Oleh: Hasmi Kasim
Aku rindu hidup dalam naungan syariah islam. Aku rindu sosok Sa'ad bin Mu'adz seorang militer dalam pandangan Islam.
Walaupun aku belum pernah merasakan
Aku rindu pada sosok kholifah
Yang dengannya akan menjadi pembebas negri kaum muslimin
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, rakyat akan berperang di belakangnya serta berlindung dengannya. Apabila ia memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta bertindak adil, maka ia akan mendapat pahala. Tetapi jika ia memerintahkan dengan selain itu, maka ia akan mendapat akibat buruk hasil perbuatannya.” [Hadis Riwayat Muslim, 9/376, no. 3428]
Imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) menjelaskan:
أي كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين ويمنع الناس بعضهم من بعض ويحمي بيضة الإسلام ويتقيه الناس ويخافون سطوته ومعنى يقاتل من ورائه أي يقاتل معه الكفار والبغاة والخوارج وسائر أهل الفساد والظلم مطلقا
“Maksud menjadi perisai di sini adalah sebagai tabir yang menghalang musuh dari mengganggu umat Islam, juga menjaga perhubungan (perpaduan) dalam kalangan masyarakat, menjaga kehormatan Islam, menjadi yang ditakuti (dihormati) rakyatnya, dan mereka berlindung kepadanya. Berperang di belakangnya pula, maksudnya adalah berperang bersama pemimpin melawan orang-orang kafir, pembangkang (atau pemberontak), kaum khawarij, setiap orang yang melakukan kerosakan (ahli fasad), dan mereka yang melakukan kezaliman secara umum.” [Syarah Shahih Muslim, 12/230]
Rinduku mengalahkan semuanya
Cinta yang terus menumpuk membuatku mengabarkan apa yang ku rasa, walaupun di hadang oleh zaman penuh fitnah cinta dan rindu tak terkalahkan atas kewajiban ku berjihad untuk membela Agama Allah atas tegaknya Khilafah Rosida
Allah SWT mewajibkan seluruh kaum Muslim untuk berjihad. Mereka semua masuk dalam firman Allah SWT:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ
Diwajibkan atas kalian berperang (QS al-Baqarah [2]: 216).
Namun demikian, apakah seluruh kaum Muslim wajib semuanya pergi ke medan tempur, meninggalkan kota dan desa mereka, dengan meninggalkan semua aktivitas sehari-hari yang selama ini telah menjadi rutinitasnya?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyru’ Dustur) Negara Islam pasal 63, yang berbunyi: “Militer terdiri atas dua bagian: Pertama, pasukan cadangan yang terdiri atas seluruh kaum Muslim yang mampu memanggul senjata. Kedua, pasukan reguler yang memperoleh gaji dan masuk anggaran belanja sebagaimana para pegawai negeri lainnya.” (Hizbut Tahrir, Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilafah, hlm. 18).
Klasifikasi Militer
Militer dalam Negara Islam diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama: Pasukan reguler yang memperoleh gaji dari anggaran belanja sebagaimana para pegawai negeri lainnya. Kedua: pasukan cadangan yang terdiri atas seluruh kaum Muslim yang mampu memanggul senjata (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 210; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 88; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 152).
Dr. Muhammad Khair Haikal mendefinisikan pasukan reguler (al-jaysy an-nizhami) adalah pasukan yang siap siaga dan mendedikasikan diri untuk berperang. Dengan itu kewajiban kifayah menjadi tertutupi secara permanen. Adapun pasukan cadangan (al-jaisy al-ihtiyathi) adalah seluruh kaum Muslim yang dibebani kewajiban jihad; mereka siap dilibatkan dalam perang ketika dibutuhkan atau kaum Muslim yang menjadi rakyat sipil—dalam istilah sekarang (Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah asy-Syar’iyah, hlm. 987, 1003).
Dalil terkait klasifikasi ini adalah dalil kewajiban jihad. Sebabnya, setiap Muslim wajib berjihad dan wajib berlatih dalam rangka jihad. Karena itu kaum Muslim seluruhnya merupakan pasukan cadangan karena jihad wajib atas mereka. Adapun adanya sebagian mereka yang menjadi anggota pasukan reguler, dalilnya adalah kaidah syariah:
مَالاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّبِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu yang lain maka sesuatu itu menjadi wajib.
Pasalnya, kewajiban jihad—sesuai realitas perang saat ini—tidak bisa sempurna dilaksanakan secara terus-menerus. Begitu halnya dengan kewajiban menjaga wilayah Islam dan melindungi kaum Muslim dari kehancuran akibat serangan kaum kafir, kecuali dengan adanya militer dengan pasukan tetap (pasukan reguler). Dengan demikian Imam (Khalifah) wajib merealisasikan adanya militer dengan pasukan tetap atau regular (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 210; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 88; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 153).
Mendapatkan Gaji
Masalah gaji yang telah ditetapkan bagi para prajurit sebagaimana para pegawai negeri lainnya merupakan perkara yang sudah jelas jika dinisbatkan pada non-Muslim. Sebab, non-Muslim dalam Negara Islam tidak diperintahkan berjihad bersama dengan kaum Muslim melawan dan memerangi kaum kafir. Namun, jika mereka melakukan jihad, maka mereka diterima dan boleh diberi harta (gaji). Hal didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari az-Zuhri:
أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْهَمَ لِقَوْمٍ مِنَ الْيَهُودِ قَاتَلُوا مَعَهُ
Sesungguhnya Nabi saw. memberikan bagian harta rampasan perang kepada orang Yahudi yang ikut berperang bersama beliau (HR at-Tirmidzi).
Meski hadis ini termasuk di antara hadis mursal dari az-Zuhri. Namun, Ibnu Qudamah menjadikan hadis ini sebagai dalil—terkait masalah ini—dalam kitabnya Al-Mughni (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 211).
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, dan Ibn Hisyam dalam kitab Sirah-nya juga menggunakan hadis tentang Shafwan bin Umayah:
أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ خَرَجَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ وَهُوَ عَلَى شِرْكِهِ، فَأَسْهَمَلَهُ، وَأَعْطَاهُ مِنَ الغَنَائِمِ مَعَ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
Sesungguhnya Shafwan bin Umayah pernah keluar bersama Nabi saw. pada saat Perang Hunain, sedang ia—saat itu—masih musyrik. Kemudian Nabi saw. memberi dia bagian harta rampasan Perang Hunain bersama dengan para muallaf.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalan Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
يَابِلاَلُ قُمْ فَأَذِّنْ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ مُؤْمِنٌ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَاالدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
Wahai Bilal, berdirilah dan umumkan, bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang Mukmin. Sungguh Allah akan benar-benar menolong agama ini dengan seorang laki-laki yang buruk (fajir).
Ibnu Ishak dalam kitabnya As-Sirah menyebutkan bahwa Quzman keluar bersama para Sahabat Rasulullah saw. pada saat Perang Uhud. Pada saat itu Quzman adalah seorang musyrik. Dalam perang itu Quzman membunuh delapan atau tujuh orang musyrik sehingga Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَاالدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
Sungguh Allah akan benar-benar menolong agama ini dengan seorang laki-laki yang buruk (fajir).
Imam asy-Syaukani dalam kitabnya Ad-Darari al-Mudliyah dan Nayl al-Awthar mengatakan bahwa hadis ini dinyatakan kuat (sahih) oleh para ahli Sirah (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 211).
Dengan demikian dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa orang kafir boleh menjadi bagian dari militer Islam. Mereka diberi gaji karena mereka berperang di dalam militer Islam. Selain itu, definisi ijarah (kontrak kerja), yaitu akad atas suatu manfaat dengan kompensasi, menunjukkan bahwa ijarah itu boleh dilakukan dalam setiap bentuk manfaat yang mungkin dipenuhi oleh ajir (pekerja, pegawai) kepada musta’jir (majikan), termasuk di antaranya adalah manfaat seseorang untuk menjadi prajurit dan untuk berperang, sebab hal itu merupakan manfaat juga. Karena itu keumuman dalil ijarah yang meliputi semua bentuk manfaat, merupakan dalil mengenai kebolehan mengontrak jasa (manfaat) orang kafir untuk menjadi tentara dan untuk berperang (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 211; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 89; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 154).
