oleh :
Saptaningtyas
Gelaran pesta demokrasi baru sepekan berlalu tapi riuhnya belum sirna. Pesta rakyat lima tahunan kali ini menyajikan begitu banyak cerita. Jauh hari sebelum pesta, presiden yang juga capres petahana mengajak rakyat tuk berpesta demokrasi dengan penuh gembira. Hal ini beliau sampaikan bisa jadi untuk mensikapi memanasnya suhu politik tanah air menjelang hari pencoblosan tiba. Hiruk pikuk pemilu 2019 memang telah terjadi jauh hari sebelum masa kampanye tiba. Kesan amburadul tampak nyata saat hari H, mulai dari tak tersedianya logistik pemilu di banyak tempat pemilihan suara, semrawutnya data DPT, hilangnya surat suara, atau ada pula surat suara yang dinilai telah tercoblos kandidat tertentu sebelum waktunya. Beberapa jam dari masa pemilihan kekisruhan makin dipertontonkan, dugaan penggiringan opini melalui lembaga-lembaga hitung cepat menjadi polemik. Masing-masing pihak akhirnya saling klaim kemenangan. Dugaan kecurangan ramai menjadi perbincangan, dijagat nyata apalagi di jagad maya.
Hingga hari sepekan pasca pesta pencoblosan ternyata riuh tak kunjung reda, dugaan kecurangan melibatkan KPU terus mengemuka, pasalnya kejanggalan yang disebabkan human eror penginputan oknum KPU dalam situngnya dinilai merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain. Saling tuduh berlaku curang terus saja jadi sajian, gerakan tuntutan pemilu jurdilpun terus digelorakan. Sejumlah relawan sejak awal hari pemilihan terus berjaga dan siap sedia. Namun ternyata sejumlah peristiwa yang menggambarkan ngerinya pemilu kali ini terus saja terjadi dan tak terelakkan. Dugaan pembegalan ataupun pelenyapan form C1 terjadi, ada pula peristiwa terbakarnya gudang penyimpanan surat suara, bahkan tindak kriminal pun mesti rela diterima oleh sejumlah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Ada anggota KPPS yang mengalami pemukulan, ada yang menjadi korban pembacokan, ada juga yang mengalami penganiayaan dan penculikan. Tak hanya mengesankan sadis, bahkan pemilu kali ini dapat dikata pemilu paling brutal sepanjang sejarah negri ini.
Korban jiwa dengan jumlah tak biasa terjadi pada pemilu kali ini. Dikutip dari cnnindonesia.com (senin,22/4), KPU menyebut ada 91 orang petugas KPPS meninggal dunia dan 374 lainnya sakit saat bertugas di Pemilu 2019. Bawaslu juga mencatat ada 14 orang Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang meninggal dunia. Sementara ada 222 orang lainnya mengalami sakit.
Bahkan tidak hanya anggota KPPS dan panwaslu yang menjadi korban, sejumlah aparat polisi yang bertugas mengamankan pemilu pun dilaporkan meninggal dunia. Mabes Polri mendata 15 anggota kepolisian gugur usai bertugas mengamankan jalannya Pemilu 2019 (detik.com 22/4). Sebagian besar korban tersebut diduga karena mengalami kelelahan dalam melaksanakan tugasnya.
