Murni Sari
(Pemerhati Sosial)
Hari-hari terakhir ini umat tengah dilanda musibah yang tak kalah membuat resah. Tak kalah membuat sedih dibandingkan dengan gempa bumi dan tsunami. Musibah yang dimaksud adalah makin rapuhnya ukhuwah islamiyah dan makin menguatnya ‘ashabiyah.
Umat Islam kembali terluka, sebelumya pembantaian telah terjadi di daerah gaza (palestina), rohinggnya (myanmar), Uyghur (Cina), Kashmir (India), Pattani (Thailand), Moro (Philipina), New Zaeland dan masih banyak lagi kasus-kasus lain belum tercatat. Kali ini Kasus pembantaian sadis terhadap salah satu etnis kembali terjadi. Etnis Fulani menjadi korban pembantaian sekelompok orang yang diduga dari kelompok Dogon di Mali, Republik Mali, Afrika Barat. Sekelompok orang itu menggunakan senjata untuk membunuh ratusan orang, di antaranya warga sipil, anak-anak dan ibu hamil. Hingga saat ini, ada 160 korban tewas akibat serangan kelompok tersebut. Etnis Fulani atau biasa dikenal Peulh, adalah kelompok etnis semi-nomadik (kelompok yang berpindah-pindah tapi pernah menetap sementara di tempat itu) yang sebagian besar Muslim. Sedangkan Dogon, masyarakatnya adalah petani dan tinggal di tebing Bandiagara di Mali selama berabad-abad.
Ada apa dengan Mali? Meski wilayah Mali sebagian besar terdiri dari gurun, tetapi sangatlah kaya. Di dalam tanah Mali terkandung kekayaan alam minyak yang melimpah. Belum lagi mineral di dalamnya. Tidak sampai di situ saja sebelumnya Tahun 2013 lalu, 4.500 tentara Prancis melakukan intervensi di Mali untuk mengusir gerakan kelompok-kelompok dari gurun utara yang menginginkan kembali wilayahnya. Namun kelompok itu tetap berkumpul, malah meluaskan tempat mereka ke Mali tengah dan negara tetangga.
Umat Tercerai Karena Sekat Nasionalisme
Perintah al-Quran kepada kaum Muslim sangat jelas. Saat saudara mereka ditindas dan meminta pertolongan, kaum Muslim wajib memberikan pertolongan kepada mereka. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama maka kalian wajib memberikan pertolongan (TQS al-Anfal [8]: 72).
Saudara muslim yang telah dibantai telah lama menjerit meminta tolong kepada kaum Muslim. Mereka ingin diselamatkan. Karena itu wajib atas kaum Muslim sedunia, termasuk Pemerintah dan rakyat Indonesia, melindungi mereka; memelihara keimanan dan keislaman mereka; sekaligus mencegah mereka dari kekufuran yang dipaksakan kepada mereka.
Sayang, saat ini tak ada seorang pemimpin Muslim pun yang mau dan berani mengirimkan pasukan untuk menyelamatkan mereka. Sungguh tak ada yang mempedulikan mereka. Termasuk penguasa negeri ini, yang penduduk Muslimnya terbesar di dunia. Jangankan memberikan pertolongan secara riil, bahkan sekadar kecaman pun tak terdengar dari penguasa negeri ini.
Bukankah sejatinya sebagai umat islam kita dan umat muslim dibelahan bumi lainya adalah satu tubuh. Kita diikat oleh ikatan akidah, ukhuwah islamaiyah yang erat Sungguh kaum muslim mengalami kemerosotan yang teramat memilukan. Ikatan akidah telah hilang, diganti dengan ikatan nasionalisme. Mereka bergerak semata-mata untuk kepentingan negara masing-masing, tanpa memperdulikan lagi nasib muslim lainya.
Nasionalisme sesungguhnya adalah ide absurd, tidak mengandung suatu hakikat pengertian yang pasti. Nasionalisme adalah ide yang kosong dari makna-makna yang konkrit. Nasionalisme lebih mengandalkan sentimen atau emosi yang semu, yang dibangkitkan sewaktu-waktu sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan sempit penguasa. Nasionalisme tidak bertolak dari ide yang lahir melalui proses berpikir yang benar dan sadar.
Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk membangkitkan umat manusia. Sebab dalam suatu kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia, serta pemikiran tertentu tentang kehidupan untuk memecahkan problem kehidupan (Taqiyuddin An Nabhani, 1953).
Perisai Umat yang Hakiki
Islam telah menentang dan mengharamkan ide nasionalisme itu. Tak masuk akal, alias gila, bila ide yang telah membawa penderitaan dan kesengsaraan umat manusia itu dihalalkan dan diridoi oleh agama Islam yang lurus. Nasionalisme haram karena bertentangan dengan prinsip persatuan umat yang diwajibkan oleh Islam. Persatuan umat adalah wajib, sementara perpecahan umat adalah haram.
Kaum muslimin adalah satu kesatuan, yang wajib diikat oleh kesamaan aqidah (iman), bukan oleh kesamaan bangsa. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara” (Al Hujurat : 13)
Dalam Piagam Madinah (Watsiqoh Al Madinah) disebutkan kewajiban umat untuk menjadi satu kesatuan : “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi SAW antara orang-orang mu`min dan muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah), yang berbeda dengan orang-orang lain (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, juz 2 hal. 119)
Rasulullah SAW pun telah mengharamkan ikatan ashabiyah, termasuk? nasionalisme :
“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme). (HR. Abu Dawud)”
Di samping itu, Islam mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan (Khilafah Islamiyah). Haram bagi mereka tercerai berai di bawah pimpinan yang lebih dari satu.
Dengan demikian, jelaslah kaum muslimin kini harus sadar dan membuang nasionalisme dan kembali kepada ajaran Islam yang murni, yakni kembali kepada ikatan (rabithah) keimanan, bukan ikatan nasionalisme. Selain itu, mereka juga wajib berusaha untuk mewujudkan satu institusi politik pemersatu umat Islam di seluruh dunia, yakni Khilafah Islamiyah. [Muhammad Shiddiq Al Jawi)
Semua penderitaan kaum Muslim ini semakin meneguhkan kesimpulan tentang betapa butuhnya umat terhadap Khilafah.
Mengapa Khilafah? Tentu karena umat Islam di berbagai wilayah mengetahui bahwa keselamatan mereka hanya ada pada Islam, juga pada kekuasaan Islam (Khilafah). Sebab Khilafah adalah perisai/pelindung sejati umat Islam. Ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
“Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Kaum Muslim akan berperang dan berlindung di belakang dia” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Makna frasa “Al-Imâm junnat[un] (Imam/Khalifah itu laksana perisai)” dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, “Maksudnya, ibarat tameng, karena Imam/Khalifah mencegah musuh untuk menyerang (menyakiti) kaum Muslim; mencegah anggota masyarakat satu sama lain dari serangan; melindungi keutuhan Islam…”
Semoga kali ini, semua penderitaan kaum Muslim di seluruh dunia, khususnya Muslim di Mali, Palestina, Rohingya, Uyghur dll, menyadarkan kita semua bahwa Khilafah sudah saatnya hadir kembali. Tak bisa lagi kaum Muslim menunggu terlalu lama. Saatnya Khilafah Rasyidah 'ala Minhajin Nubuwwah yang kedua ditegakkan di muka bumi ini. Wallahu’alam.