Oleh : Ning Hardiawan
Terpenjara itu kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan wanita di era Kartini di jaman penjajahan Belanda. Tidak hanya badan tapi juga pikiran, bahkan kehidupan mereka. Perempuan, begitu akil baligh mereka harus tinggal di rumah untuk dipingit.
Perempuan tidak perlu punya cita-cita yang tinggi, tak perlu pergi kemana-mana untuk menuntut ilmu. Tak perlu sekolah. Perempuan hanya diajarkan ilmu tata krama kepada keluarga dan masyarakat dan ilmu seluas rumah. Perempuan tidak boleh menjabat dalam pemerintahan, apapun jabatan itu. Jabatan yang boleh buat mereka hanya sebagai istri mendampingi suami. Swarga nunut, neraka katut. (Kominfo.go.id)
Peringatan hari Kartini, begitu lekat rekam jejak wanita dari sisi kelam hingga benderangnya menurut versi feminis. Sosok Kartini yang kadang juga dijadikan pijakan oleh kalangan feminis untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Padahal nyatanya yang diperjuangkan Kartini hanya agar wanita merasakan jenjang pendidikan yang layak untuk masa depannya. Bagi dirinya maupun generasinya.
Apabila menelisik sejarah feminisme ini sendiri, sebenarnya paham dan gerakan ini lahir dari barat. Dimana dahulu barat merendahkan dan menghancurkan hak-hak wanita. Hal ini memicu lahirnya faham feminisme. Mereka menjadikan tuntutan pembahasan kesetaraan gender sebagai jalan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Kesetaraam gender yang menjadi cita-cita dan tuntutan dari faham ini pun lambat laun mendunia. Bahkan PBB telah memasukkannya sebagai salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan, karena meyakini bahwa kesetaraan gender akan menjadi dasar untuk dunia yang damai, sejahtera dan berkelanjutan. Tidak heran bila berbagai program terkait kesetaraan gender, yakni yang berorientasi pada pemberian kesempatan dan kebebasan kepada perempuan untuk berkiprah di tempat di mana kaum lelaki pun bebas berkiprah, terus dibahanakan di seluruh dunia. Bila para lelaki bisa berkiprah di bidang politik, para wanita pun harus diberi kesempatan yang sama. Begitu pun di dunia kerja, wanita harus diberi kesempatan untuk meniti karir setinggi-tingginya, sebagaimana juga para lelaki. Dalam hal pendapatan, wanita harus diberi bayaran yang sama dengan lelaki untuk pekerjaan yang sama.
Lebih dari seabad berlalu, upaya mereka membuahkan hasil. Bila sebelumnya perempuan lebih banyak berkutat di ranah domestik, kini kian banyak perempuan yang berkiprah di ruang publik. Kita bisa melihat, semakin banyak perempuan menduduki jabatan-jabatan penting di kancah politik dan pemerintahan. Jagad bisnis, seni dan olah raga pun makin marak diramaikan oleh kaum perempuan.
Perempuan kini kian mandiri, bahkan banyak di antara mereka menggantikan peran laki-laki, menjadi tulang punggung keluarga mereka masing-masing. Kesetaraan gender yang dicita-citakan perlahan tapi pasti tampak wujudnya, laksana matahari yang berangsur terbit dari timur, semula temaram namun kemudian terang dan menyilaukan. Pencapaian inilah yang dirayakan dalam Hari Perempuan Internasional setiap tahunnya, merayakan kemenangan perempuan dalam mensejajarkan dirinya dengan kaum lelaki. Dan kemenangan ini pun dikatakan sebagai kemenangan dunia, karena menurut penggiatnya makin setara, makin baik bagi dunia.
Apakah benar kesetaraan gender adalah sebuah kemenangan bagi perempuan dan bagi dunia? Ternyata sesungguhnya tidak. Bila kita telisik lebih jauh, kesetaraan gender ternyata hanyalah fatamorgana belaka, dari kejauhan terlihat indah dan sejuk, namun gersang dan rusak bila dilihat dari dekat.
