sumber:google |
Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah_peribahasa
Publik dikejutkan dengan sinema dokumenter bertajuk Sexy Killers. Film ini tiba-tiba menyeruak di tengah hangatnya suhu Pilpres lalu. Jalan ceritanya mengulas dampak penggalian tambang batu bara dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terhadap lingkungan hingga masyarakat sekitar.
Seketika reaksi berdatangan. Tak kurang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan pun ikut meradang. Ia menampik informasi yang diungkapkan dalam film tersebut.
"Tidak benar itu. Kurang kerjaan itu," tegas Luhut, (cnnindonesia, 22/4/2019).
Film dokumenter yang diunggah lewat channel WatchDoc pada Sabtu (13/4) lalu itu mengisahkan beberapa penggalian tambang batu bara di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra. Banyak perusahaan raksasa ikut terlibat. Salah satunya perusahaan batu bara, PT Toba Bara Tbk (TOBA) di mana Luhut sebagai pemegang sahamnya.
Perusahaan penambang itu disebut-sebut sebagai bagian dari pihak yang dianggap tak bertanggung jawab dengan konsekuensi yang diderita masyarakat sekitar. Seperti air dan udara yang tercemar, tidak ditutupnya sisa galian tambang, dan mengambil lahan kerja transmigran yang sebagian besar bertani. Berbagai kisah tragis pun terungkap antara lain lubang-lubang bekas tambang yang memakan banyak korban jatuh di dalamnya, utamanya bocah.
Tak Sekedar Dampak Lingkungan
Hadirnya film dokumenter ini jelang momen Pilpres lalu memang cukup seksi alias menarik. Sebab liputannya seolah menelanjangi borok akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan korporat besar di sektor tambang. Khususnya mereka yang berada dalam lingkaran di sekitar kedua pasangan capres-cawapres.
Terkait rusaknya lingkungan sejak lama sebenarnya telah menjadi rahasia umum. Tak ada hal yang benar-benar baru dari sisi fakta hanya berbeda korban dan pelaku. Sebab bila dicermati hampir semua eksplorasi tambang saat ini menyisakan elegi sedih yang dirasakan alam dan manusia yang menghuni di atasnya. Maka seksi yang tersisa untuk dikupas adalah peran kapitalisme yang bermain di balik layar.
Ya, apa lagi selain ideologi kapitalisme? Lazim diketahui yang menonjol dari kapitalisme ialah ciri individualisnya. Individu maupun golongan dibebaskan dalam hal tingkah laku maupun kepemilikan. Maka asas manfaat dengan sendirinya hadir. Selama mendatangkan manfaat maupun keuntungan bagi individu akan disikat. No free lunch kata para pengusungnya. Berlaku pula untuk tambang, yang masih menghasilkan niscaya dibabat. Masa bodoh meski alam yang indah menjelma jadi cacat.
Khusus tambang batu bara yang disorot film ini misalnya, harganya tergolong murah dan keberadaannya melimpah di negeri ini. Sebagai bagian dari energi fosil, batu bara memiliki kepadatan energi medium; tiap kg batu bara mampu menghasilkan 3-4 kWh listrik. Limpah ruahnya batu bara dan penambangannya yang relatif mudah membuat energi fosil ini menjadi komoditas menarik. Ekspansi batu bara pun jadi bancakan korporat raksasa. Tahun 2018, misalnya, penambangan batu bara mencapai 528 juta ton, naik dari tahun 2017 sebesar 461 juta ton. Dari angka tersebut, 115 juta ton dijual di dalam negeri, naik dari 97 juta ton pada tahun 2017. (kontan.co.id, 4/1/2019). Bisa terbayang margin keuntungan yang bisa diraup.
Celakanya kapitalisme abai terhadap masalah limbah yang galib dihasilkan dari tambang ini. Apa pasal? Sebab pengolahan limbah butuh biaya tinggi. Menginternalisasikannya dalam ongkos produksi akan berimbas pada harga jual. Konsekuensinya margin keuntungan jelas kan bergeser ke kiri alias berkurang. Hal yang haram hukumnya dalam dunia kapitalis.
Sampai di sini jelas bahwa sengkarutnya kerusakan alam hanya buah dari penerapan kapitalisme. Melanggengkan eksistensi ideologi ini sama saja dengan membiarkan harmoni alam terkoyak, ekosistem rusak, hingga risiko masa depan generasi tercabik.
Mutlak Alternatif Pengganti
Sayang sampai akhir film ini tak menyajikan solusi alternatif dari kisruh soal tambang batu bara ini. Padahal jika kapitalisme hanya mendatangkan kerusakan mengapa tak berpaling pada Islam yang pasti membawa kemaslahatan? Sebab Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Allah SWT berfirman:
“Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS An-Nahl: 89).
Islam mengatur sumber daya energi yang melimpah merupakan milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Rasulullah ﷺ bersabda,
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, api, dan padang gembalaan.” (HR Ahmad)
Termasuk yang dikatakan api pada Hadits ini adalah sumber energi. Hadits ini menekankan bahwa umat Islam berserikat dalam energi; dengan kata lain, energi adalah kepemilikan umum. Ketika suatu hal menjadi kepemilikan umum, maka diharamkan bagi individu untuk mencegah individu lain untuk mengaksesnya. Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Dalam hal pengelolaan sumber daya energi, tidak mungkin tiap individu memiliki sumber daya yang cukup untuk mengelolanya sendiri. Maka, negara mewakili umat untuk mengelola kepemilikan bersama umat. Dengan sumber daya yang dimiliki, negara mengolah sumber daya energi dan mengembalikannya pada umat. Negara berhak menentukan mekanisme pengembaliannya, apakah digratiskan, sekadar balik modal, atau mengambil keuntungan. Jikalau mengambil keuntungan, maka negara menggunakan keuntungan itu untuk membiayai kepentingan umat yang lain. Negara haram mengambil harta milik umum untuk kepentingannya.
Di sisi lain pengelolaan sumber daya energi tidak boleh menyebabkan bahaya. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.” (HR Ahmad dan Ibn Majah)
Polusi udara yang dapat menyebabkan kematian adalah bahaya. Pencemaran lingkungan dan kerusakan ekologis yang mengancam kehidupan manusia dan alam adalah bahaya. Maka, pemanfaatan energi tidak boleh menyebabkan bahaya-bahaya tersebut.
Pemanfaatan energi fosil, dalam hal ini batu bara, harus dirancang sedemikian rupa agar tidak menimbulkan bahaya. Rekayasa teknologi harus dikerahkan untuk mencegah pelepasan CO2 secara signifikan ke atmosfer, sebagaimana terlepasnya polutan berbahaya juga harus dicegah. Tegasnya penambangan batu bara tidak boleh sampai menyebabkan kerusakan ekologi. Miitigasi pencemaran limbah juga harus diterapkan sebelum tambang dapat beroperasi.
Penzaliman terhadap penduduk sekitar pun tidak boleh dilakukan. Jika dibutuhkan ganti rugi atau sejenisnya, negara wajib memberi mereka kompensasi yang layak. Demikianlah alih-alih menjadikan negeri ini bagai arena laga para kapitalis, Islam justru lugas dan tuntas menawarkan alternatif solusi bagaimana sumber daya energi seharusnya dikelola. Wallaahu a’lam.
Ummu Zhafran
(Pendidik juga pengasuh grup Ibu Cinta Quran)