menyebabkan makin kuatnya cengkeraman atas kaum muslimin. Padahal semua perkara yang menyebabkan adanya cengkeraman dominasi kafir terhadap kaum muslimin haram secara syar’i, berdasarkan firman Allah SWT:
“…… dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir (untuk mengalahkan) orang-orang yang beriman.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 141).
Baik itu dilakukan oleh penguasa dengan menempatkan bangsa kafir di tengah-tengah kaum muslimin melalui kekuatan ekonomi dan kerjasama untuk membangun megainfrastuktur Ibukota yang baru, atau mendukung penguasa yang membenarkan tindakan itu dengan cara membuat undang-undang (melalui Parlemen) yang menempatkan posisi kaum kafir di tengah-tengah kaum muslimin dengan dalih demokrasi dan suara mayoritas. Demikian pula diharamkan atas muslim manapun membantu mereka mencapai keinginannya dengan propaganda atau menyuarakan perkara itu, baik melalui lisan, tulisan, ataupun tindakan. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang pelindungpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Qs. Huud [11]: 113).
Demikian pula sabda Rasulullah Saw dalam riwayat Imam Ahmad dari Khabab bin al Arts yang menyatakan:
“Saya duduk di depan pintu Rasulullah menunggu beliau keluar untuk menunaikan sholat dhuhur. Ketika beliau keluar menemui kami, seraya bersabda: ‘Dengarkanlah!’ Kamipun menjawab: ‘Kami mendengar’ Beliau bersabda lagi: “Sungguh akan ada para penguasa yang menguasai kalian, maka janganlah kalian menolong mereka dalam kedzaliman mereka, dan janganlah membenarkan kedustaan mereka, sebab barang siapa menolong mereka dalam kedzaliman mereka dan membenarkan kedustaan mereka niscaya ia tidak akan pernah masuk telaga al-haudl (di surga).’”
Sesungguhnya pembukaan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China dan pemindahan Ibukota sangat berlainan dengan perdagangan timbal-balik, yang dilakukan antar berbagai negara dalam ekspor-impor barang maupun jasa. Perkara ini (ekspor/impor) tidak menyebabkan dominasi tertentu selama mengikuti hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengannya. Adapun investasi asing haram secara syar’i dilihat dari segi cengkeraman dominasi politis dan ekonomis terhadap negeri-negeri dan harta kekayaan kaum muslimin. Jika dipahami bahwa krisis ekonomi di negeri ini penyebabnya bukanlah kekurangan modal. Tapi penyebab problematika ekonomi itu tidak lain adalah sistem liberalisasi ekonomi kapitalis yang diterapkan pada negeri ini dan kelemahan sistem Demokrasi-Kapitalis dalam menyelesaikan persoalan ekonomi. Kelemahan sistem ekonomi Kapitalis itulah yang menjadi penyabab sebenarnya. Ini dilihat dari satu sisi. Dari sisi lain, penguasa memang sengaja menciptakan krisis-krisis ekonomi dengan mengikuti politik ekonomi bebas untuk mempersiapkan hidangan bagi masuknya kaum kafir dan dominasinya atas kaum muslimin agar kita hanya memiliki satu pilihan, yaitu menerima apa saja pemecahan yang disodorkan orang kafir atau tetap berada dalam krisis ekonomi buatan selamanya.
Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan kepada kita untuk menghukumi dengan apa yang diturunkanNya saja dengan jalan menegakkan Khilafah Rasyidah, menyatukan seluruh negeri-negeri kaum muslimin di bawah Naungan Khalifah yang satu serta menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Pada waktu kita berhasil mencapai hal itu, maka sungguh seluruh problematika kaum muslimin, baik politik, ekonomi, maupun sosial akan dapat memperoleh pemecahan yang luhur. Dan akan dijumpai ditengah-tengah umat kelapangan ekonomi, ketentraman, dan keamanan. Oleh karena itu sambutlah seruan Allah.
wahai kaum muslimin.
“Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyeru kamu untuk sesuatu yang memberi kehidupan.” (Qs. al-Anfaal [8]: 24).
Wallahu'allam Bishoab