Oleh: Anesa Tri Juni
Kembali, Pemerintah Indonesia mengecewakan masyarakat khususnya para petani atas kebijakannya untuk mengupayakan ketahanan pangan. Pemerintah di Negeri yang dikenal akan keberlimpahan Sumber Daya Alam nya ini nyatanya memilih melakukan solusi yang tidak sokutif.
Pemerintah Indonesia memilih untuk mengimpor beberapa komoditas bahan pangan. Kali ini diantaranya ialah gula mentah sebanyak 2,8 juta ton dan jagung sebesar 30.000 ton. Komoditas lain yang menunggu diputuskan adalah garam sebesar 2,7 jutaan ton dan daging kerbau 100.000 ton.
Menurut Media South China Morning Post (SCMP) yang dikutip www.koranjakarta.com akhir Desember lalu nilai impor gula Indonesia mencapai 2,3 miliar dollar AS atau 7,8 persen dari total impor dunia. Bukan hanya itu, studi NSEAS pada September 2018 menyebutkan Indonesia masih ketergantungan impor sebanyak 29 komoditas pertanian dari beragam negara seperti: beras dan beras khusus, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging lembu, kentang dan lainnya.
Bisa disaksikan fenomena yang ada. Kebijakan impor tidaklah dilandaskan pada upaya pemerintah memenuhi kebutuhan pangan nasional dalam rangka mensejahterakan masyarakat juga kalangan petani. Akan tetapi lebih kepada permainan para mafia pangan yang tentu saja tidak lepas dari campur tangan korporasi yang rakus dan ingin meraup keuntungan.
Selain daripada impor, pemerintah Indonesia berupaya melakukan penjagaan ketahanan pangan melalui sektor pariwisata. (https://kompas.id/baca/utama/2017/12/17/jaga-ketahanan-pangan-lewat-sektor-pariwisata/). Pariwisata dianggap mampu menjaga ketahanan pangan jika disertai dengan penganekaragaman kuliner Nusantara. Hal yang harus dilakukan adalah mengoptimalkan potensi pangan lokal.
Sejauh ini kita bisa pahami, kebijakan yang dibuat jauh panggang dari api. Bahkan apa yang dicanangkan pemerintah ini lebih banyak mengundang mudharat daripada manfaat. Terlebih perihal mengencarkan program di sektor pariwisata.
Gagalnya rezim ini mewujudkan kedaulatan pangan karena masih menggunakan paradigma batil Neoliberal untuk mengelola pangan dan pertanian. Paradigma ini telah meminimalisasi peran pemerintah atau negara dalam mengurusi hajat rakyat. Hari ini kehadiran pemerintah hanya sebatas regulator dan fasilitator untuk membuat aturan dan regulasi. Sementara pemenuhan hajat rakyat diserahkan ke pasar (korporasi).
Akibatnya korporasi lah yang menguasai seluruh rantai pangan, mulai dari produksi hingga konsumsi. Neoliberal juga meniscayakan pengelolaan hajat pangan dilakukan dengan prinsip bisnis dan menghilangkan prinsip pelayanan pada rakyat.
Hilangnya kendali negara dalam urusan pangan ini telah membuahkan kondisi yang carut marut. Di satu sisi masyarakat makin sulit mengakses pangan karena harga mahal, di sisi lain petani terus termarginalisasi dan tidak bergairah untuk bertani. Ujung-ujungnya pemerintah mudahnya melakukan impor dengan dalih pemenuhan stok dan stabilisasi harga pangan. Dan membuat solusi tak masuk akal seperti pengupayaan di sektor pariwisata yang notabenenya hanya akan mengundang keburukan seperti, banyaknya kemaksiatan yang akan terjadi, aktivitas tidak berfaedah yang akan melalaikan masyarakat, dan hal ini tidaklah menjadi solusi atas ketahanan pangan, melainkan hanya menguntungkan beberapa pihak saja.
Tampaklah bahwa neoliberalisasilah yang telah menggagalkan target kedaulatan pangan dan menyebabkan kekisruhan dalam tata kelola pangan secara keseluruhan. Ujung-ujungnya rakyat makin sengsara dan menderita. Bahkan kedaulatan bangsa pun tergadai. Karenanya diperlukan perubahan total pada konsep yang digunakan, bukan sebatas perubahan rezim yang memimpin saja.
Islam yang merupakan sebuah agama yang sempurna memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi terkhusus oleh pemimpin dan pemerintahan suatu negeri. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan. Hal ini merupakan salah satu fungsi adanya pemerintahan itu sendiri, yaitu untuk meri’ayah atau mengurusi hajat umat.
Belum lagi kebutuhan rakyat amatlah diperhatikan. Pemerintah berupaya untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan fitrah dan tidak bertentangan dengan syari’at seperti meniadakan distorsi pasar, seperti penimbunan, riba, monopoli dan kecurangan yang dilakukan oleh mafia pangan
Apapun kebijakan yang ditetapkan tidak lain hanya untuk memenuhi apa-apa yang sudah menjadi hak umat. Tanpa sedikitpun terbetik untuk memanfaatkan posisinya ditampuk kekuasaan.
Tentu saja hal tersebut tidak akan didapati pada sistem Demokrasi Kapitalis seperti saat ini. Hanya sistem Khilafah Islamiyyah lah yang mampu melaksanakannya. Karena nya lah, perjuangan menegakkan kembali Sistem Islam merupakan satu-satunya langkah yang mampu menyelamatkan negeri ini dari ketergantungan kebutuhan pangan, kesenjangan ekonomi, dan kecurangan pemerintahan neoliberal.