Balada Nasi Padang

Oleh: Muzsuke Abdillah

(Member Writing Class with Has) 


"Buruk rupa cermin dibelah." 

Itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan para pendukung 01 yang tengah memboomingkan kampanye #boikotnasipadang. Perkara boikot nasi Padang ini bermula dari kekalahan kubu 01 pada pemilu 17 April lalu di wilayah Sumatera Barat. 

Seperti diketahui, hasil perhitungan quick count oleh 3 lembaga survei SMRC, Indikator, dan Charta Politika menunjukkan kandidat nomor urut 02 itu menang telak di Sumatera Barat dengan perolehan suara antara 83-87%. 

Inipun sejalan dengan hasil real count Pilpres 2014 lalu yang menunjukkan bahwa kubu Prabowo menang telak atas Jokowi dengan memperoleh 76,9% suara di Sumatera Barat. 

Meski ini bukan pertama kalinya kubu Prabowo mendulang banyak suara di wilayah Sumatera Barat, namun ternyata masih ada yang tidak menerima hasil ini, terutama dari kubu lawannya, petahana. Para pendukung petahana berkoar bahwa masyarakat Sumatera Barat tidak tahu terima kasih pada presiden Joko Widodo yang telah bantu mempopulerkan makanan khas Sumbar yakni Nasi Padang, sehingga mereka menyerukan untuk memboikot nasi Padang. 

Netizen ramai mengomentari ini, menjadikan foto dan postingan tentang nasi Padang ramai dibagikan banyak warganet. Menurut netizen, tidak ada kaitannya antara kekalahan di pemilu dengan makanan khas suatu daerah, sehingga perilaku pendukung petahana dalam memboikot nasi Padang ini dinilai gegabah dan terlalu mengada-ada. 

Seperti dikutip dari BBCNews (18/4), dikatakan bahwa warga Minang, etnis mayoritas di Sumatera Barat, punya jargon yang disebut 3T - tokoh, takah, dan tageh. Menurut orang Minang, orang yang pantas menjadi pemimpin bukanlah sekadar tokoh yang elit dan memiliki kemampuan lebih dari masyarakat kebanyakan, tapi juga memiliki karisma (takah) dan gairah atau semangat (tageh).

Maka dalam klasifikasi tersebut masyarakat Sumatera Barat menilai Prabowo lebih memenuhi syarat dibanding Jokowi sehingga patutlah perolehan suara untuk kubu Prabowo lebih banyak dibanding Jokowi. 

Selain jargon 3T, kriteria masyarakat Sumatera Barat dalam memilih pemimpin juga dilihat dari faktor keagamaannya. Dibanding Jokowi, masyarakat Sumbar menilai bahwa Prabowo lebih agamis karena dianggap beliau lebih dekat dengan ulama. Adapun kubu Jokowi, meskipun wakil yang diusungnya adalah ulama, namun keberadaan Kyai Ma'ruf Amin tidak memiliki banyak pengaruh di Sumbar sebab beliau ikut mempopulerkan Islam Nusantara yang banyak ditentang oleh masyarakat Sumbar. 

Memang realitas di negeri mayoritas muslim ini, salah satu kriteria penilaian untuk memilih seorang pemimpin, khususnya kepala negara, adalah ia harus seorang muslim taat. Terbukti dengan selama ini calon-calon yang maju ke pilpres adalah muslim. Selain dari faktor keberpengaruhan dan track recordnya di masyarakat, faktor keagamaan juga menjadi poin khusus yang menjadi sorotan para pemilih. 

Sejalan dengan pemikiran mayoritas warga Indonesia, dalam Islam mensyaratkan pemimpin juga harus seorang muslim taat. Sebab hanya muslim taat yang mau menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Islam memiliki pemecahan untuk seluruh problematika manusia, sehingga jika aturan Islam yang diterapkan, insyaa Allah, Indonesia akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. Wallahu a’lam. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak