Oleh : R.A Larasati
Sejak 2014 hampir 13.000 muslim di China dikumpulkan di ‘kemah konsentrasi’ di Xinjiang, China. Aksi ini dikatakan sebagai tindakan deradikalisasi yang berasaskan hukum oleh pemerintah China. Namun, nyatanya siksaan, tekanan dan penindasan dialami oleh ribuan muslim Uighur disana. Sejak 2017, tentara militer Myanmar secara brutal melancarkan aksi genosida. Sampai saat ini sebanyak 730.000 pengungsi terlantar di berbagai kemah pengungsian di Bangladesh. Di belahan dunia lain, perang tak berkesudahan yang berlangsung di Syria membuat sekitar 8 juta penduduk Syria terpaksa harus keluar dari tanah kelahirannya, menjadik. Belum lagi penderitaan kaum muslimin di belahan dunia lainnya seperti di Palestina dan Mali.
Namun kebanyakan dari kita tidak menyadari, malah cenderung acuh terhadap hal ini. Contohnya saat krisis di Myanmar, Malaysia yang dengan tegas menolak pengungsi Rohingya masuk ke negaranya, bahkan menyebutnya sebagai migrasi illegal. Demikian juga di Indonesia, setiap ada saudara kita yang mengalami penderitaan, aksi kita hanya terbatas dengan doa bersama atau pengumpulan dana. Bermilyaran dana sudah terkirim, berton – ton bantuan logistik pun telah diterima oleh saudara kita di palestina dan Syria. Namun apakah bantuan tersebut menghentikan perang dan melindungi mereka dari penjajah?
Rasulullah bersabda, “Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [HR. Muslim]. Sesama muslim seharusnya satu rasa dan satu jiwa. Dimanapun saudara kita mengalami kesulitan, hendaknya kita ikut merasakan sebagaimana yang ia rasakan. Selayaknya orang yang terjajah tentu bukan hanya makanan dan uang yang dibutuhkan, tapi bebas dari penjajahannya tersebut. Maka, bila kita sudah satu rasa seharusnya kita dipenuhi rasa perjuangan untuk membebaskan saudara – saudara kita dari penjajahan dan penindasan. Bukan hanya hidup tenang dan sekedar mengirim bantuan.
Kondisi seperti ini tidak lain akibat dari terpecah belahnya negeri – negeri Islam yang dulunya satu. Kita terkungkung dengan paham nasionalisme yang lebih mementingkan negeri kita dahulu dibanding orang yang tidak satu bangsa. Segala hal tentang bantuan luar negeri, harus melewati birokrasi yang rumit dan berbelit – belit.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan rasa nasionalisme, karena hal ini adalah perasaan fitrah yang dimiliki setiap manusia. Rasa cinta tanah air juga dirasakan oleh Rasulullah saw. Ibnu Abbas dalam hadis riwayat al-Tirmidzi menjelaskan betapa cinta dan bangganya Rasul pada tanah kelahirannya. Rasa cinta tersebut terlihat dari ungkapan beliau terhadap Mekkah. Beliau mengatakan, “Alangkah indahnya dirimu (Mekkah). Engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekkah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini” (HR: al-Tirmidzi). Dari hadist ini kita dapat memahami bahwa merindukan dan mencintai tanah kelahiran adalah hal yang fitrah dan dibolehkan. Namun, apabila peletakkan rasa ini melebihi dari segalanya, termasuk cinta pada saudara sesama Muslim, disinilah yang salah. Penyerahan kesetiaan tertinggi pada negara haruslah didorong oleh dorongan akidah Islam. Bukan hanya atas dasar nasionalisme dan patriotisme. Bila hanya atas dasar nasionalisme, umat Islam akan terkotak – kotak pada negara masing – masing. Persatuan dan kebangkitan seluruh umat Islam akan sulit tampak. Tidak heran ada negara Islam yang pendapatan perkapitanya termasuk yang tertinggi, namun ada juga negara Islam yang rakyatnya kelaparan bahkan terbuang.
