Demokrasi Menyuburkan Politik Uang

Oleh: Ummu Zayta 


Seorang tokoh parpol yang terkenal lurus, cerdas, dan idealis, pada akhirnya mencak-mencak karena gagal meraih kursi di Senayan. Dia dikalahkan oleh juniornya sendiri, seorang anak kemarin sore yang bahkan turun kampanye pun sangat jarang. Efektivitas kampanye caleg berbasis pendidikan politik ternyata loyo menghadapi kekuatan uang. (DetikNews.com)

Dalam kesempatan wawancara dengan program AIMAN Kompas TV, Profesor Hamdi Muluk mengungkapkan, hanya dengan politik uang seorang caleg bisa menembus kontestasi dan menjadi pemenang. (Kompas.com 15/4/'19)

Bagaimana tidak dari banyaknya jumlah caleg tentu tidak akan semua bisa dikenal oleh masyarakat, sehingga cara membagi bagikan "sesuatu" cukup efektif menarik simpati masyarakat.

Belum lagi pernyataan dari pengamat politik pemerintahan DPP UGM, Dr. Mada Sukmadjati, menurutnya praktik jual beli suara tidak mengenal gender dan usia. Namun, sangat berpengaruh kelas sosial yakni pendidikan dan pendapatan pemilih. Tingkat pendidikan menjadi variabel penentu. Pemilih tidak sekolah dan hanya tamatan pendidikan dasar atau menengah cenderung menerima uang atau barang dari kandidat. Sementara yang berpendidikan tinggi akan diiming-imingi berbagai fasilitas yang mereka butuhkan. (www.ugm.ac.id 15/4/'19)

Maka tidak heran jika calon legislatif atau calon eksekutif adalah orang kaya yang memiliki pundi pundi rupiah yang tebal. Padahal politik uang yang lahir dari sistem demokrasi yang bobrok, hanya memikirkan bagaimana caranya balik modal, terlihat ketika caleg atau capres terpilih maka ia menghitung berapa uang yang sudah dikeluarkan dan bagaimana cara mengembalikannya. Tak heran bila jabatan adalah untuk mengejar setoran, sikat kanan-kiri, menerima suap dari mana saja, dengan tujuan agar uang yang sudah dikeluarkan bisa kembali.

Akhirnya,menciptakan kualitas pemimpin dan wakil rakyat yang rendah. Kebijakan atau undang-undang yang seharusnya memikirkan aspirasi masyarakat kini hanya memikirkan siapa pemodalnya, dan mengikuti kemauan penguasa yang dapat memberikan manfaat sekalipun itu harus menyakiti rakyat. 

Politik uang juga dapat memberi peluang untuk melakukan kecurangan bersama. Tanpa sadar bahwa dengan cara ini telah mengajarkan tradisi rusak pada rakyat bahwa kecurangan adalah hal biasa.

Hal ini dikarenakan Politik uang adalah politik yang lahir dari sistem demokrasi yang bobrok, rusak. Demokrasi yang dianut negeri ini adalah sebuah sistem yang menjunjung tinggi nilai kebebasan,permainan politik uang untuk meraih kekuasaan adalah biasa, meskipun telah dibentuk banyak lembaga yang berfungsi memberantas masalah kecurangan, nyatanya tidak mampu menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas. Tentunya hal ini juga melanggar Konstitusi dan Pancasila yang selalu dijunjung tinggi di negeri ini. 

Berbeda dengan politik dalam Islam, yang mana dibangun berdasarkan sikap takwa. Kekuasaan digunakan untuk mengurusi urusan umat berlandaskan pada syariat Allah. Maka sikap takwa penguasa sangat menentukan. Hakikat politik Islam adalah Poltik takwa. Jabatan atau kekuasaan amanah dari Allah, harus diatur berdasarkan hukum Allah. Pada akhirnya harus dipertanggung jawabkan kepada Allah. 

Maka sudah seharusnya umat percaya, bahwa sistem Islam menjadi alternatif yang akan mengeluarkan mereka dari kebobrokan yang ada. Sejatinya umat bersama ikut memperjuangkan tegaknya aturan Allah dalam bingkai Kekhilafahan Islamiyah. Karena Islam bukan hanya sekedar agama melainkan ideologi yang mengatur semua aspek kehidupan. 


Wallahu’alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak