Oleh : Rita Yusnita
(Komunitas Pena Islam)
Akhir-akhir ini situasi perpolitikan di tanah air sedang memanas. Karena sebentar lagi, tepatnya di April 2019 akan ada hajat besar, yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) yang biasa diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Dalam sistem sekarang setiap ajang Pemilihan Umum (pemilu) tidak terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan cara pemenangannya atau kampanye. Baik itu dilakukan dengan cara yang sehat maupun curang. Setiap orang yang berada dalam kelompok tersebut akan berusaha dan berlomba-lomba menampilkan sosok jagoannya sebagai calon yang pantas dipilih dan pantas berkuasa walau faktanya banyak yang hanya berwacana.
Menapa mereka berbuat seperti itu? Jawabannya mudah karena dalam sistem Demokrasi kekuasaan adalah segalanya. Uang dan jabatan dapat mereka raih dengan mudah. Lalu, ketika langkah-langkah mereka terancam, maka merekapun mencari cara untuk membungkam lawan politiknya .
Wiranto, Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) mewacanakan penggunaan Undang-undang nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasn Tindak Pidana Terorisme untuk menindak para penyebar hoaks. Sebab, dia menilai hoaks yang kerap beredar telah mengganggu keamanan dan menakut-nakuti masyarakat. Menurutnya hoaks tersebut telah serupa dengan aksi teror seperti yang terjadi terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. "Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tak datang ke TPS (tempat pemungutan suara), itu sudah terorisme. Untuk itu, maka kami gunakan UU Terorisme" kata Wiranto di kantornya. Jakarta,Rabu (20/3).
Lain hal dengan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yang menyatakan, "Saya belum menemukan dalilnya, saya cari-cari teroris itu kan satu tindak kekerasan yang membuat orang takut, korbannya masyarakat umum membahayakan jiwa dan sebagainya". Dalam pandangannya pula beliau mengatakan bahwa baik tindak pidana terorisme atau tindak pidana penyebar kebohongan memiliki definisinya masing-masing. Karenanya jika Wiranto sampai menyebut keduanya dapat saling jerat, maka hal itu harus dikaji lagi lebih mendalam.
Dalam Pandangan Islam, kekuasaan bukan sekadar alat untuk memperoleh jabatan dan dukungan rakyat. Tetapi lebih dari itu, kekuasaan adalah bagaimana merealisasikan hukum Allah bagi seluruh umat manusia, menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar. Sebagaimana dulu metode dakwah Rasulullah SAW ketika melihat kerusakan sistem politiknya yang parah di dalamnya.
Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) yang menyentuh seluruh aspek kehidupan. Tidak memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat, rumah tangga dan negara, ekonomi, sosial, dan juga budaya. Satu hal yang pasti bahwa Allah akan memberikan kemenangan kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dalam bentuk kekuasaan.
Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran yang artinya, "Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal sholeh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul supaya kamu diberi rahmat".(Q.S.An-Nuur :55-56).
Dengan kekuasaan itulah Islam akan membawa kehidupan masyarakat dengan tingkat moral, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya yang rendah (jahiliyah) menuju masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada nilai-nilai, norma hukum, moral. Semua itu ditopang dengan keimanan yang kuat sehingga bisa bersama-sama menjaga kedaulatan. Negara.