Hanya saja, ketika orang kafir menjadi tentara dan berperang, maka ia harus berada di bawah panji kaum Muslim, bukan panji kaum kafir. Sebagaimana hal itu jelas dalam fakta dalil-dalil di atas, bahwa orang-orang kafir yang berperang bersama kaum Muslim itu berada di bawah panji kaum Muslim, bukan di bawah panji kaum kafir. Artinya, mereka ini berperang dengan statusnya sebagai prajurit dalam militer Islam. Atas dasar ini, maka boleh kaum kafir dzimmi berperang menjadi prajurit dalam militer Islam dengan diberi gaji. Tentu masalah ini harus ditetapkan oleh Khalifah. Artinya, Khalifah memandang bahwa berperangnya orang kafir sebagai prajurit dalam militer Islam membawa manfaat bagi kaum Muslim, dan tidak mendatangkan madarat (bahaya). Karena itu jika adanya itu membawa manfaat, maka mereka diterima menjadi prajurit dalam militer Islam, dan mereka diberi gaji. Artinya, mereka boleh menjadi prajurit dalam militer Islam dengan diberi gaji. Sebaliknya, keberadaanya dicegah dan dilarang jika membahayakan militer Islam (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 211).
Pelaku Ibadah Boleh Menerima Gaji
Meskipun jihad adalah ibadah, dibolehkan mengontrak jasa seorang Muslim untuk menjadi tentara dan untuk berperang. Hal ini sesuai dengan dalil ijarah (kontrak kerja) yang bersifat umum karena ijarah (kontrak kerja) untuk melaksanakan ibadah—jika manfaatnya dirasakan dan diperoleh juga oleh pelakunya—maka boleh. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Ibn Abbas ra.:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
Sesungguhnya manfaat (jasa) yang paling berhak untuk kalian ambil ujrah (gaji)-nya adalah (mengajarkan) Kitabullah (al-Quran) (HR al-Bukhari).
Mengajarkan Kitabullah adalah ibadah. Ketika mengontrak jasa seorang Muslim untuk mengajarkan al-Qur’an, menjadi imam, atau menjadi muadzin itu boleh, maka boleh juga mengontrak jasa seorang Muslim untuk melaksanakan jihad dan menjadi tentara. Pasalnya, semua itu adalah ibadah yang manfaatnya bisa diperoleh pelakunya. Bahkan kebolehan mengontrak jasa kaum Muslim untuk berjihad, termasuk bagi orang yang telah ditunjuk untuk melaksanakan jihad (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 212; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 89; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 154).
Dalil terkait hal ini sudah dinyatakan dengan jelas di dalam hadis. Imam Ahmad dan Abu Dawud telah meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
لِلْغَازِي أَجْرُهُ وَ لِلْجَاعِلِ أَجْرُهُ وَ أَجْرُ الْغَازِي
Bagi al-Ghazi ada pahalanya, sedangkan bagi al-Ja‘il ada upah dan juga pahala al-Ghazi.
Al-Ghazi adalah orang yang berperang karena motivasi dari dirinya sendiri. Adapun al-Ja‘il adalah orang yang berperang karena digaji oleh pihak lain. Dalam Qamus al-Muhith dinyatakan: Al-Ja‘alah (upah) itu ada tiga, yaitu: upah yang diberikan kepada seseorang karena kerjanya; beberapa orang yang saling mengupahkan sesuatu lalu upahnya dibagi di antara mereka; dan upah yang diberikan kepada al-Ghazi jika ia berperang karena mendapat upah dari Anda.
Hadis tersebut menjelaskan tentang kebolehan seseorang memberikan upah kepada orang lain untuk berperang karena upah yang diberikan kepada dia, artinya boleh mengontrak jasa atau manfaat seorang laki-laki untuk berperang (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 212; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 90; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 154).
Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dari Jubair bin Nufair yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
مَثَلُ الَّذِينَ يَغْزُونَ مِنْ أُمَّتِى وَيَأْخُذُونَ الْجُعْلَ وَيَتَقَوَّوْنَ عَلَى عَدُوِّهِمْ مَثَلُ أُمِّ مُوسَى تُرْضِعُ وَلَدَهَا وَتَأْخُذُ أَجْرَهَا
Perumpamaan orang-orang yang berperang dari umatku dan mereka memperoleh upah (dari berperang) serta mereka yang berusaha melindungi diri dari musuh-musuhnya adalah seperti ibu Nabi Musa as. yang menyusui anaknya sendiri dan memperoleh upah dari jasa menyusui dia itu.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Said bin Manshur. Al-Ajr[u] dalam hadis ini maknanya adalah ujrah (upah, gaji). Dengan demikian boleh menetapkan gaji bagi para tentara sebagaimana pegawai negeri lainnya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 213; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 90; Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 154). WalLahu a’lam bish-shawab.