Rusaknya Sistem Demokrasi
Sebelum hari H pencoblosan tiba, sejumlah pihak telah menyoroti pelaksanaan pemilu ini. Bbcindonesia (15/4) dalam lamanya telah memberitakan lembaga kajian Australia, Lowy Institute, menyebut bahwa pemilihan umum 2019 di Indonesia termasuk paling rumit dan paling menakjubkan di dunia karena skalanya yang besar dan dilaksanakan dalam satu hari saja.Jumlah pemilih sebanyak 193 juta orang pada pemilu kali ini merupakan yang terbesar di dunia dalam hal memilih presiden secara langsung. Jumlah ini bertambah sebanyak 2,4 juta orang dari pemilu 2014 lalu. Pemungutan suara dilaksanakan di 809.500 tempat pemungutan suara (TPS), di mana setiap TPS akan melayani sekitar 200 hingga 300 orang pada saat hari pencoblosan. Pada pemilu tahun 2014, jumlah TPS sekitar 500.000 dan setiap TPS melayani sekitar 400 pemilih. Sedangkan jumlah total calon anggota legislatif yang bersaing sebanyak 245.000 orang yang memperebutkan sekitar 20.500 kursi yang ada di 34 provinsi dan sekitar 500 kabupaten kota. Pada hari yang sama, pemilu di Indonesia menjalankan lima pemilihan bersamaan yaitu pemilihan presiden-wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Dengan segala kerumitanya ini belum lagi ditambah panasnya iklim demokrasi bahkan mungkin diperparah dengan kurangnya sapras dan logistik yang diperlukan petugas. Wajar jika terjadi kelelahan secara massal pada para petugas penyelenggara pemilu tersebut hingga mengakibatkan adanya korban meninggal dunia
Menyikapi hal ini Presiden Jokowi turut menyatakan duka yang mendalam. Meninggalnya para petugas KPPS usai menjalankan tugas menurut Presiden Jokowi membuat mereka patut dijuluki sebagai pahlawan demokrasi Indonesia (viva. co. id 22/4). Sementara itu wakil presiden Jusuf Kalla menyatakan perlu ada evaluasi yang keras terhadap pemilu kali ini. Pemilu mendatang pelaksanaan pilpres dan pileg mesti kembali dipisah. Dan perlu menjadi catatan bahwa untuk pelaksanaan pileg perlu dilakukan secara tertutup agar tidak terjadi kerumitan dalam menghitung. Akibat banyaknya korban meninggal dunia berbagai pihak lain baik dari KPU sendiri, mendagri bahkan MUI juga menyatakan mesti ada evaluasi dalam pelaksanaan pemilu.
Jika kita tengok lagi ke belakang tentang penyebab pemilu 2019 dilakukan serentak adalah adanya amar putusan Mejelis Hakim Konstitusi pada 23 Januari 2014 silam yang menyatakan "Pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 dan Pemilu seterusnya". Keputusan itu merupakan tindak lanjut dari permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil, yang meminta pemilu serentak.
MK punya sejumlah alasan untuk membuat keputusan itu. Pelaksanaan Pilpres setelah Pileg dinilai tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki.Menurut MK, pelaksanaan pemilihan yang tidak serentak membuat pengawasan maupun checks and balances antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Sebab pasangan calon presiden dan wakil presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik. Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian menyederhanakan sistem kepartaian.
Oleh karena itu pileg dan pilpres serentak dinilai dapat memberikan banyak keuntungan. Diantaranya, dapat memperkuat sisi presidensial. Sebab, dengan sistem penyelenggaran pemilu yang selama ini terjadi, presiden selalu 'tersandera' dengan koalisi yang dibangun dalam dukungan saat pencalonannya. Dengan serentak 'penyanderaan' presiden terhadap koalisi tak lagi terjadi. Keuntungan lainya adalah efesiensi dana pelaksanaan pemilu, menjaga psikologi pemilih, hingga meminimalisasir kemungkinan konflik sosial akibat ketegangan politik berkepanjangan.Inilah implikasi langsung yanh diharapkan dari pelaksanaan pemilu serentak.
Selain itu, ada implikasi lain yang tak kalah pentingnya, yakni adanya perubahan kultur demokrasi yang terbangun. Setidaknya, kultur koalisi parpol yang selama ini didasarkan terhadap alasan prgamatis dan temporal. Dengan pemilu serentak, perlahan koalisi akan menuju ke arah koalisi parmanen. Dengan begitu, koalisinya akan lebih solid, terarah, dan tentu sedikit banyak didasarkan pada pertemuan isu dan kepentingan substansial.