Bila kita cermati kilas balik sejarah, sebenarnya kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari perjuangan pahlawan yang berjuang dengan semangat menegakkan agama Islam. Pahlawan seperti Diponegoro, Jenderal Sudirman, dan Imam Bonjol berjuang atas dasar keimanan yang kokoh. Bentuk perjuangan Pangeran Diponegoro misalnya, bukan hanya berdasarkan jiwa nasionalisme tapi sebagai bentuk penolakan terhadap kedaulatan sistem asing yang batil. Hal ini terbukti dengan isi surat beliau yang ditujukan oleh jenderal de Kock yang berbunyi, “Kepada Saudara Jenderal de Kock Saya mohon maaf Jika anda bertanya Apa keinginan Aryo (Diponegoro) Sungguh bila punya keinginan Hanya untuk meninggikan agama Di seluruh tanah Jawa Jika anda benar-benar Tidak membuat kesulitan Kepada agama Islam di tanah Jawa Maka Aryo bersedia Berdamai dengan anda” demikianlah seharusnya rasa cints tanah air yang berdasarkan kekuatan aqidah.
Maka bersatu atas dasar kekuatan Aqidah Islam dalam naungan Khilafah harus kita perjuangkan bersama- sama. Persatuan umat Islam sebenarnya bukanlah hanya mimpi, ini adalah realita yang tercatat dalam sejarah. Seluruh umat Islam pernah bersatu dalam satu daulah Islam dengan sistem pemerintaan Khilafah Islamiyah. Saat itu, meski dipisahkan jarak antar benua, umat Islam satu dan lain saling terhubung. Sebagai contoh, pada tahun 1500-an wilayah Aceh dijajah oleh Portugis yang ingin menguasai jalur perdagangan di pesisir utara Sumatera. Akhirnya Sultan Alaiddin Raiyat Syah mengirim wakil untuk menyampaikan pesan kepada kekhilafahan Ustmani untuk meminta bantuan. Sultan Selim II pun memerintahkan untuk mengirimkan armada ke Aceh yang berisi tentara yang kuat, ahli senapan, dan senjata, dan logistik.
Sejak masa kepemimpinan Rasulullah SAW sampai Kekhilafahan Turki Ustmani umat Islam bersatu dalam naungan Khilafah. Namun saat ini, Persatuan seluruh negara Islam dalam satu kepemimpinan (baca:khilafah Islam) selalu dipandang utopis oleh berbagai kalangan. Hal ini bertolak belakang dengan catatan sejarah dimana Sekitar 14 abad yang lalu, telah berdiri sebuah Negara adidaya yang menjadikan aqidah Islam sebagai landasan berdirinya. Setiap manusianya satu rasa dan satu pemikiran dibingkai dalam tali ukhuwah yang kuat berasaskan Islam. Itulah Daulah Islam (Negara Islam).
Kurshid Ahmad dalam bukunya Al ‘Ala al Maududi mengatakan bahwa selama 14 abad tidak ada asas atau konsep ideal yang digunakan oleh penguasa selain konsep Islam. Semua gagasan selain Islam tidak pernah memikat imajinasi mereka. Tidak ada kecintaan dan kesetiaan melampaui kecintaan terhadap Islam. Maka, Islam mampu menyebar dari Arab hingga Nusantara, menyebar ke Afrika, Mongol dan Turki, walau berbeda kultur, wilayah dan bahasa. Atas dasar kekuatan aqidah Islamiyah jutaan umat muslim diseluruh dunia mampu bersatu dalam keagungan Khilafah. Ketika umat bersatu, kekuatan kaum Muslimin akan semakin kokoh, tidak ada lagi penjajahan dan penindasan atas kaum Muslimin. Maka kawan, jika aku rindu akan persatuan, apakah kamu juga?