Oleh : Lestia Ningsih S.Pd
(Aktivis Deli Serdang )
(Aktivis Deli Serdang )
Memanasnya pilpres 2019 dengan persaingan petahana
01 dan 02 untuk menduduki bangku kekuasaan kepala negara ditentukan oleh
perhitungan hasil pilihan rakyat melalui pemilu yang dilakukan pada 17 April
lalu. Perhitungan real count dan juga quick count juga dilakukan untuk merekap suara yang
telah terhitung dari seluruh indonesia.
Seperti deja vu
kejadian yang terulang kembali dengan pesaing yang sama yaitu joko widodo dan
rivalnya prabowo subianto, selain itu terulang kembali kejadian yang pernah
terjadi di 2014 yaitu kedua paslon mengumumkan dan menyiarkan kemenangannya. Jokowi
melalui perantara ketua Partai PDI perjuangan ibu Megawati dikediamannya di Kebagusan, Jakarta Selatan menyampaikan melalui pers bahwa Jokowi menang baik real count maupun
quick count. Sedangkan dihari
yang sama di kediaman Prabowo di Kebayoran,
Jakarta Selatan diliputi rasa haru kala itu
dikarenakan usai menyaksikan hasil quick count versi pollstel yang menunjukkan hasil lebih tinggi dari
rivalnya, spontan sujud syukur di lantai rumahnya. Namun pada akhirnya pilpres 2014 dimenangkan oleh pasangan Jokowi - JK.
Kini, kejadian
itu terulang kembali pada pilpres 2019,
Prabowo mengklaim kemenangannya dengan hasil real count mencapai sekitar 40
persen dari total seluruh TPS di Indonesia. Usai menyampaikan keterangan
tersebut, Prabowopun langsung sujud syukur. Hal yang sama pada petahana 01 Jokowi yang juga mengakui kemenangannya
atas Prabowo versi Quick count yang tidak akan berubah lagi.
Meninggalkan kebingungan dan ketidakjelasan pada
rakyat dari kedua paslon, ditambah lagi dengan kondisi pilpres yang semakin
carut marut. Kecurangan-kecurangan yang terus terjadi dengan bukti kertas
pemilihan yang sudah tercoblos dan ketidak jujuran panitia penyelenggara pemilu
baik di daerah maupun pusat. Penyogokkan dan serangan fajar yang terjadi justru
semakin terang-terangan.
Siapapun pemenangnya bukanlah hasil murni dari suara
rakyat, sebab kemenangan
tergantung pada pemodal dibelakangnya. Yang terpenting adalah paslon mana yang
mau dijadikan boneka bagi capital maka kemenangan akan mudah didapat karena suara
pemilihan bisa diotak-atik dan dicurangi.
Beginilah sistem Demokrasi-kapitalis, kecurangan
adalah hal biasa yang terjadi. Dan keuntungan dari pilpres ini bukanlah untuk
kepentingan rakyat melainkan kepentingan para kapital. Fokus masalahnya memang
bukan pada individu atau siapun calon presidennya, ibarat sebuah pertarungan
maka ini adalah pertarungan antara kapitalis vs kapitalis yang pasti pemenangnya
tetap kapitalis.
Siapa yang mau menerapkan sistem buatan mereka maka ialah pemenangny. Maka tidaklah heran jika nanti
kebijakkannya hanya akan menghasilkan kesejahteraan pada para kapital bukan
rakyat.
Tiga ideologi yang sudah diterapkan di dunia ini, telah membuktikan hasilnya. Kapitalis
sudah membuktikan kebusukkannya, begitu juga sosialis-komunis yang mati karena
sistemnya sendiri. Namun beda halnya dengan ideologi Islam yang pernah mensejahterakan selama
13 abad lebih di 2/3 dunia yang runtuh bukan karena rusaknya system yang diterapkan, namun dari para
pengembannya melalui susupan Barat
di dalamnya. Sebagaimana yang menciptakan sistem ini yaitu Allah SWT yang Maha Sempurna, ideologi sempurna
ini melahirkan seorang khalifah (pemimpin) yang takut hanya kepada Allah semata
yang menjadikan pengurusan rakyat dan tugas negara adalah sebuah amanah yang akan Allah mintai
pertanggung jawabannya.
Maka solusi yang diperlukan Indonesia agar lepas dari kesulitan hidup yang
semakin mencekik ini
adalah mengganti sistem Demokrasi-kapitalis yang telah nyata kerusakannya ini dengan sistem yang jelas telah terbukti mensejahterakan
rakyatnya selama berabad – abad, bukan dengan mengganti orang atau pemimpin
negaranya.