Sayangnya, jika kita telah fakta dari pemilu yang terjadi hari ini, untung berlipat yang diharap tampaknya jauh panggang dari api. Ibarat pepatah untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak.
Penguatan sisi presidensial sepertinya pun tidak dapat tercapai. Harapan presiden tidak tersandra oleh koalisi yang dibangun dalam pencalonan hanya utopi. Kenyataanya dalam sistem serentak pun tak jauh berbeda, sebab demikianlah kenyataan dalam sistem demokrasi. Politik dalam sistem demokrasi adalah politik transaksional, deal-deal dan ‘penyandraan’ dalam pencalonan akan tetap saja terjadi apapun metode pemilunya. Sebab dalam sistem demokrasi uanglah yang menjadi alat meraih kekuasaan dan untuk uang pula kekuasaan itu diraih. Dan dengan politik seperti ini, mustahil koalisi permanen dapat diraih sebab telah lumrah bahkan seolah justru telah menjadi semboyan bahwa tidak ada teman ataupun lawan yang abadi dalam demokrasi yang ada adalah kepentingan yang abadi. Berkoalisi atas kepentingan, pecah koalisi juga karena kepentingan, sementera ikatan karena kepentingan adalah ikatan yang paling rapuh.
Keuntungan dana efisiensi pemilu juga tidak dapat diraih. Dalam pemilu serentak juga masih memerlukan dana yang fantastis. Sebagaimana dilansir detikfinance (27/3), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menganggarkan sebesar Rp 25,59 triliun untuk kegiatan pemilihan umum (Pemilu) serentak pada 17 April 2019. Angka ini naik 61% dibanding anggaran untuk Pemilu 2014 yang sebesar Rp 15,62 triliun.
Ditambah kenyataan banyaknya korban meninggal dan sakit akibat penyelenggaraan pemilu, bukan tidak mungkin diperlukan biaya tambahan untuk santunan bagi keluarga korban. Belum lagi akibat dari kekacauan yang terjadi hingga mesti dilakukan pemilihan ulang di berbagai tempat, hampir dapat dipastikan kesemua itu memerlukan tambahan biaya. Bukan rahasia, begitulah pemilu dalam sistem demokrasi. Metode yang rumit dan berbelit membawa konsekiensi pengeluaran dana yang selangit.
Satu hal lagi implikasi langsung yang diharap dari pemilu serentak yaitu meminimalisasir kemungkinan konflik sosial akibat ketegangan politik berkepanjangan. Maka tengok saja kenyataan hari ini. Ketegangan dan konflik terjadi semenjak jauh-jauh hari rencana pesta demokrasi. Polarisasi dan perpecahan masyarakat semakin mencuat. Semua terjadi disebabkan sistem demokrasi itu sendiri yang sejatinya membuka peluang ketegangan dan konflik sosial. Demokrasi mengagungkan kebebasan berpendapat maka wajar makin marak hoax dan saling hujat. Demokrasi mengagungkan kebebasan kepemilikan, maka kekuasaan dipastikan menjadi ambisi untuk diperebutkan. Ditambah dengan kebebasan bertingkah laku maka mereka yang berambisi takkan sungkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Saling sikut, saling serang dengan segala macam serangan tak terkecuali serangan fajar dan lainya, ataupun juga menempuh cara cara curang pun akan rela dilakukan. Kedamaian dan persatuan yang diharapkan namun konflik dan perpecahan yang menjadi kenyataan.
Inilah fakta yang terjadi pada sistem demokrasi. Pemilu langsung ataupun tak langsung, serentak maupun tidak, pada akhirnya hanya menyisakan nestap.
