Oleh: Aisyah Ummu Raihan
Bulan April tahun 2019 ini, negeri yang kita cintai ini tidak hanya akan ada mengadakan pesta demokrasi, tapi ada momen spesial yang dikenang dan senantiasa diperingati oleh para perempuan, tepatnya tanggal 21 April, yaitu hari Kartini. Ialah sosok seorang pahlawan wanita yang gigih memperjuangkan nasib perempuan di zamannya saat itu, sehingga kita kenal dengan sebutan pahlawan emansipasi wanita.
Ibu Kartini gigih memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, perempuan tidak boleh terbelakang, tertindas, direndahkan, dihinakan. Di sini yang ingin saya cermati adalah bukan sosok Ibu Kartini, karena kemuliaan perjuangan dan cita-citanya, tetapi terkait sosok perempuan itu sendiri dan kiprah perempuan di era kini.
Perbincangan seputar perempuan bagai mata air yang tidak pernah kering. Selalu menarik untuk dibahas, senantiasa mencari jawaban tentang hakikat perempuan. Terlebih saat ini, atmosfer negri ini yang kiat meningkat, di mana kita saksikan sepanjang jalan spanduk atau baliho tak hanya wajah kaum adam yang memenuhi suasana di jalanan, namun dari kaum hawa pun tak kalah turut melengkapi pemandangan spanduk Caleg di setiap daerah. Lalu bagaimanakah sebenarnya terkait perempuan dalam perpolitikan, bolehkah? Atau perempuan tak layak dan tidak sesuai dengan keanggunan sosok perempuan karena harus ikut lebur dalam hiruk pikuk perpolitikan yang ujung-ujungnya ambisi meraih kekuasaan, yang biasanya hanya pantas dilakoni oleh kaum laki-laki.
Kita memahami bahwa kedudukan perempuan adalah dia sebagai;
1.Hamba Allah
2.Ibu dari anak-anaknya
3.Istri dari seorang suami
4.Anak dari ayah-bundanya.
Selain itupun ia adalah bagian dari masyarakat seperti halnya laki-laki. Laki-laki dan perempuan di tengah-tengah masyarakat tidak bisa dipisahkan satu sama lain tapi merupakan satu kesatuan yang utuh keduanya bertanggungjawab mengantarkan bangsanya untuk menjadi umat terbaik di dunia ini. Inilah aktivitas politik yang harus dilaksanakan oleh laki-laki dan perempuan secara bersama-sama dan berkesinambungan. Tidak dipungkiri bahwa selama ini terdapat kesalahpahaman terhadap aktivitas politik perempuan.
Sebagian memandang bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia politik dianggap tidak layak dan melanggar fitrah, seakan politik bukan milik dan bagian perempuan. Karena dalam kacamata mereka, politik identik dengan kekerasan, kekuasaan, kelicikan atau tipudaya yang hanya pantas menjadi milik laki-laki saja. Atau bahkan dianggap tidak ada dalam Islam. Pandangan seperti inilah yang akhirnya membuat muslimah tidak mau berpolitik, alih-alih melakukan aktivitas politik, memikirkannya pun mereka tidak mau. Akhirnya kaum perempuan hanya mencukupkan diri untuk memikirkan dan beraktivitas dalam urusan dirinya, anak-anaknya dan keluarganya atau istilah familiarnya aktivitas perempuan hanya seputar dapur sumur kasur. Pada saat yang sama mereka tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Sebaliknya, di sisi lain sebagian berpendapat bahwa justru perempuan harus berkiprah dan berperan aktif di segala bidang, sama dengan laki-laki tanpa pengecualian, termasuk dalam bidang politik. Hanya saja, politik yang mereka maksud terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Artinya, aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya-upaya meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi. Hal ini didukung oleh asumsi, bahwa jika kekuasaan atau penentu kebijakan bukan perempuan atau minoritas perempuan, maka suara perempuan tidak akan didengar dan diperjuangkan. Akibatnya, menurut mereka persoalan perempuan tidak pernah terselesaikan.
Asumsi ini seakan menjadi keyakinan mereka seolah-olah persoalan perempuan hanya bisa diselesaikan oleh perempuan. Wajar jika akhirnya kelompok ini berjuang mati-matian agar perempuan menguasai suara di legislasi atau langsung menduduki jabatan sebagai penentu kebijakan. Cara pandang dalam perspektif demokrasi seperti inilah yang mendasari langkah perjuangan aktivis perempuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Menurut mereka demokrasi telah memberi harapan yang besar bagi kaum perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Selama ini mereka anggap tidak diberi ruang gerak yang besar bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya berkiprah di kancah publik, terutama di dunia politik. Namun kenyataannya alam demokrasi hanya bisa memberikan janji. Karena terbukti perjuangan mereka selama ini makin mengukuhkan ketidakmungkinan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan secara tuntas. Bahkan ide kesetaraan gender, kebebasan dan individualisme sebagai pemikiran pokok dari demokrasi yang intens mereka serukan ke tengah-tengah masyarakat justru menjadi racun yang memunculkan berbagai persoalan lanjutan yang memperparah kondisi sebelumnya.