Penyetaraan gender ini, disadari atau tidak, telah melahirkan disrupsi (kegoncangan) yang sangat besar dalam ribuan unit keluarga yang mengakibatkan krisis terhadap kehidupan keluarga di masyarakat seluruh dunia ? Bagaimana tidak, dagangan para feminis ini nyatanya telah memperdaya para perempuan. Feminisme, apalagi yang kemudian bersenyawa dengan kapitalisme, telah mendorong para perempuan untuk turut menjadi roda penggerak ekonomi para kapitalis. Hal ini membuat mereka tanpa sadar berlomba untuk kedudukan dan materi, serta memposisikan dirinya sebagai pesaing dari kaum lelaki. Walhasil, tidak lagi jelas kedudukan dan tanggungjawab suami dan isteri, karena keduanya sibuk mengejar karir atau pendapatan yang lebih tinggi. Keluarga yang utuh tidak lagi menjadi prioritas bagi keduanya.
Di barat, di mana kesetaraan gender ini berasal, kegoncangan keluarga yang terjadi sudah sangat tinggi. Jumlah perceraian tercatat sangat tinggi, sementara tingkat pernikahan menurun. Di lain sisi, tingkat perzinahan meroket tinggi dan layanan perzinahan beroperasi dengan legal di negara-negara ini. Kondisi ini pun merusak anak-anak. Jumlah anak yang lahir di luar pernikahan tinggi, bahkan melampaui kelahiran di dalam pernikahan. Single parent adalah suatu pemandangan yang umum. Tidak heran kasus kejahatan anak mengalami peningkatan pula, seiring bertambahnya keluarga yang retak di masyarakat.
Bukan hanya itu. Hubungan antar anggota keluarga pun retak. Orang tua mengabaikan anak demi mengejar kepentingan pribadinya. Anak-anak meninggalkan orang tua mereka yang telah lanjut usia, karena memandang mereka adalah beban bagi waktu dan keuangan mereka. Orang memilih untuk memiliki sedikit anak2 demi memaksimalkan kehidupn sosial pribadinya. Ini mengahsilkan baby gap di sejumlah negara barat, yakni populasi yang menua dan sedikit orang muda untuk merawat mereka.
Mirisnya, faham dan gerakan ini pun telah masuk dan merambah ke negeri-negeri kaum muslimin, termasuk Indonesia. Pemberdayaan Perempuan ala feminisme pun telah merambah masyarakat bangsa ini, itu dapat dilihat dari dijadikannya indeks pembagunan gender sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di negeri ini. Tidak heran bila kemudian kegoncangan keluarga pun menimpa bangsa ini. Dalam kurun tiga tahun terakhir (2015-2017) trend perceraian di Pengadilan Agama mengalami peningkatan yang cukup significant, rata-rata terjadi kenaikan sebesar 3% setiap tahunnya, dua kali lipat dari laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang berada di angka 1.49%.
Masuknya faham feminisme dan kesetaraan gender ke tengah-tengah kaum muslimin seharusnya tidak terjadi, bila saja kaum muslimin teguh berpegang pada Islam. Tidak sebagaimana barat, Islam tidak memiliki tempat untuk membahas ihwal kesetaraan gender, karena syariat Islam tidak memerlukan itu.
Bila barat dahulu merendahkan harkat wanita, Islam justru memuliakan wanita. Islam memiliki sistem pergaulan yang tinggi, yang mampu memberikan kebahagiaan yang hakiki bagi pria maupun wanita. Islam telah menetapkan hak bagi wanita, sebagaimana Islam juga memberikan kewajiban kepada wanita. Begitupun Islam telah memberikan hak kepada pria, sebagaimana telah memberikan kewajiban kepada pria. Ketika Islam menetapkan semua itu, tidak lain adalah untuk kemaslahatan bagi pria dan wanita menurut pandangan Syara’.
Islam menetapkan suatu hukum yang sama bagi pria dan wanita, ketika karakter kemanusiaan keduanya mengharuskan hukum yang satu. Dan Islam menetapkan suatu hukum berbeda untuk pria dan wanita, ketika karakter kemanusiaan keduanya memerlukan hukum yang berbeda. Kesamaan dalam suatu hukum tidak dikatakan sebagai adanya kesetaraan gender. Begitupun tidak dikatakan bahwa perbedaan hukum berarti ketiadaan kesetaraan gender.
Di ranah domestik, dalam keluarga, wanita tidak dibebani dengan keharusan mencari nafkah. Hukum asal seorang wanita dalam Islam adalah ibu bagi anak-anak dan pengelola rumah suaminya. Hal ini adalah kehormatan yang wajib dijaga. Sementara nafkah adalah kewajiban bagi suami nya. Allah menjadikan suami sebagai qawwam (pemimpin) atas istrinya, dan memerintahkan istri untuk patuh kepada suaminya. Tanggungjawab dam kepemimpinan seorang suami atas isteri di dalam rumah tangga bukan berarti dia boleh bertindak secara otoriter di dalam rumah tangganya atau seperti penguasa yang tidak bisa dibantah perintahnya. Akan tetapi kepemimpinan yang diwarnai persahabatan. Seorang isteri berhak memberi masukan kepada suaminya, mendiskusikannya dan membahas apa yang dikatakan suaminya. Allah telah menjadikan kehidupan suami isteri sebagai tempat yang penuh kedamaian bagi keduanya (QS ArRum ; 21).
Di ranah publik, bila dalam prespektif gender wanita dianggap mulia ketika memiliki kedudukan atau pendapatan yang tinggi, di dalam Islam wanita mulia bila dapat menjalankan perannya sebagai juru dakwah yang turut mendidik masyarakat agar taat kepada syariat. Sementara itu, bekerja dan memperoleh pendapatan bagi wanita hukumnya dibolehkan (mubah). Namun di dalam fikih prioritas tidak dibenarkan mendahulukan yang mubah sementara mengabaikan yang wajib. Dengan demikian, bila dijalankan dengan benar kemaslahatan keluarga akan selalu menjadi prioritas bagi seorang wanita muslimah. Walhasil, keguncangan unit keluarga dan masalah sosial di masyarakat pun dapat terhindarkan.
Demikianlah bagaimana Islam menjamin kemaslahatan hidup manusia. Sungguh jahat dan keliru propaganda jahat barat dan para pembenci Islam yang menggiring opini masyarakat dengan menggambarkan bahwa Islam menindas dan membelenggu perempuan, kemudian menawarkan kebebasan yang justru membawa keterpurukan, bukan hanya pada perempuan itu sendiri, tetapi juga pada anak-anak, keluarga dan masyarakat.
Bila demikian, sesungguhnya yang harus diperjuangkan para perempuan bukanlah kesetaraan gender. Yang harus diperjuangkan adalah kehidupan dengan aturan Islam, yang memungkinkan setiap orang dapat menjalankan perannya masing-masing secara optimal. Yakni sebuah kehidupan di mana perempuan bisa melaksanakan peran strategisnya sebagai ibu dan pendidik generasi, dan lelaki sebagai pemimpin dan pencari nafkah bagi keluarganya. Tak ayal, peran negara diperlukan di sini. Negara harus menjamin ketersediaan pekerjaan bagi para lelaki, sehingga para perempuan tidak harus turun tangan menggantikan peran suaminya untuk mencari nafkah. Pandangan feminis dan kapitalis harus dicampakan, digantikan dengan standard penilaian Islam di mana kedua peran yang berbeda tersebut adalah mulia bagi keduanya.
Pandangan barat, bahwa Islam mendiskreditkan perempuan sama sekali tidak beralasan. Di dalam sejarah kekhilafahan di mana pengaturan peran perempuan dan laki-laki diatur dalam sistem pergaulan dalam Islam terdapat sebuah studi tentang catatan pengadilan abad ke-17 milik pengadilan syariah di Kayseri, Turki, yang membuktikan bahwa pemerintah Islam memperhatikan kepentingan perempuan. Studi itu mengungkapkan bahwa kaum perempuan biasa mengajukan ke pengadilan untuk membela hak-hak pribadi dan kepemilikan mereka, dan mereka mewakili diri mereka sendiri dan menangani kasus-kasus mereka sendiri karena mereka memiliki hak yang sama untuk memulai menggugat dan mengambil sumpah. Faktanya, kaum perempuan hadir sebagai penggugat di lebih dari 17% kasus yang diadili oleh pengadilan Kayseri selama periode 1600-1625.
Sejarah menuliskan bahwa Muslimah menikmati hak-hak mereka sebagai warga Negara Khilafah Islam yang diterapkan berabad-abad sebelum penerapan sistem sekuler Barat; sistem sosial Islam tidak hanya menjamin hak-hak perkawinan mereka, melainkan juga semua hak mereka dalam sistem ekonomi, pendidikan, dan peradilan Islam.
Wallahualam bishowab.