Islam Mampu Akhiri Derita Pesta Demokrasi
Dalam islam sistem pemerintahamya disebut khilafah, kepala negaranya adalah kholifah. Negara Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan sebagaimana dalam sistem negara Demokrasi. Meski demikian, kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam tetap di tangan rakyat. Khalifah yang berkuasa dalam Negara Khilafah juga tidak akan bisa berkuasa, jika tidak mendapatkan mandat dari rakyat. Kholifah diberi mandat oleh rakyat bukan untuk akad kerja dengan rakyat tapi untuk melaksanakan hukum syariat dalam mengurusi urusan rakyat.
Meskipun tidak mengenal pembagian kekuasaan namun rakyat tetap memiliki wakilnya yang duduk pada posisi majlis umat. Tak sama seperti dewan legislatif, melainkan mereka menjalan fungsi sebagai syura (memberi masukan) bagi yang muslim dan sebagai syakwa (memberikan aduan) bagi yang nonmuslim. Pemilihan terhadapnya dilakukan oleh majelis wilayah yang ada di masing-masing wilayah. Maka sebelumnya akan dilakukan pemilihan majelis wilayah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Sebagai wakil rakyat, maka mereka mencerminkan sebagai leader di dalam komunitasnya dan juga sebagai representasi. Mereka tidak ada wewenang melegislasi hukum sebagaimana legislatif dalam demokrasi.
Sedangkan untuk pemilihan kepala negara (kholifah), dalam kondisi terjadinya kekosongan kekuasaan, dimana Khalifah meninggal dunia, diberhentikan oleh Mahkamah Mazalim atau dinyatakan batal kekuasaannya, karena murtad atau yang lain, maka nama-nama calon Khalifah yang telah diseleksi oleh Mahkamah Mazalim, dan dinyatakan layak, karena memenuhi syarat: Laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu, diserahkan kepada Majelis Umat.
Majelis Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk ditetapkan sebagai calon Khalifah. Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang ditetapkan pada zaman ‘Umar, atau dua, sebagaimana pada zaman Abu Bakar. Keputusan Majelis Umat dalam pembatasan calon Khalifah ini bersifat mengikat, sehingga tidak boleh lagi ada penambahan calon lain, selain calon yang ditetapkan oleh Majelis Umat ini.
Baik Mahkamah Mazalim maupun Majelis Umat, dalam hal ini akan bekerja siang dan malam dalam rentang waktu 2 hari 3 malam. Mahkamah Mazalim dalam hal ini bertugas melakukan verifikasi calon-calon Khalifah, tentang kelayakan mereka; apakah mereka memenuhi syarat in’iqad di atas atau tidak. Setelah diverifikasi, maka mereka yang dinyatakan lolos oleh MahkamahMazalim diserahkan kepada Majelis Umat.
Selanjutnya, Majelis Umat akan melakukan musyawarah untuk menapis mereka yang memenuhi kualifikasi. Pertama, hasil keputusan Majelis Umat akan menetapkan 6 nama calon. Kedua, dari keenam calon itu kemudian digodok lagi hingga tinggal 2 nama saja. Ini seperti yang dilakukan oleh ‘Umar dengan menetapkan 6 orang ahli syura, kemudian setelah itu mengerucut pada dua orang, yaitu ‘Ali dan ‘Utsman.
Perlu dicatat, pengangkatan Khalifah ini hukumnya fardhu kifayah, sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian ditetapkan, bahwa Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi. Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib memba’atnya dengan bai’at tha’ah.
Sederhana dan singkatnya pemilu dalam islam karena aturanya yang bersumber dari Sang Pencipta manusia yang sudah pasti Maha Mengetahui tentang bagaimana mengatur manusia. Sementara rumitnya sistem pemilu dalam demokrasi tidak lain karena sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan (termasuk aspek kepengurusan negara). Karena mengabaikan peran Sang pencipta dalam mengatur kepengurusan negara inilah maka dipastikan kacau dan sengsara. Sementara sistem islam karena bersumber dari Sang Pencipta maka akan menghantarkan pada kehidupan yang bahagia.
Wallaahu’alam.