Kehidupan yang penuh persaingan, merebak pergaulan bebas, penyimpangn seksual, fan dekadensi moral, rusaknya struktur sosial dan keluarga, dilema wanita karir, perselingkuhan, fenomena single parent, anak-anak bermasalah dan lainnya ditengarai kuat merupakan hasil dari merebaknya ide-ide kebebasan dan kesetaraan yang mereka perjuangkan itu. Lalu bagaimanakah Islam memposisikan kiprahnya perempuan dalam politik? Sebagai din yang sempurna, Islam memiliki pandangan yang khas dan berbeda dengan pandangan demokrasi dalam memandang dan menyelesaikan persoalan perempuan. Termasuk dalam memandang bagaimana hakekat politik dan kiprah politik perempuan dalam masyarakat.
Islam memandang bahwa:
Perempuan pada hakekatnya sama dengan laki-laki yaitu sama-sama sebagai manusia, hamba Allah yang memiliki potensi dasar berupa akal, naluri, dan kebutuhan fisik.
Dalam konteks masyarakat, Islam memandang bahwa keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laki-laki. Keduanya diciptakan untuk mengemban tanggung jawab yang sama dalam mengatur dan memelihara kehidupan ini sesuai kehendak Allah Swt.
Pada tataran praktis, Islam memberi aturan yang rinci berkenaan dengan peran dan fungsi masing-masing dalam mnjalani kehidupan, adakalanya sama dan adakalanya berbeda. Adanya perbedaan dan persamaan tidak bisa dipandang sebagai adanya keseteraan atau ketidaksetaraan gender. Pembagian tersebut semata-mata merupakan pembagian tugas yang dipandang sama-sama pentingnya dalam upaya mewujudkan tujuan tertinggi kehidupan masyarakat yaitu tercapainya kebahagiaan hakiki di bawah keridhaan Allah Swt semata.
Mengenai peran politik, Islam memandang perempuan juga memiliki kewajiban mewujudkan kesadaran politik di tengah-tengah masyarakat. Hanya saja harus diluruskan bahwa pengertian politik dalam konsep Islam tidak dibatasi pada masalah kekuasaan dan legislasi saja. Dalam Islam tidak menjadi masalah apakah posisi seseorang sebagai penguasa, penentu kebijakan ataupun sebagai rakyat biasa, keduanya memiliki kewajiban yang sama dalam memajukan Islam dan umat, memiliki tanggung jawab yang sama untuk ikut menentukan arah, warna dan pola generasi kini dan masa depan, ikut bertanggungjawab dalam menyelesaikan seluruh problematika umat tanpa membedakan apakah apakah problema itu menimpa laki-laki atau perempuan, keseluruhannya dianggap sebagai problematika umat yang harus diselesaikan secara bersama-sama.
Ketika kaum mslim berupaya memfungsikan segenap potensinya untuk menyelesaikan problematika umat, pada dasarnya ia sudah melakukan aktivitas politik. Karena dalam Islam, politik memiliki makna memelihara dan memperhatikan urusan umat, baik dalam mapun umat di luar negri, internal dan eksternal, secara individu dan masyarakat secara keseluruhan bukan terbatas pada kepentingan golongan semata. Sekali lagi perlu dipahami bahwa keterlibatan perempuan dalam aktivitas politik bukan untuk meraih posisi tertentu dalam kekuasaan atau kehidupan publik, akan tetapi kiprah politik perempuan adalah semata-mata merupakan bagian dari kewajibannya yang datang dari Allah Swt yaitu sebagai suatu bentuk tanggung jawabnya terhadap masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, bukan masyarakat laki-laki atau masyarakat perempuan secara terpisah.
Di samping itu, Islam pun sangat menjaga kemuliaan dan ketinggian martabat perempuan, semua itu semata-mata karena Allah swt, Sang Pembuat hukum dan Pencipta manusia, yang sangat memahami apa yg trbaik bagi manusia, laki-laki dan perempuan. Karena itu Allah telah menetapkan aturan-aturan bagi perempuan dalam beraktifitas politik. Laki-laki dan perempuan mengemban tanggung jawab politik, keduanya harus saling menghargai keberadaan dan perannya masing-masing demi terwujudnya masyarakat yang damai, tentram, dan sejahtera berdasarkan syariat Islam. Keduanya memiliki agenda perjuangan yang sama yaitu menghadirkan perspektif Islam dalam pengaturan kehidupan umat secara riil melalui wadah Daulah Khilafah sehinga kaum Muslim bisa segera keluar dari keterpurukannya dan sekaligus bangkit kembali sebagai khairu ummah. Inilah hakikat pemberdayaan politik sesungguhnya yang harus dilakukan tidak hanya oleh kaum laki-laki saja atau kaum perempuan saja tapi oleh seluruh masyarakat secara keseluruhan.
Wallahu a'lam bish shawab