Oleh: Surfida, S.Pd.I (Pengajar)
UU terorisme Kembali tayang. Jika yang lalu ditujukan kepada mereka yang menggunakan panci, paku yang di rakit untuk di ledakan atau mereka yang menggunakan bom paket untuk menakuti targetnya. Sekarang UU terorisme di gunakan untuk memberikan sanksi kepada orang yang menyebarkan hoaks saat menjelang pemilu.
Seperti yang dilansir dari Dkatada.co.id, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mewacanakan penggunaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk menindak para penyebar hoaks. Sebab, dia menilai hoaks yang kerap beredar telah menganggu keamanan dan menakut-nakuti masyarakat.
Menurutnya hoaks tersebut telah serupa dengan aksi teror, seperti yang terjadi terkait pemilihan presiden (pilpres) atau pemilu 2019. "Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS (tempat pemungutan suara), itu sudah terorisme. Untuk itu maka kami gunakan UU Terorisme," kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Akibatnya, wacana tersebut menimbulkan pro - kontra dikalangan para pakar politik. Salah satunya Rocky Gerung. Pakar Filsafat dan Politik ini, memberikan tanggapan bahwa "UU Terorisme menangkap hoaks itu seperti meriam untuk menembak nyamuk. Ajaib betul." Tanggapan itu disampaikannya dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang mengambil topik 'Tepatkah Hoax Dibasmi UU Anti Terorisme?' yang tayang di tvOne, Selasa (26/3/2019).
Tanggapan tersebut keluar karena wacana yang dilontarkan terlihat menggelikan, dan ini memperlihatkan kepanikan rezim yang takut kalah. Seharusnya pemerintah menggunakan UU ITE jika memberantas hoaks dalam sistem saat ini, karena pelaku hoaks sebelumnya juga ditahan dengan menggunakan UU ITE.
Jika dilihat lagi, pemerintah pilih kasih dalam memerangi hoaks. Karena selama ini yang sering membuat hoaks adalah pendukung pemerintah. Maka wajarlah Rocky Gerung mengatakan bahwa produsen hoaks terbesar adalah penguasa, karena mereka memiliki kekuasaan dan perangkat yang bisa dimainkan.
Seperti proses hukum Viktor Laiksodat politisi Nasdem, proses hukumnya berhenti ditengah jalan. Padahal ia telah nyata melakukan ujaran kebencian kepada lawan politiknya saat berpidato dalam suatu acara di NTT. Beliau berbicara soal partai-partai politik yang dituduhnya pro-khilafah dan intoleran. "Kelompok-kelompok ekstremis ini ada mau bikin satu negara lagi, tidak mau di negara NKRI, mau ganti dengan nama negara khilafah," ujar Viktor dalam video itu seperti yang dilihat detik.com pada Jumat (4/8/2017). Dan masih banyak lagi pendukung pemerintah yang sering meyebarkan ujaran kebencian, diantaranya Said Aqil Siradj (ketua PBNU), Yaqut Cholil Qoumas (Ketua Banser), namun tak pernah disentuh hukum.
Seandainya pemerintah serius memerangi hoaks dengan menggunakan UU Terorisme, seharusnya dimulai dulu dari pendukungnya, karena banyak pendukungnya yang menyebarkan hoaks bahkan sang caprespun ikut-ikutkan menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian (https://suaranasional.com).
Ketika UU Terorisme tersebut hanya menyasar lawan politiknya atau pihak oposisi yang saat ini menginginkan perubahan, maka ini membuktikan pemerintah dan pendukung petahana panik sehingga ingin menakut-nakuti rakyatnya. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua BPN (Badan Pemenangan Nasional) Andre Rosiade, Jangan sampai hukum itu terindikasi tajam ke pendukung Pak Prabowo tapi tumpul kepada para pendukung Pak Jokowi," imbuhnya. (Detik.News, 23/3/2019).
Begitulah sistem demokarsi, saat terjepit pasti akan menghalalkan segala cara agar bisa mempertahankan kekuasaanya. Karena menurut sistem ini kekuasaan adalah segalanya. Sehingga ada saja yang dilakukan untuk menyerang lawan politiknya. Salah satunya wacana tersebut. Karena harapan mereka adalah jika nanti salah seorang dari kubu oposisi dijerat UU Terorisme, maka ada harapan bahwa pendukung oposisi akan beralih mendukung petahana. Dengan begitu mereka tidak cape-cape lagi mempromosikan tuannya yang saat ini sudah kehilangan kepercayaan dimata rakyat.
Jika politik dalam sistem demokrasi menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai, maka lain halnya dengan politik dalam Islam. Dalam sistem Islam, politik itu tidak ditujukan untuk menguasai kekayaan negara atau untuk memperkaya diri. Namun politik itu ditujukan untuk menegakan hukum syara. Sehingga hubungan penguasa dan umat adalah hubungan saling menguatkan dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Penguasa dan umat akan menghidupkan budaya amar ma’ruf dan nahi mungkar. Bukan sekedar hubungan pemenang dan oposis. Karena dalam Islam amar ma’ruf dan nahi mungkar bukan saja tugasnya para ulama atau kiyai, tetapi negara juga ikut andil dalam beramar ma’ruf melalui aturan yang diterapkan dalam semua lini kehidupan. Dengan begitu tidak akan ada yang gontok-gontokan agar menjadi penguasa. Apalagi seorang pemimpin adalah orang yag mampu bukan hanya asal-asalan.
Oleh karena itu, saatnya kita hentikan sistem yang selalu menyengsarakan rakyat ini, dan marilah kita berjuang agar sistem yang mampu memberikan kesejahteraan kepada umat bisa tegak dan mampu menolong saudara-saudar kita yang saat ini dibantai para teroris kafir laknatullah.
“Wallahu’alambishowab”