Oleh: Sri Kuntari Ludyakarmi
(Ibu Rumah Tangga)
Penyamaan hoax dengang aksi teror oleh Wiranto memunculkan wacana pelaku hoax dikenakan pasal di UU Anti-Teror. Kekhawatiran Wiranto muncul setelah hoax yang beredar bahwa pemilu akan ricuh oleh gerakan massa yang dia sebut people power. Wiranto menganggap penyebaran isu tersebut sudah masuk kategori meneror masyarakat. Seperti yang terjadi terkait pemilihan presiden (Pilpres) atau pemilu 2019."Kalau masyarakat di ancam dengan hoax untuk tidak datang ke TPS, itu sudah terorisme. Untuk itu maka kami gunakan UU Terorisme."kata wiranto di kantornya. Jakarta, Rabu (20/3). Wiranto meminta agar aparat keamanan dapat menjamin pelaksanaan pemilu 2019. Pemerintah telah mengerahkan 593.812 personel TNI dan Polri dalam menjaga pemilu 2019 berlangsung damai. "Sehingga kami yakin dapat mengamankan (Pemilu) itu agar masyarakat tenang,"kata Wiranto.
Masyarakat takut ke tempat pemungutan suara atau mencoblos karena terancam oleh berita hoax, itu tidak masuk akal. Jadi hoax sama sekali tidak sama dengan ancaman teror. Pernyataan bahwa penyebaran kontem hoax bisa ditindak berdasarkan UU Terorisme itu solusi panik, solusi yang menunjukan ketakutan berlebihan atas hal-hal yang belum tentu terjadi. Apabila dikaitkan dengan penyelenggaraan Pemilu, terlihat ada kecemasan yang diperlihatkan pemerintah. Jelas karena dalam demokrasi kekuasaan harus diraih meski dengan cara apapun.
Padahal dalam islam kekuasaan bukan ajang untuk menentukan siapa yang menguasai dan dikuasai tapi washilah untuk menegakkan hukum syara. Sehingga hubungan antara penguasa dan umat adalah hubungan saling menguatkan dalam ketaatan dan menghidupkan amar ma'ruf nahi munkar. Hal ini hanya bisa terlaksana jika umat menerapkan sistem islam dalam bingkai daulah khilafah.
Wallohu’alam Bi Shawwab.