Tikus Kantor dan Politik Kotor

Oleh: Qiya Amaliah Syahidah

(Muslimah Media Konawe)


"Kisah usang tikus-tikus kantor

Yang suka berenang di sungai yang kotor

Kisah usang tikus-tikus berdasi

Yang suka ingkar janji lalu sembunyi

Di balik meja teman sekerja

Di dalam lemari dari baja..."

Potongan lagu berjudul "Tikus Kantor" karya Iwan Fals berisi kritik sosial terhadap pelaku korupsi. Lagu ini masih update  menggambarkan perilaku tidak terpuji yang dilakukan oleh para elite penjabat, tak terkecuali di Kementerian Agama (Kemenag).

Terbaru, skandal korupsi yang melibatkan Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Rommy) kini menjadi sorotan publik. Sebab menurut catatan, ini bukan kali pertama kasus mencoreng citra Kementrian agama.

Salah satu kasus yang mencengangkan yaitu Pengadaan Alquran di Kementerian Agama dengan APBNP 2011 dan APBN 2012. Kasus bermula saat Kemenag mempunyai dana Rp 22,855 miliar untuk penggandaan kitab suci Alquran tahun 2011 di Ditjen Bimas Islam. 

Sampai di situ? Tidak. Korupsi di Kemenag juga terjadi dalam hal rapat 'siluman'. Pada 2017, laporan keuangan menyebut digelar rapat di hotel, tapi faktanya di kantor. Padahal, uang sudah mengucur. Sejumlah pejabat dihukum dikasus itu.

Apakah hanya di tingkat pusat? Ternyata tidak. Korupsi di Kemenag telah menggurita sampai tingkat terbawah. Seperti terjadi di Mataram, NTB, yaitu Kasubag Kepegawaian dkk di Kanwil Kemenag NTB terjaring OTT. 

Mereka mengutip dana rehab masjid di 13 wilayah. Yaitu 4 masjid di Gunungsari, 4 masjid di Lingsar dan 5 masjid di Batu Layar. Dari pungli itu, mereka mendapatkan lebih dari Rp 100 juta.

"Sangat prihatin. Prihatin dalam arti yang luas. Kita sangat terpukul rasanya dalam permasalahan ini. Saya ndak enak makan, kami ndak enak makan. Kalau ndak OTT sih mungkin masih disembunyi-sembunyikan. Tapi karena di-OTT ini," ucap Kakanwil Kemenag Manaram, H Nasruddin mengomentari perilaku bawahannya kala itu (Detik.com, 17/03/2019).

Mengurai Masalah

Pada hakikatnya, kasus korupsi ditubuh instansi yang berselogan 'Ikhlas Beramal' ini bukan fenomena baru. Sebagaimana yang terungkap, korupsi dana umat di 2001 hingga jual beli jabatan pada maret 2019, menambah daftar panjang kebobrokan instansi ini. Wajar saja, jika Kementerian Agama dimaki oleh anggota DPR Arteria Dahlan dengan kata-kata 'bangsat'. 

Memang kementerian yang satu ini pernah mendapat citra yang tak baik lewat rentetan catatan buruknya. Bahkan dua Menteri Agama pernah menjadi terpidana korupsi, yakni Menteri Agama Suryadharma Ali di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar di era Presiden Megawati.

Fenomena korupsi yang merajalela saat ini apalagi dilevel Kemenag sungguh menghilangkan akal sehat. Instansi yang dianggap kumpulan orang-orang beragama dan berprilaku baik ternyata hanya isapan jempol.

Inilah bukti, dalam demokrasi tidak ada jaminan orang baik akan selamat dari korupsi. Benarlah kiranya perkataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD " malaikat saja jika masuk ke sistem Indonesia bisa berubah jadi iblis". Sebab demokrasi menghalalkan segala cara, telah menjadi lahan gembur untuk menyemai korupsi. Jerat korupsi mewabah dikalangan pejabat negara secara berulang dan massif.

Lagi-lagi menunjukkan sistem demokrasi yang dianggap sebagai opsi terbaik dalam memilih pemimpin ternyata tidak mampu menyaring pemimpin bervisi antikorupsi. Sebaliknya, praktik demokrasi malah melahirkan koruptor-koruptor baru hingga kebawah. Praktik korupsi tidak hanya di tingkat elite penjabat, tapi menjamur hingga ke aparat bawah.

Dalam hal ini, ada problem mendasar yang menjadi penyebab. Pertama, ketakwaan individu. Tidak adanya ketakwaan individu kepada para penjabat mendorong mereka melalaikan tanggung jawab dan amanah yang diberikan. Jabatan bukan tempat menyemai kebaikan malah sebagai ajang untuk memperkaya diri. 

Kedua, persoalan sistem.  Sistem demokrasi kapitalis melahirkan aparat yang jauh dari agama.  Sebab sistem ini menjauhkan aturan agama dipakai dalam kehidupan. Sistem ini pun melahirkan peraturan yang lemah terhadap penegakkan hukum, termasuk kepada pelaku korupsi. Sehingga wajar, jika kita menyaksikan pelaku yang mencuri sendal segera diadili, sementara koruptor kelas kakap malah diampuni. Miris! 

Islam Memandang

Islam sangat menyadari pentingnya seorang penjabat yang handal dan terpercaya. Hanya dengan itu, upaya pengaturan masyarakat secara islami bisa terwujud. 

Sistem Islam menanamkan iman kepada seluruh warga negara, terutama kepada para penjabat negara, baik di level elite maupun di level bawah. Dengan iman masing-masing sadar akan konsekuensi dari ketaatan dan pelanggaran yang dilakukan.  

Sebab tidak ada satu pun perbuatan yang terlepas dari perhitungan (hisab) Allah. Untuk hal ini Allah telah menciptakan anggota tubuh manusia,  mereka akan berkata-kata di akhirat nanti dan menceritakan apa yang dilakukan selama hidup di dunia. Sebagaimana dalam Alquran surah Fushshilat ayat 20, yang artinya: "Sehingga apabila mereka sampai ke neraka,  pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka apa yang telah mereka kerjakan." 

Dengan iman, akan tercipta mekanisme pengendalian diri yang handal. Dengan iman pula, para penjabat dari pusat, daerah hingga di desa berusaha mencari rejeki yang halal dan memanfaatkan sesuai jalan yang diridai Allah. 

Kepada mereka ditekankan bahwa tugas utamanya adalah melayani rakyat. Wajib bagi mereka melaksanakan amanah itu dengan jujur, adil, ikhlas dan taat kepada syariat Islam. 

Penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah serta perhitungan kekayaan diawal dan diakhir jabatan adalah upaya preventif syariat Islam untuk mencegah terjadinya korupsi. Adapun sanksi berupa ta'zir hingga hukuman mati, jika tindakan tersebut sangat merugikan ekonomi negara adalah upaya kuratif menghindari terulangnya kejadian yang sama. 

Namun yang tak kalah penting, adanya teladan para pemimpin. Untuk perkara ini, sejarah Islam telah melahirkan pemimpin amanah selevel Umar bin Khatab, Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain yang terkenal sepanjang sejarah. Itulah bukti nyata, Islam sebagai sistem yang melahirkan pemimpin yang taat dan amanah, serta bervisi antikorupsi. Akhirnya hanya kembali kepada sistem Islam, korupsi dapat dihentikan secara tuntas. Wallahu a'lam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak