Bawang Putih Langka & Mahal, Haruskah Impor dari China?

Oleh: Vio Ani Suwarni


Beberapa bulan terakhir ini, ibu-ibu militan dicengangkan dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok dan pangan. Khususnya untuk kebutuhan bahan pangan, seperti bawang putih. Bawang putih sebagai penyempurna masakan, tentu saja membuat para pemburunya kelabakan karena tidak bisa mendapatkannya dengan mudah. Ketika mendapatkannya pun harus ditebus dengan nominal yang melangit. Sedangkan yang harus dibelipun tidak hanya bawang putih saja. Sungguh dilema kaum ibu-ibu militanpun merajalela.


Alih-alih mendapatkan solusi yang semestinya, pemerintah justru mengambil keputusan secara tiba-tiba dengan cara mengimpor bawang putih dari negara China. Selain pemerintah, para pengusaha pun akhirnya mengambil bagian untuk membuka kran impor China - Indonesia. Para pengusaha mendapatkan dukungan dari pemerintah untuk meng goal kan aksi impor yang sudah dimulai pada awal bulan Mei bersamaan dengan menjelang bulan Ramadhan.


Seperti yang dilansir okefinance JAKARTA - Kementerian Pertanian menyatakan sedikitnya 60.000 ton bawang putih asal Tiongkok sudah masuk ke Indonesia pekan ini, melalui Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan Tanjung Priok Jakarta.


Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Moh Ismail Wahab menyebutkan jumlah tersebut merupakan tahap awal dari persetujuan impor yang telah dikeluarkan Kementerian Perdagangan bagi perusahaan swasta mencapai 115.675 ton.


"Bawang putih tersebut diprioritaskan untuk mengamankan pasokan di bulan puasa dan Lebaran," kata Ismail seperti dilansir Antaranews, Jakarta, Jumat (3/5/2019).


Ismail memastikan pasokan bawang putih akan segera normal seiring dengan masuknya impor asal Tiongkok sebanyak 60.000 ton pada 2-6 Mei ini. Pemerintah telah melakukan berbagai langkah konkrit untuk menstabilkan pasokan bawang putih.


Menurut dia, secara nasional konsumsi dan kebutuhan bawang putih sebulan mencapai 42.000 ton. Dengan digelontorkannya bawang putih impor ini, sangat cukup untuk mengamankan pasokan nasional sekaligus mengerek harga turun ke posisi normal.


Hingga kini Kementan telah menerbitkan rekomendasi impor bagi perusahaan yang menjalankan wajib tanam bawang putih sesuai ketentuan. Totalnya sementara ada 19 importir yang sudah mendapat rekomendasi impor dan akan terus menyusul importir lain.


"Jadi, sembari mekanisme impor ini jalan, kita terus pacu penanaman bawang putih di dalam negeri. Harapannya tahun 2021 nanti ketergantungan terhadap bawang putih impor seperti saat ini tidak lagi terjadi," katanya.


Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Yasid Taufik menuturkan pihaknya sejauh ini telah mengatur tata niaga bawang putih secara efisien. Hal itu karena 97 persen dari kebutuhan bawang putih masih harus diimpor.


Pada akhir Maret, Kementan sudah mengeluarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), yang disusul penerbitan surat persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan 115 ribu ton.


"Jadi sampai saat ini total 240.000 ton lebih yang sudah dikeluarkan rekomendasi impornya. Secara berkesinambungan, bawang putih akan terus masuk, yang dimulai awal Mei ini. Enam bulan ke depan stok bawang putih nasional dijamin aman," kata Yasid.


Berdasar pemantauan di beberapa pasar di Jakarta, harga bawang putih terpantau di kisaran Rp55.000-65.000 per kilogram. Sementara di Pasar Induk Kramat Jati di harga Rp45.000 per kg untuk jenis sinco atau bawang banci.


Untuk menekan laju kenaikan harga, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan gencar melakukan operasi pasar di berbagai daerah. Setelah Kamis (2/5), pada Jumat ini Kementerian Pertanian kembali menggelar operasi pasar di 10 titik pasar di Jakarta dengan harga jual Rp15.000-23.000 per kg.


Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.


Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).


Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil.


Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.


Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.


Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.


Selain itu, dalam Islam, praktik kecurangan yang merugikan ummat akan dicegah oleh negara dengan sanki berat, bukan cuma ancaman basa-basi. Negara dengan wibawanya dan paradigma kepemimpinan yang sahih akan menerapkan sistem yang memudahkan ummat mendapatkan kebutuhannya dengan harga murah (intensifikasi, ekstensifikasi, efisiensi tataniaga, pembangunan infrastruktur, sistem informasi pasar yang memadai, penerapan sanki tegas, dll). Tentu saja dengan menerapkannya Syariat Islam, negara tidak perlu repot-repot untuk mengimpor bawang merah dari negara manapun. Karena negara sudah bisa menyediakan bahan pangan sendiri dengan solusi dari Sang Ilahi.


Wallahu a'lam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak