Oleh: Vio Ani Suwarni
Ada beberapa orang berpikiran bahwa cinta yang paling besar itu ya cinta terhadap lawan jenis. Bahkan tak jarang yang melampiaskan rasa cintanya itu dengan cara yang kurang baik, seperti pacaran misalnya. Pacaran menjadi kata yang selalu dimunculkan ketika berhubungan dengan kata "cinta". Padahal cinta ngga mesti harus pacaran kan gaes. Cintanya itu ngga salah, tapi terkadang yang diamanahi cinta itu yang berbuat salah. Sehingga terjadilah interaksi yang tidak seharusnya.
Kita sering sekali mencari perhatian orang lain, termasuk penulis. Seakan-akan tidak ada yang memperhatikan kita. Padahal Dia begitu memperhatikan kita. Kita sibuk sekali mencari cinta yang lain. Padahal yang sangat mencintaimu begitu sangat setia menantimu.
Tak peduli walaupun kau menduakanNya. Ia tetap sabar menunggumu dan mencintaimu. Kita sering sekali mengejar ketidakmungkinan. Padahal sebuah kemungkinan begitu dekat untuk kita capai. Sibuk kita mengejar bayang-bayang, padahal yang senantiasa nyata selalu memperhatikan. Siapakah Dia, siapa lagi kalau bukan Allah SWT yang senantiasa dekat dengan hambanya. Walaupun terkadang hambanya sering menjauh dariNya.
Allah sangat dekat dengan hambanya sebagaimana hal ini terdapat dalam ayat berikut.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah [2] : 186)
Subhanallah, Allah sudah menjawab pertanyaan kita. Allah begitu dekat dengan kita. Tapi mengapa kita masih merasa jauh dari Allah? Masih merasa hidup kita hampa, masih merasa kekurangan. Masih merasa perlu ada yang memperhatikan. Masih merasakan ketidaktenangan. Jangan-jangan hati kita begitu kering sehingga tidak mampu merasakan keberadaan Allah (termasuk penulis).
Jangan-jangan ada yang salah dengan cara berpikir kita. Jangan-jangan ada yang kurang tepat dengan keimanan kita. Jangan-jangan ada sesuatu yang kurang klik di hati kita. Jangan-jangan hari-hari yang kita lewati tidak dibersamai oleh Allah. Jangan-jangan tujuan hidup kita bukan untuk beribadah kepada Allah. Jangan-jangan kita masih berprasangka penilaian manusia lebih sempurna dari pada penilaian Allah SWT.
Padahal dalam riwayat Ath Thobroni terdapat riwayat,
« إِنَّ أفْضَلَ الإِيْمَانِ أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ اللهَ مَعَكَ حَيْثُمَا كُنْتَ »
“Iman yang paling utama adalah engkau mengetahui bahwa Allah bersamamu di mana saja engkau berada.” (HR. Ath Thobroni dalam Al Awsath. Hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al Albani sebagaimana disebutkan dalam Dho’iful Jami’ no. 1002)
Dalam hadist tersebut dikatakan bahwa iman yang paling utama adalah ketika kita menyadari bahwa Allah begitu dekat dengan hambanya. Semoga kita semua senantiasa merasakan kenikmatan iman yang sesungguhnya. Aamiin Ya Rabb. Tidak ada yang bisa mencintaimu seperti Rabbmu. Manusia mungkin akan kecewa ketika kita berbuat salah. Manusia mungkin akan marah ketika kita menyakiti hatinya. Tapi Allah? Allah tidak akan pernah kecewa dan marah pada hambanya. Pintu ampunan dan taubat tak akan pernah lelah dibukakannya.
Wallahu a'lam bishowab