Politik Uang Berkeliaran, Siapa yang Diuntungkan?


Oleh: Kunthi Mandasari

(Member Akademi Menulis Kreatif)


Menjelang pesta demokrasi, tradisi money politik selalu terulang. Money politik, politik uang, vote buying, serangan fajar atau apapun istilahnya memang marak terjadi menjelang pencoblosan. Terutama di wilayah pulau Jawa.

Dari hasil pemetaan potensi politik uang di Laboratorium Big Data Analytics dan PolGov Research Center Fisipol UGM, Wawan Mas'udi mengatakan, kesimpulan itu didapatkan dari analisis terhadap 7.647 percakapan terkait varian politik uang di sosial media. Analisis dilakukan mulai dari tgl 2-12 April 2019, dengan Jawa Barat menjadi daerah densitas percakapan tertinggi yakni 433 percakapan. Kemudian disusul DKI Jakarta dengan 358 percakapan dan Jawa Timur sebanyak 222 percakapan, (republika.co.id, 15/04/2019).

Bahkan untuk praktik jual beli suara tidak memandang jenis kelamin dan umur. Namun sangat dipengaruhi oleh kelas sosial yakni pendidikan dan pendapatan pemilih. Sehingga jual beli suara masif dilakukan di daerah yang memiliki pendidikan dan pendapatan rendah yang banyak. Serta di daerah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi.

Biasanya para pelaku mulai bergerak di masa tenang hingga menjelang pencoblosan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti Psikologi dari Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk, mendapatkan hasil bahwa keterpilihan seorang calon ditentukan oleh tiga hal yakni: diketahui, dikenal dan disukai, (kompas.com, 15/04/2019).

Agar para calon mendapatkan tiga hal tersebut, maka berbagai upaya dilakukan. Baik melalui interaksi secara langsung melalui kunjungan, busukkan, pencitraan maupun melalui iklan atau aktif di media sosial.

Namun ada pula yang menempuh cara instan untuk mendapatkan suara. Karena fakta yang ada di lapangan, masyarakat banyak yang tidak mengenal calon secara personal karena jumlahnya banyak. Kecuali mereka memiliki hubungan seperti keluarga atau tetangga. Maka solusi yang paling mudah dengan menggunakan politik uang. Mereka tidak perlu bersusah payah dan cukup menyiapkan modal yang besar. Sehingga para calon mampu lolos menjadi pemenang dalam pemilihan.

Para pelaku money politik tidak bergerak secara individu. Mereka bergerak secara masif dan sistemik. Tentu dari sini bisa kita bayangkan besaran uang yang mesti digelontorkan. Sehingga muncul pertanyaan, dari mana mereka memperoleh uang tersebut? Benarkah ketika mereka menang akan mengabdi pada rakyat? Apakah mereka tidak rugi jika mengeluarkan banyak modal tetapi tidak mendapatkan keuntungan?

Kita hidup di sistem demokrasi yang menggunakan sistem ekonomi kapitalisme. Dimana segalanya ditakar berdasarkan untung rugi. Sehingga tidak mungkin ada orang yang rela kehilangan modal yang banyak tanpa keuntungan didapat. Dalam demokrasi sendiri hanya mengutamakan suara terbanyak, tidak peduli halal haram maupun haq dan bathil. Maka jika jalan yang  ditempuh ialah politik uang bukanlah hal yang mengejutkan. Karena tujuannya jelas yakni hanya untuk memperoleh suara yang unggul dan keluar sebagai pemenang. 

Beginilah ketika sistem yang digunakan hasil dari pemikiran manusia yang terbatas. Demokrasi yang memiliki slogan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat pada praktiknya dalam pemilihan tidak berlaku. Karena yang ada suara dimanipulasi melalui money politik oleh para calon dan hasilnya untuk korporasi yang telah mensponsori.

Dari sinilah penyebab kebanyakan orang enggan berbicara urusan politik. Karena dianggap ranah yang penuh tipu daya dan keburukan. Padahal politik dalam Islam merupakan sarana untuk mengurusi umat dengan landasan syariat Allah SWT. Sehingga politik dalam Islam hanya bisa dibangun melalui jalan takwa. Maka tidak mungkin untuk mendapatnya ditempuh melalui politik uang. Sebagaimana ditegaskan larangannya melalui sabda Rasulullah SAW yang mana melaknat orang yang memberi suap dan menerima suap, (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313).

Hakikatnya politik dalam Islam adalah politik takwa. Jabatan atau kekuasaan hanya diberikan kepada mereka yang mampu. Karena jabatan merupakan amanah dari Allah SWT yang kelak pasti akan dimintai pertanggungjawaban. 

Hanya saja politik Islam ini tidak bisa diterapkan dalam sistem demokrasi yang memiliki sifat bertolak belakang. Maka hanya dengan ketika syariat Islam diterapkan total melalui sistem pemerintahan Islam (Khilafah) saja politik Islam ini bisa diwujudkan. Wallahu'alam bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak