Oleh : Sri Ayu Susanti, SE
( Pemerhati Remaja)
Sejak tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melarang dan mengharamkan bagi umat Islam terhadap paham Sekularisme, Liberalisme, Pluralisme dan Sosialisme atau yang biasa disebut Sipilis. “Larangan paham Sipilis itu dinyatakan MUI tahun 2005, melalui Fatwa” kata Dr. Adian Husaini, pakar Liberalisme.
Adian Husaini mengungkapkan, saat fatwa MUI tentang haramnya paham Sipilis bagi umat Islam, sempat menghebohkan berbagai kalangan. Terutama mereka yang selama ini getol mengasong paham liberal seperti halnya Jaringan Islam Liberal (JIL). Padahal menurut Adian Husaini, keluarnya fatwa MUI itu sudah tepat dan benar. Sebab paham Sipilis itu sangat merusak, tak hanya akan merusak tatanan kemasyarakatan tapi juga menimbulkan kekacauan paham dan pemikiran ditengah masyarakat. Yang lebih membahayakan Sipilis dapat merusak aqidah. Pelarang paham Sipilis tak hanya dilakukan oleh MUI, lima tahun sebelumnya, Vatikan pusat kekuasan Katolik di Roma, telah mengeluarkan pelarangan terhadap paham Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme. Bahkan seorang pastor yang menulis buku yang memberikan dukungan terhadap berkembangnya paham pluralisme dan liberal, langsung dipecat.
Adian Husaini memberikan salah satu contoh bahaya paham Sipilis yang dapat merusak tatanan masyarakat adalah munculnya paham membolehkan kawin sesama jenis, dan homoseksual.
“Homoseksualitas yang berabad-abad dicap sebagai praktik kotor dan maksiat, oleh agama-agama, justru kemudian diakui sebagai praktik yang manusiawi dan harus dihormati sebagai bagian dari penghormatan Hak Asasi Manusia (nyata terjadi saat ini). Perkembangan kasus homoseksual di Barat kian hari kian menarik dan merusak. Pemimpin-pemimpin gereja semakin terdesak opininya, karena sebagian pemuka Kristen dan cendikiawan bukan saja mendukung bahkan telah menjadi pelaku homoseksual atau lesbianisme” papar anggota sekaligus pendiri Majelis Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini.
Begitu besar dan begitu dahsyat daya rusak paham liberalisme. Sipilis tak hanya merusak agama Kristen, tapi juga telah merusak Islam.. “Sekarang ada paham dikalangan yang mengaku sebagai islam yang berfikiran liberal bahwa dalam shalat berjamaah dibolehkan diimami oleh seorang perempuan. Padahal dalam Islam, Imam adalah laki-laki. Selain itu, bagi mereka yang berpaham liberal bercampurnya perempuan dan laki-laki dalam shalat diperbolehkan. Bahkan sudah ada masjid yang dikhususnya bagi kelompok homoseksual ” ini kan sangat berbahaya,” ujarnya.
Menurutnya, bahaya sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, bukan hanya karena adanya Jaringan Islam Liberal (JIL). JIL hanya pengasong. “Yang lebih berbahaya adalah justru distributornya.” Pungkasnya. Beliaupun membenarkan, jika gerakan Sepilis telah menyusup dalam program deradikalisasi yang digulirkan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Terbukti, dalam buku yang diterbitkan oleh Lazuardi Birru, penulisnya menggadang-gadang pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid yang telah melecehkan Al-Quran dan divonis murtad oleh Mahkamah Mesir.
Sejak awal, ia menaruh curiga, para pengasong sepilis telah memanfaatkan isu terorisme untuk menyebarkan paham sepilis tanpa kita sadari. Mulai dari memelintir ayat-ayat jihad hingga menafsirkan Al Qur’an dengan cara hermeneutika.
Jika menyimak buku yang diterbitkan oleh Lazuardi Birru berjudul “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Teroris” terdapat tulisan Mu’ammar Zayn Qadafy yang diberi judul “Aplikasi Teori Interpretasi Nashir Hamid Abu Zaid Dalam Ayat-ayat Qital”. Kenapa, seorang Nashir Hamid Abu Zaid yang jelas-jelas melecehkan Al Qur’an itu malah disusupkan dan digadang-gandang dalam program deradikalisasi. Aneh!
Mungkin tak semua pembaca tahu, siapa Nashir Hamid Abu Zaid itu (atau maksudnya Nasr Hamid Abu Zayd)? Menurut Adian Husaini dalam bukunya “Membendung Arus Liberalisme di Indonesia” (Penerbit Pustaka Al-Kautsar), Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh liberal yang pendapat-pendapatnya sangat ekstrim, sehingga dia divonis murtad oleh Mahkamarh Mesir. Dia lalu melarikan diri ke Leiden University. Dari sanalah, ia dengan dukungan negara Barat, mendidik beberapa dosen UIN/IAIN. Beberapa muridnya sudah kembali ke Indonesia dan menduduki posisi-posisi penting di UIN.
Di Indonesia, para penghujat Al-Qur’an di kampus-kampus UIN/IAIN hampir selalu menjadikan Abu Zayd sebagai rujukan. Menurut Nasr Abu Zayd, Al Qur’an bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah kepada Muhammad Saw, melainkan produk budaya. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Juga dikatakan Abu Zayd, “Sebagai budaya, posisi Al Qur’an tidak berbeda dengan rumput.”
Apalagi, Nasr Hamid Abu Zayd pun melecehkan metodelogi Imam Syafi’I, dan menyimpulkan poligami bukan ajaran Islam. Juga dalam hal warisan, hukum 2:1 dinilai belum final.
Atas pemikirannya, kunjungan Nasr Hamid Abu Zayd ke Indonesia ditolak di sejumlah daerah, seperti Riau dan Malang. Pada 23 November 2007, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) menerima pernyataan sikap dari MUI Riau dan sejumlah ormas Islam lainnya tentang penyelenggaraan Konferensi Tahunan Studi Islam ke-7 yang diselenggarakan di UIN Riau. Dalam pernyataan sikapnya, ditegaskan: “Umat Islam Riau Tolak Kehadiran Nasr Hamid Abu Zayd. MUI Riau mempersoalkan mengapa dalam acara tersebut akan diundang Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, ilmuwan Mesir yang divonis murtad oleh Mahakamah Mesir karena tulisan-tulisannya dinilai melecehkan Al-Qur’an (nahimunkar.org)
Setelah tidak ada institusi Negara Khilafah, beragam sikap dan perbuatan penyimpangan akidah (riddah) dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Undang-undang yang ada di negara Kapitalisme-sekular terlihat mandul dan tidak dapat berbuat banyak menghadapi para pelaku penyimpangan akidah yang telah mengimunisasi dirinya dengan racun demokrasi, kebebasan dan HAM. Padahal diantara peran negara adalah menjaga kemurnian akidah yang dianut oleh warga negaranya.
Wallahu alam bis shawab