Oleh: Cahyani Pramita
(Aktivis Peduli Generasi)
Film Kucumbu Tubuh Indahku semakin menuai kontroversi. Pemboikotan atasnya semakin melebar ke sejumlah daerah. Pemkot Palembang, Walikota Depok, Bupati Garut, Bupati Kubu Raya (Kalimantan Barat) menyatakan keberatan dan mengajukan larangan penanyangan film tersebut di bioskop masing-masing. Film ini dinilai bertentangan dengan norma agama karena mengandung nilai dan adegan perilaku penyimpangan seksual (LGBT). Kalau dilihat dari cuplikannya saja, film itu mengandung nilai negative dan dapat mempengaruhi generasi muda. Ini tidak layak”, terang Bupati Garut, Rudy Gunawan (ngopibareng.id, 4/5/2019).
Sejumlah sineas menyampaikan sikap protes terkait pemboikotan ini melalui media social. Joko Anwar menyebut, pemboikotan KTI merupakan sikap intoleransi yang belakangan tumbuh subur di Indonesia. “saat sekelompok orang memaksakan nilai yang mereka anut kepada orang lain, itu intoleransi. Saat beberapa orang tidak diijinkan menjalani nilai yang mereka pilih itu juga intoleransi (liputan6.com, 2/5/2019).
KTI bersumber dari riset tari Lengger Lanang di Banyumas yang sudah ditulis dalam Serat Centhini sejak zaman kerajaan Majapahit hingga Bissu di Sulawesi. Berfokus pada perjalanan tubuh Rianto sebagai penari Lengger Lanang, yang menghadapi sisi maskulinitas dan feminitas dalam tubuhnya, menjadikan tubuh sebagai ilmu humaniora yang penting, demikianlah papar Ifa selaku produser rumah produksi Pourcolour Films (cnnIndonesia.com,2/5/2019)
Berbagai pembelaan untuk film KTI dikemukakan dengan alasan seni, budaya, ilmu humaniora serta toleransi. Degan mudah, lantang dan penuh percaya diri ,t banyak pihak menyatakan hal yang jelas bertentangan dengan norma agama. Merekapun tidak dianggap salah karena semua berdasarkan kebebasan berpendapat yang dianut dalam demokrasi. Semua orang berhak untuk mengemukakan pendapatnya tanpa batas,tanpa control dan penilaian salah/benarnya pendapat tersebut.
Kebebasan berperilaku juga dijamin di alam demokrasi ini. Semua orang berhak membuat, menayangkan, menonton film apapun. Lembaga sensor hanya sedikit mengedit adegan yang ada tanpa boleh mengurangi nilai yang terkandung dan pesan yang ingin disampaikan didalamnya. Film KTI telah lulus sensor sebanyak dua kali namun sekali lagi, sensor ini tetap tidak menghilangkan asas awal kebebasan berperilaku didalamnya.
Apa jadinya saat kehidupan ini serba bebas, tidak ada standart benar/salah yang baku? Semua diserahkan kepada akal, perasaan hingga kepentingan masing-masing pihak. Kontroversi film KTI ini sangatlah mudah diakhiri dengan pemboikotan jika negeri ini tidak menggunakan demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berperilaku.
Islam memandang setiap tindakan (sikap maupun ucapan) manusia harus berlandaskan aturanNya. Terikat dengan halal-haram yang telah ditentukan. Ruang kebebasan diganti dengan ruang ketaatan. Ketaatan yang tidak menyakitkan, namun justru menyelamatkan. Keharaman pornografi, pornaksi, LGBT jelas akan meniadakan film semacam KTI yang berlindung dibalik seni, budaya hingga ilmu humaniora yang tak bersumber dari ajaran Islam. Campakkan KTI, Campakkan Demokrasi!!